BAB: 1 mati karena meja, hidup karena lelah

"Aku mati… karena nabrak meja? Serius?”

Itu pikiran pertama yang muncul saat aku membuka mata. Aku tidak melihat cahaya putih. Tidak ada suara malaikat. Yang ada hanya langit-langit anyaman rotan, selimut kasar, dan aroma susu kambing basi. Suara bayi menangis—suara "aku" sendiri.

Ya. Aku mati. Dan terlahir kembali.

Katanya kalau kita mati dan masuk dunia lain, bakal jadi karakter utama. Punya jendela status, seratus skill, pedang ajaib, dan jadi pahlawan yang mencium elf di bawah sinar bulan.

Realitanya? ""Tidak ada jendela status. Tidak ada skill. Tidak ada cheat.""

Yang ada hanya aku—""Neyro Vojenski"", bayi merah yang terlahir di sebuah desa kecil di pinggiran Kekaisaran Virelius. Ibuku adalah mantan pelayan istana, lembut tapi cerewet. Ayahku? Mantan bangsawan yang diusir karena menolak perintah buta dalam perang. Keras, pendiam, dan selalu bangun sebelum matahari.

Dan satu lagi—aku punya ""kakak perempuan"", tiga tahun lebih tua, dan hobi melempar sepatu ke kepalaku kalau aku terlalu banyak ngomong.

Keluarga ini... aneh. Tapi hangat.

Kami hidup sebagai petani sukses. Punya dua ladang, empat kuda, dan satu sapi yang lebih pintar dari kepala desa.

Hari-hari berlalu. Dari belajar jalan, lalu bicara, lalu... bekerja di ladang sejak umur 7 tahun. Ayah mengajariku caranya memegang cangkul dan pedang di hari yang sama. Ibu mengajariku merawat luka dan membuat ramuan herbal. Kakakku mengajariku cara curang main dadu.

Hidupku sederhana. Tapi... ada dorongan aneh di dalam diri ini.

Mungkin karena ingatan hidup lamaku masih tertanam kuat. Atau mungkin karena—dalam hatiku—aku tahu: aku dikirim ke dunia ini bukan cuma untuk mencangkul.

Jadi, ketika usiaku menginjak 16 tahun, aku mendaftar ke Akademi Tempur Kekaisaran.

"Kenapa kamu ingin jadi prajurit?" tanya penguji.

Jawabanku sederhana. “Kalau ladang penuh monster, lebih baik belajar bunuh monster daripada panik tiap malam.”

Lulus akademi bukan hal mudah. Tapi dengan latihan keras, tubuh yang entah kenapa tahan banting, dan kecerdikan dari dunia lama, aku berhasil. Dalam 3 tahun aku lulus sebagai prajurit top.

Lalu... aku diangkat menjadi **Knight**—gelar kehormatan tertinggi. Aku bangga. Orang tuaku bangga. Bahkan kakakku... ya, dia cuma berkata, “Jangan mati konyol, ya.”

Selama dua tahun aku bertugas di satuan elit Knight Kekaisaran.

Bertempur di garis depan. Melindungi keluarga bangsawan. Menghadiri jamuan yang membosankan. Menyaksikan betapa politik lebih busuk dari monster rawa.

Dan kemudian... aku memutuskan berhenti.

Di depan seluruh komandan, aku menyerahkan surat pengunduran diri.

Isinya? **“Saya ingin tidur siang tanpa diganggu dan tidak suka pakai zirah tiap hari.”**

Sontak satu ruangan diam. Lalu tertawa. Lalu marah. Lalu diam lagi.

Tapi aku sudah mantap.

Sekarang, aku tinggal di kota kecil *(Grenztal)*, di ujung barat Kekaisaran. Kota perbatasan yang cuma punya satu toko roti, satu rumah bordil yang setengah runtuh, dan dua puluh empat ekor kambing liar.

Aku adalah **ksatria penjaga kota**. Tugasku? Menjaga gerbang. Menangkap pencuri ayam. Bantu kakek-kakek dorong gerobak.

**Hidupku... tenang.**

Atau... seharusnya begitu.

“Hmm…”

Aku duduk di pos jaga. Mata setengah terbuka. Tangan memegang cangkir teh yang sudah dingin. Pedang bersandar di dinding. Helm jadi bantal kaki.

“25 tahun hidup di dunia ini… dan akhirnya cuma jagain kambing. Ironis.”

Aku melirik ke arah jalan utama. Sepi. Angin sore membawa aroma roti hangat dan kotoran kuda. Sempurna.

“Keponakanku dulu bilang, kalau masuk dunia lain pasti punya skill dewa. Nyatanya? Satu-satunya skill-ku cuma ‘tidur dengan satu mata terbuka’.”

Kukira jadi Knight itu akhir dari segalanya. Ternyata hanya awal dari kebosanan. Maka kupilih hidup sebagai prajurit biasa. Tak ada tekanan. Tak ada peperangan. Tak ada drama politik.

Aku menghela napas dan menutup mata.

“Tenang... damai... tanpa—”

“PAK NEYRO!!! ADA TIKUS MONSTER DI TOKO RAGIN!!!”

...Dan di sinilah hidupku mulai rusak lagi.

Aku mengangkat helm, berdiri pelan.

“Baru juga lima menit duduk…”

Sambil mengambil pedang, aku bergumam.

“Ya ampun, dunia... aku cuma pengen tidur siang. Itu aja. Nggak minta banyak.”

Langkahku berat. Tapi sudut bibirku tersenyum kecil.

Mungkin... bagian kecil dari diriku memang tak bisa lepas dari masalah.

Dan walau aku selalu mengeluh... tubuhku selalu siap. Karena entah itu monster, tikus raksasa, atau kekacauan politik—aku, Neyro Vojenski, mantan Knight Kekaisaran... dan penjaga kota malas—akan tetap melangkah.

Meski sambil ngomel sepanjang jalan.

Bersambung.......