BAB 10:hari terakhir di velund

Bab 9 – Hari Terakhir di Velund

Langit di atas kota Velund mulai menguning, menandai sore yang perlahan menua. Di kelas A-1A, ruangan penuh bangku kayu dan papan tulis kapur, Neyro Vojenski berdiri di depan para siswa untuk terakhir kalinya. Di belakangnya tertulis dengan huruf tebal:

“Pelajaran Terakhir - Guru Sementara Neyro Vojenski”

Senyap. Tak seperti biasanya, murid-murid duduk tenang. Tak ada teriakan iseng, tak ada candaan soal cinta atau usia. Lyon, Marcia, Felix, Tiliy, memandang penuh perhatian. Di barisan depan, Erin—gadis paling mudah dikelas sorot mata jernih—menatap lekat, seolah ingin merekam semua yang akan terjadi.

Neyro menepuk tangannya pelan.

“Baiklah... ini hari terakhir aku berdiri di sini sebagai pengajar kalian.”

Sorak sedih langsung terdengar.

“Pak, serius?!”

“Baru tiga hari, loh!”

“Gimana nasib matematika cinta kami?!”

Tawa kecil pecah, namun segera meredup saat Neyro mengangkat tangannya.

“Aku tahu ini mendadak, dan jujur saja... aku juga belum terbiasa harus mengucapkan selamat tinggal.” Ia menyenderkan punggung ke meja. “Tapi hidup memang penuh perpisahan.”

Seketika ruangan menjadi hening.

“Perpisahan itu seperti cinta,” lanjut Neyro. “Keduanya datang tanpa kita minta. Keduanya bisa mengubah cara pandang kita. Dan... keduanya kadang menyakitkan. Tapi justru karena itu, mereka berharga.”

Erin menunduk perlahan, menggigit bibirnya.

“Kenapa Pak Neyro gak jadi guru selamanya aja?” tanya Tiliy, mengangkat tangan.

Neyro tersenyum. “Karena tugasku bukan di sini. Aku adalah kesatria penjaga perbatasan. Aku bertugas menjaga perbatasan Kekaisaran dari hal-hal yang kalian belum perlu tahu. Dan untuk saat ini... itulah panggilanku.”

Felix mengangkat tangan cepat. “Tapi kami suka cara Bapak ngajar! Seru, jelas, dan... kadang ngawur, tapi berguna!”

Semua tertawa. Neyro mengangguk, ikut tersenyum.

“Aku tidak akan pernah lupa kalian. Kalian anak-anak luar biasa. Kalian cepat menangkap, semangat belajar, dan... tahu cara bertanya hal-hal paling aneh dengan serius.”

“Tapi tetap kami gak siap, Pak,” bisik Erin pelan, hampir tak terdengar. Neyro mendengarnya.

Langkah kakinya ringan saat ia berjalan ke tengah ruangan. Ia berjongkok di depan Erin dan menatap langsung ke matanya.

“Erin,” ujarnya lembut. “Jika suatu hari nanti kita bertemu lagi... aku ingin kau sudah menjadi seseorang yang hebat. Lebih hebat dari aku.”

Air mata Erin menetes, namun bibirnya tersenyum.

“Janji, ya?” tanyanya lirih.

“Janji,” jawab Neyro sambil menyentuh bahunya pelan.

Bel pun berbunyi. Hari benar-benar berakhir.

Di pelataran sekolah, seluruh guru dan murid sudah berkumpul. Di depan gerbang utama, kuda hitam Neyro berdiri tegak. Tas perlengkapannya sudah terpasang. Kepala Sekolah Garlend Thevark melangkah mendekat sambil menghela napas panjang.

“Rasanya tiga hari terlalu singkat,” gumam Garlend. “Kami semua menyukaimu, Neyro.”

Guru Melda, dengan jubah panjang khas sihir teori, menyikut ringan lengan Neyro. “Meskipun kau sering keluyuran di jam pelajaran.”

Tawa kecil pecah.

Profesor Aulia, berkacamata dan tampak serius seperti biasa, menyesap teh hangatnya sambil berkata, “Namun hasil pelajaranmu... mengejutkan. Aku mencatat kenaikan minat belajar hingga 38% dalam 3 hari.”

“Wah, aku bisa jual itu sebagai jasa konsultasi,” balas Neyro bercanda.

Laira Elvestine, juniornya yang kini jadi pengajar tetap, berdiri di sisi paling kanan. “Kau yakin gak mau ajar di sini, Senior?”

Neyro menghela napas dalam. “Aku yakin.”

Laira mengangguk pelan. “Baiklah. Tapi jangan lupa... minum kopi tanpa apel setiap pagi, ya.”

Neyro menatap Laira, tersenyum. “Itu sudah jadi ritual.”

"Hati-hati dijalan neyro sensei" Teriak Lilith

Saat Neyro akan menaiki kudanya, langkah kecil memeluk pinggangnya dari belakang. Erin. Tubuh kecilnya bergetar menahan tangis.

“Jangan pergi…” bisiknya.

Neyro menunduk, mengusap kepala gadis itu. “Erin... pertemuan selalu datang setelah perpisahan. Aku bukan hilang. Aku hanya tak di sini.”

“Aku akan jadi orang hebat,” kata Erin, masih memeluknya. “Lalu... aku akan cari Bapak.”

Neyro menarik napas panjang, menahan emosinya. “Aku tunggu.”

Ia perlahan menaiki kudanya. Seluruh murid berseru serempak:

“PAK NEYRO!!!”

Dan seluruh guru ikut berteriak:

“JANGAN LUPA KUNJUNG KEMBALI!!!”

Neyro hanya mengangkat tangan, menatap mereka satu per satu. Mata Erin masih basah, tapi senyumnya terang. Murid-murid lain melambai, sebagian bersiul, sebagian meneriakkan kenangan mereka.

Kuda melangkah pelan, meninggalkan gerbang sekolah cabang Velund.

Dan dengan itu... perpisahan pun resmi dimulai.

Namun kenangan—akan terus tinggal di hati.

Bersambung.......