Angin laut membawa aroma garam dan kebebasan saat aku duduk berhadapan dengan Isabelle di restoran tepi pantai. Lentera kecil dan berwarna-warni menggantung di atas, menyebarkan sinar hangat di wajahnya. Di depan kami terhampar hidangan makanan laut yang membuat air liurku menetes—hidangan yang bahkan tidak pernah kubayangkan ada, apalagi kuencicipi.
"Kamu benar-benar belum pernah makan lobster sebelumnya?" tanya Isabelle, matanya terbuka lebar karena terkejut.
Aku menggelengkan kepala, merasa sedikit malu. "Keluarga Sterling tidak pernah membawaku ke tempat seperti ini. Dan sebelum itu..." Aku terhenti, tidak ingin mengingat masa laluku yang miskin.
"Kalau begitu," kata dia sambil mengambil cakar lobster dan menunjukkan cara membukanya, "anggap ini sebagai inisiasimu."
Kuikuti langkahnya, berusaha mematahkan cangkang merah sampai akhirnya menyerah. Daging putih lembut di dalamnya sepadan dengan perjuangan—bermentega, manis, dan berbeda dengan apa pun yang pernah kucicipi.