BAB 11: kudamu terlalu sopan pengembara

Malam telah larut ketika Neyro Vojenski berhenti di tengah perjalanan pulangnya menuju perbatasan. Di sebuah hamparan dataran rumput tinggi yang diterangi cahaya bulan pucat, ia menyalakan api kecil. Duduk menyandar ke tubuh Drif, kudanya yang kekar dan setia, ia mengunyah perlahan ubi bakar hangat pemberian dari Bu Melda.

"Ini baru hidup," gumam Neyro sambil menatap bintang. "Kopi, ubi, dan kuda yang gak banyak tanya."

Drif menghela napas pelan, ekornya bergoyang.

"Aku tahu, Drif. Tiga hari di sekolah cukup bikin punggungku gatal."

Keesokan paginya, kabut tipis menggantung rendah. Neyro melanjutkan perjalanan sambil bersiul kecil. Tapi belum lama ia berkuda, ia melihat sesuatu yang membuatnya refleks menarik kendali.

Di ujung jalan yang mendaki, barisan kesatria berzirah putih tampak berjalan tertib, seolah-olah mereka bagian dari parade suci. Di depan mereka, seorang pria paruh baya berjubah putih bersulam emas berdiri dengan kepala tegak, wajahnya kaku dan tatapannya menilai ke segala arah dengan ekspresi yang bagi Neyro hanya bisa digambarkan sebagai "sok suci."

“Ah… Paladin dari Ordo Cahaya Ilahi,” gumam Neyro. “Tentu saja. Hari baik begini, pasti ada parade ego.”

Tanpa ragu, ia turun dari Drif dan berdiri di sisi jalan, memberi hormat dengan kaku namun sopan.

Drif… dengan sikapnya yang terlatih dan cerdas… ikut membungkukkan kepalanya sedikit. Sangat formal.

Reaksi itu langsung menarik perhatian dari dalam salah satu kereta berhiaskan lambang matahari keemasan. Tirai sutra putih tersingkap sedikit, dan suara lembut perempuan terdengar.

“Tunggu… diajar oleh siapa kuda secerdas itu? Dia… membungkuk?”

Suara itu datang dari Sentis Elmarielle, wanita suci muda yang terkenal di kalangan bangsawan barat sebagai Putri Cahaya. Sosoknya belum tampak sepenuhnya, namun suara lembutnya membekas.

Neyro menunduk lagi, kali ini dengan senyum sopan.

“Dia dirawat dan dilatih oleh saya sendiri, Nona Sentis. Namanya Drif, dan dia lebih sopan dari saya.”

Terdengar tawa kecil dari balik kereta.

Tapi suasana berubah seketika. Kardinal berjubah di depan, Kardinal Varth Zelmont, menoleh dengan tajam. Matanya menyipit menatap Neyro.

“Berani sekali kau menyebut nama Nona Sentis langsung. Pengembara sepertimu seharusnya tahu batas.”

Neyro menahan diri, menjaga sikap.

“Mohon maaf jika ucapanku menyinggung, Yang Mulia. Tidak ada maksud kurang ajar.”

Namun sebelum Varth melangkah, suara Sentis kembali terdengar.

“Cukup, Kardinal Varth. Aku sendiri yang memulai percakapan. Tidak ada yang salah dengan memperkenalkan nama kuda, bukan?”

Kardinal itu tampak tidak puas, tapi mundur setengah langkah.

“Tapi—”

“Diamlah, Kardinal. Ini perjalanan suci, bukan panggung dramamu,” balas Sentis dengan nada tegas namun tetap elegan.

Senyum kecil kembali terdengar dari dalam kereta.

“Tuan pengembara, apakah nama lengkap kudamu hanya… Drif?”

Neyro mengangguk sambil tersenyum tipis.

“Ya, Nona Sentis. Ringkas dan mudah diingat.”

“Bagus. Nama yang sederhana untuk teman seperjalanan yang hebat.”

“Terima kasih atas apresiasi Anda. Semoga perjalanan Anda diberkati oleh kedamaian.”

“Dan semoga Dewa Cahaya menerangi jalanmu, Tuan Pengembara.”

Mereka berbalas hormat. Kereta Sentis kembali tertutup perlahan, dan rombongan kembali melanjutkan perjalanan.

Kardinal Varth masih sempat memelototi Neyro sebelum pergi.

Saat rombongan suci sudah menjauh, Neyro kembali naik ke punggung Drif.

Diam-diam, ia menggumam, “Astaga… aku gak sangka kamu bakal disukai wanita suci. Kau kuda populer sekarang.”

Drif menyenggol kakinya pelan, seolah berkata, “Aku tahu.”

“Jangan sombong, Drif.”

Drif kembali menyenggol, kali ini lebih keras.

“Oke, oke. Aku yang kalah. Tapi serius, wajah si kardinal tadi… ahahaha… kayak ketelen bubur panas.”

Drif meringkik kecil, seperti ikut tertawa.

Neyro melirik ke arah barat, tempat kereta Sentis menghilang di balik kabut. Ia mengangkat alis, berbicara pada kudanya.

“Yah, setidaknya sekarang kita tahu: kuda sopan bisa menyelamatkan nyawa.”

Drif mengangkat kepalanya tinggi.

“Aku gak tahu kau ikut kompetisi rebut hati wanita suci, tapi... baiklah, kau menang.”

Dengan senyum geli, Neyro dan Drif kembali menyusuri jalan panjang menuju wilayah perbatasan. Bayangan kereta dan zirah putih perlahan menghilang, tapi percakapan pagi itu—dan kejadian konyolnya—terukir di hati mereka.

Hari itu, pengembara dan kudanya resmi menjadi legenda kecil dalam kisah para penjaga sunyi.