BAB 9: pertemuan senior dan junio

Mentari siang menembus kaca patri ruang Kepala Sekolah Akademi Cabang Velund, menciptakan bayangan panjang di lantai marmer putih. Di balik meja kayu ek besar duduk Garlend Thevark, pria paruh baya berwajah keras namun bersahabat. Di sampingnya berdiri seorang wanita muda berseragam resmi akademi pusat, dengan postur tegap dan senyum formal.

Pintu terbuka perlahan, dan masuklah Neyro Vojenski, dengan langkah santai dan wajah datar khasnya. Kemeja putihnya terlipat rapi di lengan, dan kantung hitam di bawah matanya menandakan malam-malam kurang tidur karena urusan mendadak para murid.

"Masuk, Neyro," ucap Garlend sambil menunjuk kursi di hadapannya. "Kami menunggumu."

Neyro duduk, lalu pandangannya tertuju pada wanita muda yang menatapnya dengan mata membelalak.

"...Eh?" gumam wanita itu.

Tatapan mereka saling bertemu.

Laira Elvestine Rynhart?” ujar Neyro perlahan.

Wanita itu tersenyum lebar, ekspresi formalnya lenyap seketika. “Senior Neyro?!

Garlend menatap keduanya bergantian, sedikit bingung. “Kalian... saling kenal?”

Laira berdiri tegak, melakukan hormat kecil, walau ekspresi wajahnya penuh nostalgia. “Kami satu akademi, dua tahun yang lalu. Dia... senior yang terkenal dengan nilai akademik sempurna dan—err—kemalasan legendaris di jam istirahat.”

Neyro mengangguk ringan. “Dan kamu... junior yang dulu ngikutin semua kelas tambahan, bahkan yang nggak wajib.”

Garlend tertawa kecil. “Luar biasa. Dunia memang kecil. Nah, Laira, dia akan kamu gantikan—untuk seterusnya. Neyro hanya guru sementara selama tiga hari ini. Sekarang tugasmu dimulai.”

“Baik, Pak,” jawab Laira.

Mereka pun berjalan keluar dari ruangan, menyusuri lorong sekolah menuju ruang guru.

Sambil berjalan, Laira melirik ke samping. “Aku gak percaya... Senior bisa jadi guru pembelajaran umum.”

“Aku juga nggak percaya kamu bisa naik pangkat secepat ini,” jawab Neyro, tangannya masuk ke saku celana.

“Umurku baru dua puluh lima, tahu!” balas Laira dengan kesal bercanda. “Tapi serius, kenapa Senior keluar dari satuan elit Knight Kekaisaran? Kau kan... salah satu nama yang disebut-sebut dalam pelatihan.”

Langkah Neyro sedikit melambat. “Karena kupikir... aku sudah cukup. Sudah melihat cukup banyak darah. Politik. Pengkhianatan. Dan apel.”

“Apel?” Laira menaikkan alis.

“Aku benci apel,” jawab Neyro datar.

Tawa Laira meledak kecil. “Kau... masih seaneh dulu.”

Mereka berhenti sejenak di dekat taman tempat murid-murid duduk dan membaca. Beberapa dari mereka langsung melambaikan tangan ke arah Neyro dan berteriak:

“Pak Neyro!”

“Sensei Vojenski!”

“Kami suka pelajaran hari itu tentang cinta!”

“Jangan pulang dulu, ya!”

Laira memperhatikan semua reaksi itu dengan kagum. “Tiga hari... dan mereka sudah segitunya padamu.”

Neyro mengangkat bahu. “Mereka anak-anak pintar. Cuma perlu pendekatan yang nggak bikin ngantuk.”

“Kalau begitu, kenapa tidak lanjut saja jadi guru?” tanya Laira serius.

“Aku ingin istirahat,” jawab Neyro sambil memandang ke arah langit sore. “Menikmati kopi serius... hari tanpa apel... tanpa mendengar perebutan kekuasaan antar bangsawan. Aku ingin hidup santai, menerima gaji seadanya... dan tidur siang tanpa dibangunkan.”

Laira terdiam. Matanya melirik pria yang pernah jadi teladan akademik, prajurit tangguh, dan kini memilih jadi guru keliling.

“Kau tak pernah berubah ya,” gumam Laira, setengah tersenyum.

Neyro tidak menjawab. Ia hanya memalingkan wajah menatap langit, lalu menurunkan pandangannya ke taman.

Di sana, para siswa tertawa, saling mendorong, mengobrol, dan tertidur di bawah pohon. Pemandangan yang sederhana, damai, dan... langka.

“Kalau bisa,” ucap Neyro lirih, “aku ingin mati santai. Nggak ribet. Nggak heroik. Nggak harus jadi tugu. Bukankah itu menyenangkan, Laira?”

Laira memandangi profil wajah Neyro. Di balik ketenangan pria itu, ia bisa merasakan beban masa lalu, luka yang belum sembuh, dan pilihan untuk tidak lagi jadi pahlawan... tapi penjaga ketenangan.

“Iya...” jawab Laira pelan. “Itu menyenangkan.”

Mereka pun kembali berjalan, memperkenalkan Laira ke setiap kelas dari tingkat 1 hingga 13. Setiap kali, para siswa tetap menatap ke arah Neyro, menunjukkan keterikatan mereka.

Laira tahu—menggantikan posisi Neyro akan sulit.

Namun dia juga tahu, pria itu sudah memilih jalannya sendiri: bukan sebagai pahlawan yang dielu-elukan… tapi sebagai manusia biasa yang ingin hidup tanpa topeng.

Dan itu... bukan sesuatu yang bisa dimengerti semua orang.

Namun Laira mengerti. Karena dia muridnya dulu—dan kini, teman seperjalanan yang memahami.

Bersambung.......