PROLOG

"CEPAT PERGI DARI SINI!" Dengan sorot mata yang tajam, pria itu menegaskan ucapannya kepada istrinya.

"AKU TIDAK BISA MENINGGALKAN MU!" Balas wanita itu.

"PERGILAH! Selamatkan anak kita... Aku akan menahan mereka di sini, percayalah padaku..." 

Pria itu menggenggam bahu istrinya, tangannya bergetar. Ia mencoba meyakinkannya, meski dirinya sendiri diliputi ketakutan.

Mereka pun saling bertatapan, menyadari bahwa saat ini mereka sedang bertatapan untuk yang terakhir kalinya. Di tengah itu, Suara dobrakan pintu pun terdengar. Tanpa pikir panjang, wanita itu pun berlari membawa bayinya pergi melewati jendela belakang rumahnya.

Ia berlari sekuat tenaga melintasi kobaran api yang telah melahap desa tempat mereka tinggal. Suara teriakan terdengar di sekelilingnya. Bau darah tercium di mana-mana. Panas sekaligus dingin menyengat tubuhnya. Ia terus berlari tanpa mempedulikan sekitar, hingga kesulitan menarik napas.

"Tinggal sedikit lagi... kumohon..." lirih wanita itu, berharap ia bisa sampai ke ibu kota kerajaan.

Namun, suara langkah kaki kuda semakin jelas terdengar. Tampak sebuah hutan di depannya. Ia pun berlari masuk ke dalam hutan tersebut, berniat untuk bersembunyi di sana.

Ia sudah tak mampu lagi berlari. Jantungnya berdebar kencang dan ia mulai terbatuk-batuk. Harapan tampak sudah di ujung tanduk. Ia pun menyembunyikan bayinya di balik semak belukar.

"Maafkan aku... anakku... kau adalah harapan kami satu-satunya," ucap wanita itu dengan berlinang air mata.

Ia lalu memasang sebuah liontin di leher bayinya. Bayi itu bahkan tak menangis, seakan tahu bahwa malam ini adalah malam yang sangat mengerikan.

Wanita itu pun mencium dahi anaknya, memberikan kehangatan terakhir sebagai tanda perpisahan. Ia segera pergi dari sana, menyelinap di antara pepohonan. Berharap sesuatu yang mengejarnya tidak menemukan keberadaan bayinya.

Tepat seratus meter dari sana, ia berhasil terkepung. Ia tahu ajalnya sudah di depan mata. Sebuah senyuman terukir jelas di wajahnya, tanda bahwa ia telah pasrah pada takdirnya.

"Raagnol... hiduplah dengan bahagia. Walaupun aku... tak ada di sampingmu, aku yakin, kau akan tumbuh menjadi anak yang baik." Di dalam hatinya, wanita itu berdoa untuk yang terakhir kalinya. Sesaat sebelum ayunan pedang menebas dirinya.