Langit sore mulai beranjak senja saat bel pelajaran terakhir berbunyi. Ruang kelas perlahan kosong dari suara tawa dan protes murid bangsawan yang terlalu bersemangat. Neyro berjalan perlahan di lorong akademi, melepas napas panjang. Setelah menghadapi pertanyaan-pertanyaan ajaib dari anak-anak seharian—mulai dari tentang sihir, cinta, status perjodohan dan sejarah—akhirnya ia bisa pulang.
Begitu masuk ke kamar, ia langsung melempar jas hitam panjangnya ke lantai. Celana menyusul. Kini hanya tersisa kaos tipis dalam dan celana pendek yang biasa dipakai tidur. Suasana kamar tenang dan senyap, hanya diselingi coakan pelan lima ekor burung merpati yang masih bertengger di balkon, masing-masing membawa surat di kaki mereka. neyro mengambil satu persatu surat itu dan menaruhnya di atas meja.
Neyro menguap dan menjatuhkan diri di sofa. Kakinya naik ke atas meja seperti biasa. Matanya menyipit melihat tumpukan surat di sebelah mug teh susu vanila yang tinggal setengah—hadiah dari Lilith Marca, murid kelas 12 yang telah iya bimbing sedikit malam itu..
**"Yah... surat ..."** gumamnya malas.
Ia menarik satu surat yang ada di meja. Namun saat melihat nama pengirim di ujung amplop, tubuhnya langsung menegang.
**"Dari Ibu..."**
Ia menoleh ke kakinya yang barusan digunakan untuk menarik surat itu.
**Dalam hati:** *"Sial... aku anak durhaka. Aku tadi narik tangan Ibu pakai kaki. Maaf, Bu... aku gak sengaja. Jangan kutuk aku jadi batu..."*
Dengan rasa bersalah yang besar, Neyro membuka surat itu perlahan-lahan. Isinya... tebal. Sangat tebal. Tulisan tangan Ibu-nya masih sama seperti dulu: miring sedikit ke kanan, halus, tapi penuh energi. Ia membaca pelan, menyerap setiap kalimat.
**"Neyro, anakku— Bagaimana kabarmu di barat kota perbatasan? Jangan telat makan. Kamu itu kalau sudah sibuk, sampai lupa hari. Kalau bisa cuti, pulanglah ke Utara nervales sebentar. Rumah masih dingin, tapi kami semua kangen. Terutama Alneya. Dia nanyain kamu terus. Katanya, ‘Kenapa Paman Neyro nggak pulang-pulang?’ Kau tahu, dia sekarang sudah bisa baca huruf besar. Pamer terus setiap ada tamu.
Oh, dan kakakmu, Reyna, minggu depan akan pulang ke rumah bersama suaminya, Elgrand. Mereka bilang akan tinggal dua minggu. Mungkin kalian bisa ketemu dan jalan bareng ke danau seperti dulu.
Kalau kau pulang, aku masak sup tulang rusa favoritmu. Tapi tolong bawa pakaian kotor untuk dicuci. Aku yakin kau belum beli sabun baru, ya?
Ibu mencintaimu. Pulanglah sesekali, dasar bocah keras kepala."**
—**Ibumu, Almira**
Neyro tersenyum kecil, menggigit ujung lidahnya, menahan rasa bersalah dan hangatnya rindu. Ibunya, **Almira**, memang selalu cerewet. Tapi hanya surat darinya yang bisa membuat Neyro membaca kalimat demi kalimat seperti mantra kuno yang tak boleh dilewati satu huruf pun.
**"Alneya..."** gumam Neyro, menyebut nama keponakan kecilnya. Anak dari kakaknya, **Reyna**, dan suaminya, **Elgrand**—seorang bangsawan putra dari baron dan juga kesatria knight daerah utara pengawal pribadi dux Utara . Mereka tinggal di kota utara, jauh dari rumah orang tuaku, tapi keluarga itu selalu jadi alasan utama Neyro bertahan menjadi 'manusia'.
Ia menyandarkan kepala ke sandaran sofa, menatap langit-langit dengan perasaan aneh—campuran letih dan hangat. Tangannya menggapai mug teh susu vanila pemberian Lilith Marca dan meneguk sedikit isinya.
Aroma manisnya seperti pelukan. Terasa sangat kontras dengan wajah datar Lilith saat memberikannya.
**“pak neyro, ini... teh yang anda inginkan. Kamu terlihat lelah.”**
**“astaga..Terima kasih, Lilith,”** jawabnya waktu itu. Tak menyangka teh itu akan menemani malam panjang membaca surat keluarga.
Setelah menghabiskan surat dari ibu, Neyro mengambil satu surat lagi dari kaki lima burung merpati itu. Kali ini, segelnya adalah simbol **Dewan Instruktur Akademi Kekaisaran**—para veteran sihir, ilmu, dan strategi yang pernah mendidiknya.
Surat itu kaku, dingin, formalitas dan penuh amarah.
Neyro memutar mata ketika membaca nama Dargan Alvein. Ia menulis balasan 5 surat itu dengan satu surat cepat di balik surat itu:
**"Masih hidup. Terima kasih."**
Dan juga beberapa balasan yang membuat salah satu orang akan meledak di akademi.
Alih-alih menggunakan stempel resmi, ia menumpahkan sedikit teh susu vanila ke lantai, lalu memukulnya dengan sepatu dan mengecap bagian bawah surat dengan **cap sepatu teh vanila**.
**"Tanda tangan orisinal,"** gumamnya sambil tertawa kecil. **"Biar mereka kira ini bentuk sihir tanda tangan baru."lalu iya bangun dan menaruh di salah satu merpati dan 5 merpati itu terbang pergi
Ia kembali duduk di sofa menatap langit-langit kamar yang perlahan gelap. Lampu belum dinyalakan.
Sambil meregangkan tangan dan menguap, Neyro menutup matanya sejenak. Di pikirannya, wajah ibunya, suara tawa Alneya, dan omelan kakak perempuannya Reyna berputar lembut.
**“Kalau aku punya waktu... mungkin aku benar-benar akan pulang,”** bisiknya.
Untuk pertama kalinya dalam sekian lama, Neyro membiarkan pikirannya tenang. Malam ini, tidak ada monster. Tidak ada perang. Hanya surat dari rumah… dan teh susu rasa vanila.
Bersambung.......
Bersambung.