Langit malam di atas Samudra Pasifik gelap dan pekat, tanpa bulan, hanya bintang-bintang kecil yang gemetar jauh di angkasa. Di dalam pesawat militer Tiongkok tipe Y-8, suasana tidak begitu ramai. Delapan penembak terbaik negara, semuanya berseragam lengkap, duduk tenang di kursi mereka. Di antaranya, duduk seorang pria muda dengan mata tajam dan sorot wajah dingin — Letnan Lin Xiaojun. Di pundaknya tergantung medali emas yang baru ia menangkan dalam Kejuaraan Menembak Internasional di Eropa Timur.
Pesawat bergetar ringan, disusul suara dengung pelan. Pilot mengumumkan lewat pengeras suara: “Kita akan melewati zona cuaca buruk. Harap tetap duduk dan kenakan sabuk pengaman.”
Xiaojun membuka jendela kecil di samping kursinya. Di luar hanya kegelapan. Tangannya meraba pelatuk senapan panjang khusus turnamen yang diletakkan di dalam peti baja di bawah kakinya. Ia baru saja mengalahkan delapan belas negara, membawa nama negaranya ke puncak. Tapi tidak ada senyum di wajahnya.
Ia memejamkan mata sejenak. Lelah, namun pikirannya terus bekerja.
“Lin,” suara kapten duduk di seberangnya, “Setelah sampai Beijing, kau akan dipindahkan ke unit pelatihan elit. Katanya, mereka ingin kau melatih generasi penembak baru.”
Xiaojun hanya mengangguk. Ia tidak tertarik pada kemewahan atau pangkat. Yang ia inginkan hanya ketenangan.
Namun takdir memilih jalan lain.
Tiba-tiba pesawat berguncang keras. Semua penumpang terangkat dari tempat duduk. Alarm berbunyi, lampu merah berkedip di seluruh kabin. Suara ledakan terdengar dari arah sayap kiri.
“Mesin dua terbakar!” teriak salah satu teknisi.
Asap memenuhi ruang kargo. Para tentara panik, tetapi tetap berusaha disiplin. Kapten memerintahkan semua mengenakan masker dan bersiap hadapi pendaratan darurat. Tapi dari jendela kanan, Xiaojun melihat api menjalar ke badan pesawat.
Dalam kekacauan itu, waktu seakan melambat bagi Xiaojun.
Ia menarik napas panjang dan meraih lencana merah di dadanya. Lalu, saat api menyambar dinding pesawat dan ledakan kedua mengguncang kabin, tubuhnya terpental keras ke belakang. Dunia berubah menjadi cahaya putih yang menyilaukan, lalu... gelap total.
---
Hening.
Bau tanah basah dan kayu tua. Udara dingin menembus kulit. Cahaya redup menyusup dari celah-celah dinding bambu. Suara ayam dari kejauhan.
Xiaojun membuka matanya perlahan. Dadanya terasa berat, tubuhnya lemah.
Bukan seragam militer. Ia mengenakan pakaian katun tipis penuh tambalan. Tangannya kurus, kotor, dan penuh bekas luka lama. Ia terduduk pelan di atas dipan kayu tua.
“Di mana... ini?” gumamnya.
Suara pintu bambu bergeser. Seorang perempuan paruh baya masuk, membawa semangkuk bubur jagung.
“Kau bangun? Sudah siang, Jun. Cepat makan sebelum adikmu pulang dari sekolah,” katanya lembut.
Xiaojun memandangi wajah perempuan itu. Tidak dikenalnya. Tapi nada suara itu… hangat. Bukan suara atasan, bukan suara komandan. Ini suara ibu.
Namun bukan ibunya.
Ada yang salah.
Tubuh ini bukan miliknya. Rumah ini bukan barak militer. Bahkan dunia ini terasa... lebih kuno. Tanpa listrik, tanpa mesin. Ia menoleh keluar jendela. Di kejauhan terlihat sawah, gunung, dan kabut tipis musim gugur.
Di luar sana, seorang bocah kecil berlari sambil tertawa. Di belakangnya, dua anak kembar duduk di tangga sambil makan ubi rebus.
Di meja, tergantung kaligrafi yang ditulis dengan kuas: "Desa Songlin — 1981".
Xiaojun mencengkeram kepalanya. Suara letusan masih terngiang di telinga. Ledakan, api, jeritan...
Tapi ia hidup. Dalam tubuh baru. Di dunia asing.
---
Ia mencoba berdiri, namun lututnya gemetar. Perempuan tadi—ibu barunya—membantu menopangnya.
“Kau demam sejak dua hari lalu. Hampir saja Ibu bawa kau ke tabib. Tapi syukurlah... sekarang kau sudah sadar.”
Ia hanya mengangguk lemah. Pikirannya masih berkecamuk. Siapa pemilik tubuh ini? Kenapa ia bisa berada di sini?
Di sudut ruangan, tergantung cermin kecil. Ia melangkah pelan mendekat dan menatap bayangan dirinya. Bukan wajahnya. Lebih muda, lebih kurus, lebih lemah. Tapi di mata itu... ada sesuatu yang sama. Mata yang pernah melihat terlalu banyak.
“Xiaojun!”
Suara dari luar rumah. Bocah laki-laki dan perempuan kembar masuk terburu-buru.
“Kakak, kau sudah bangun!”
Mereka melompat ke pelukannya, membuat tubuh lemahnya oleng. Tapi Xiaojun tersenyum kecil. Ia tidak tahu siapa mereka, tapi pelukan itu terasa nyata.
Mungkin... ini awal dari segalanya.
Ia menatap keluar jendela. Matahari musim gugur perlahan naik, menerangi ladang yang menguning. Hutan di kejauhan tampak tenang, tapi suara lolongan samar terdengar dari balik gunung.
Dunia ini hidup. Dan ia harus hidup di dalamnya.
Dengan nama, tubuh, dan keluarga yang bukan miliknya.
---
Hari berlalu perlahan. Sore menjelang ketika seorang lelaki tua dengan tongkat kayu datang ke rumah.
“Yulan, bagaimana keadaan anakmu?”
“Sudah sadar, Kepala Desa,” jawab ibunya. Lelaki tua itu — Kepala Desa Wang Dajiang — memandang Xiaojun lama. Matanya menyipit, seolah melihat sesuatu yang tidak dikatakan.
“Wajahnya berubah. Tapi mungkin ini pertanda baik,” katanya pelan. “Jika dia sehat kembali, mungkin bisa membantu kita menjaga malam. Babi-babi liar kembali turun ke ladang.”
Xiaojun menatap lelaki itu tanpa menjawab. Dalam hatinya, ia merasa peringatan itu bukan sekadar ucapan.
Malam pun datang. Angin musim gugur membawa hawa dingin yang meresap ke dalam tulang. Xiaojun duduk di tepi ranjang, menatap langit dari celah atap bambu.
Ia tidak tahu kenapa hidup memberinya kesempatan kedua. Tapi ia tahu satu hal — ia tidak akan menyia-nyiakannya.
---
Ketika malam benar-benar sunyi, ia mendengar suara ranting patah dari arah luar rumah. Nalurinya sebagai penembak langsung bangkit. Ia berdiri perlahan dan melongokkan kepala keluar jendela bambu. Kabut sudah mulai turun. Di kejauhan, di balik pepohonan, sepasang mata kuning memantul cahaya remang bulan.
Bukan manusia.
Seekor serigala sedang mengamati rumah mereka dari kejauhan.
Xiaojun menatapnya tanpa gentar. Hatinya berdebar. Tapi bukan karena takut. Karena ia tahu—ini bukan hanya tentang bertahan hidup.
Ini adalah panggilan.
Panggilan untuk melindungi.
Panggilan untuk berburu.
Dan esok hari, dunia akan mulai mengenal nama Lin Xiaojun yang baru.
---
Sebelum ia tidur malam itu, ibunya datang membawa sehelai selimut tipis. “Maafkan Ibu, belum bisa membelikanmu selimut yang hangat. Kita masih menunggak utang ke Kakek Guo.”
Xiaojun menatap wajah lelah wanita itu. “Berapa utangnya?”
“Lima belas yuan. Untuk beras dan minyak bulan lalu.”
Ia mengangguk. Angka itu terukir di dalam benaknya. Esok pagi, ia akan bicara pada kepala desa. Ia membutuhkan senapan. Bukan hanya untuk mengusir babi liar, tapi untuk berburu.
Dan ia tahu, jika ia bisa mengisi perut keluarga ini dan melunasi utang itu, maka meski ia bukan Xiaojun yang lama, ia akan menjadi bagian dari dunia ini sepenuhnya.