Pukul 14.00 tepat, lonceng di akademi cabang Velund berdentang tiga kali. Suara murid-murid di dalam kelas B-12A sudah terdengar riuh bahkan sebelum pintu dibuka.
Pintu terbuka dengan suara klek, dan neyro masuk. Satu tangan di saku, satu lagi membawa selembar daftar kehadiran.
“Selamat siang,” ucap Neyro santai. “Nama saya Neyro Vojenski. Hari ini saya akan mengajar... ya, semampu saya.”
Belum sempat melanjutkan, seorang siswa laki-laki dari baris tengah mengangkat tangan dan langsung bertanya dengan wajah penuh penasaran.
Rurik (siswa, rambut hitam, ekspresif): “Pak! Bapak yang tadi nangkep selaim ungu tadi ya? Yang nangkap pakai toples?! Gimana bisa muncul secepat itu?!”
Tawa langsung pecah di seluruh kelas.
Siswa lain ikut menyaut.
Lena (siswi ceria, berambut kuncir dua): “Pak, katanya Bapak punya hubungan spesial sama Instruktur Alisia ya? Bener gak?!”
Garo (siswa, bertubuh besar): “Pak, udah punya pacar? Umurnya berapa sih? Serius, masih lajang?!”
Neyro hanya berdiri di depan kelas, mengangkat alis, dan menepuk jidat pelan.
“Toples selaim, pacar, dan umur. Tiga topik yang sepertinya tidak akan saya temui di medan perang,” ucapnya dengan nada datar tapi kocak.
Seluruh kelas tertawa—kecuali satu siswa di pojok belakang. Sosok itu hanya mengangkat satu tangan ke atas tanpa suara.
Murid-murid langsung diam. Semua menoleh ke arah siswa itu.
Aidon (siswa pendiam, berkacamata, rambut rapi): “Pak, kenapa sebagian sejarah negeri ini ditutup-tutupi dari generasi seperti kami?”
Keheningan turun seperti selimut tipis. Neyro menatap Aidon. Wajahnya tak lagi santai. Perlahan, ia duduk di atas meja guru, melipat tangan.
“Pertanyaan yang bagus,” gumamnya.
Setelah hening beberapa detik, ia mulai bicara:
“Kalian tahu... sejarah bukan hanya cerita tentang masa lalu. Ia adalah fondasi bagaimana kita memahami dunia. Tapi seperti batu bata, tak semua fondasi dibiarkan terlihat. Sebagian ditanam, sebagian disemen rapat—agar bangunan tetap berdiri tanpa goyah.”
Murid-murid terdiam. Bahkan Lena yang biasa ramai pun sekarang duduk tegak.
“Beberapa sejarah disembunyikan karena terlalu kelam. Ada tragedi, pengkhianatan, atau kebenaran yang bisa mengganggu kestabilan negara. Apalagi kalau yang memegang kekuasaan… punya sesuatu untuk dilindungi.”
Garo mengangkat tangan. “Tapi... bukankah generasi baru berhak tahu?”
Neyro mengangguk pelan.
“Tentu. Tapi memahami sejarah butuh kedewasaan. Jika kalian tahu bahwa beberapa tokoh pahlawan ternyata juga pernah menjadi algojo, apa kalian masih bisa menghormati nilai perjuangan mereka? Sejarah bukan hitam-putih. Ia abu-abu. Dan manusia… kadang terlalu cepat menghakimi.”
Lena bersuara pelan, “Jadi… apa yang kita pelajari selama ini belum tentu benar semua?”
“Benar. Tapi bukan berarti bohong. Hanya sebagian disaring. Seperti kalian membaca buku dari bab 3, tanpa tahu bab 1 dan 2. Masih bisa dipahami, tapi tidak utuh.”
Rurik mencondongkan tubuh ke depan. “Pak, pernah gak lihat sejarah yang sangat… menyakitkan?”
Neyro terdiam sejenak, matanya menerawang ke luar jendela.
“Pernah. Bahkan aku... bagian dari sejarah itu.”
Seluruh kelas membeku. Tak ada yang bicara. Neyro lalu tersenyum tipis, mencoba mencairkan suasana.
“Tapi kita di sini bukan untuk menangisi masa lalu. Kita belajar agar tidak mengulanginya.”
Aidon menunduk dan bergumam, “...lalu siapa yang menulis sejarahnya, Pak?”
“Para pemenang, Aidon. Selalu begitu. Tapi tugas kalian, generasi baru, bukan hanya percaya. Tapi bertanya, mencari, dan berpikir.”
Felise (siswi pendiam di ujung kanan): “Pak... kalau kami ingin tahu yang sebenarnya, dari mana kami mulai?”
“Dari rasa ingin tahu. Seperti hari ini.”
Neyro berdiri lagi, mengambil kapur dan menulis satu kata besar di papan tulis:
“PERTANYAAN.”
“Sejarah sejati dimulai dari mereka yang berani bertanya, bukan hanya menerima.”
Bel istirahat berbunyi, namun tak ada satu pun yang bergerak.
Garo mengangkat tangan lagi. “Pak, jadi hasil tangkapan toples tadi itu…”
“...rahasia negara,” potong Neyro sambil tersenyum lebar.
Semua langsung tertawa.
Di luar kelas, saat Neyro hendak melangkah pergi, Aidon menghampirinya.
“Aku ingin tahu lebih banyak, Pak. Tentang sejarah, tentang yang tak pernah ditulis.”
Neyro menepuk bahunya. “Kalau kamu benar-benar ingin tahu, suatu hari kamu akan melihatnya sendiri. Tapi jangan terburu-buru. Dunia tidak seindah kisah pahlawan.”
Aidon mengangguk pelan.
Dan Neyro pun berjalan pergi, meninggalkan kelas yang kini sedikit lebih sadar… bahwa pelajaran bukan hanya tentang angka dan teori. Tapi tentang kebenaran yang perlu dicari.
Bersambung.......