bab 2 harga sebuah senapan

Bab 2 — Harga Sebuah Senapan

Pagi berikutnya, embun masih menempel di pucuk daun, dan kabut tipis belum sepenuhnya terangkat dari tanah. Suara ayam jantan berkokok dari kejauhan disusul derit pintu rumah yang dibuka perlahan. Xiaojun melangkah keluar, tubuhnya masih terasa lemah, namun pikirannya sudah dipenuhi rencana.

Ia berdiri di depan rumah yang terbuat dari papan bambu tua, menatap ke arah ladang kecil yang ditanami jagung dan kacang tanah. Di sebelah kiri, ayahnya duduk di kursi kayu usang, menyeduh teh dengan gerakan lambat. Wajahnya tirus, tapi masih bisa tersenyum.

“Kau bangun pagi sekali,” kata sang ayah dengan suara serak.

“Iya, Ayah,” jawab Xiaojun pendek. Suaranya tenang, tapi mantap. “Aku ingin bicara dengan Kepala Desa.”

Ayahnya menatapnya lama, lalu mengangguk. “Kalau bisa... minta pekerjaan. Kita butuh uang.”

---

Desa Songlin masih sepi pagi itu. Jalan tanah becek akibat hujan malam sebelumnya. Beberapa warga terlihat mengangkat keranjang ke sawah, dan seorang nenek tua sedang menjemur cabai di depan rumahnya. Xiaojun melangkah pelan menuju rumah kepala desa yang terletak di tengah desa, dekat balai pertemuan kecil.

Rumah Kepala Desa Wang Dajiang berdinding bata merah, berbeda dari rumah-rumah lainnya yang terbuat dari bambu. Pria tua itu sedang duduk di serambi depan, mengupas jagung.

“Xiaojun? Sudah kuat jalan-jalan rupanya,” katanya sambil tersenyum tipis.

“Aku ingin meminjam senapan desa,” kata Xiaojun langsung. “Aku ingin berburu di gunung.”

Kepala desa meletakkan jagung, memandangi pemuda itu dengan tatapan penuh pertimbangan. “Senapan tidak bisa dipinjam begitu saja. Kau tahu aturan desa.”

“Aku bisa membayar. Atau membantu desa.”

“Kau memang bisa membantu,” gumamnya. “Kami kekurangan penjaga malam. Orang yang biasa berjaga... meninggal pekan lalu. Diserang babi hutan saat hendak mengusir mereka dari ladang bawah.”

Xiaojun menegakkan tubuh. “Berikan aku tugas itu. Aku akan jaga malam dan bantu warga. Sebagai gantinya, izinkan aku menggunakan senapan.”

Kepala desa diam beberapa saat, lalu berdiri dan masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian, ia keluar membawa sebuah senapan tua—laras panjang, kayu berwarna gelap, dan pelatuk yang sudah aus.

“Ini bukan senapan baru, tapi masih bisa menembak tepat. Jika kau bisa menjaga ladang dan bantu usir babi liar, senapan ini jadi milikmu.”

Xiaojun menerima senapan itu dengan kedua tangan, memeriksanya dengan cepat. Matanya memantulkan sorot dingin seorang profesional.

“Terima kasih, Kepala Desa.”

---

Di perjalanan pulang, Xiaojun melewati rumah Kakek Guo. Rumah kecil itu berada di sudut desa, berdinding bambu dan beratap jerami. Di depan, terlihat si kakek sedang menjemur padi.

“Eh, Xiaojun! Sudah bangun rupanya. Keluargamu belum datang membawa uang beras dan minyak bulan lalu.”

Xiaojun berhenti dan menunduk sopan. “Saya tahu, Kek. Kami akan membayarnya. Saya baru saja menerima tugas sebagai penjaga malam.”

Kakek Guo mendengus kecil. “Kalau begitu cepatlah berburu. Harga beras makin mahal. Aku pun perlu belanja ke kota kabupaten.”

“Baik, saya akan bayar secepatnya.”

---

Sore harinya, Xiaojun membersihkan senapan di bawah pohon rambutan di belakang rumah. Adik perempuannya, Yun'er, datang membawa segelas air.

“Kau benar-benar mau berburu ke gunung?”

“Iya. Kita harus makan. Dan Ibu tak boleh lagi meminjam dari tetangga.”

Yun'er terdiam. Di matanya, sang kakak bukan lagi pemuda lemah seperti dulu. Ada sesuatu yang berubah sejak ia sadar dari demam.

Saat matahari mulai tenggelam, Xiaojun mengenakan jaket tebal dan menyampirkan senapan di punggung. Ibunya menunggu di pintu dengan cemas.

“Hati-hati. Jangan terlalu jauh ke utara. Katanya ada jejak serigala.”

“Aku tahu, Bu. Aku akan kembali sebelum tengah malam.”

Ia melangkah pergi, menembus hutan yang perlahan tertutup kabut. Di tangannya, senapan tua itu tak lagi tampak usang. Di tangan seorang penembak jitu, bahkan senjata lama pun menjadi senjata mematikan.

---

Langkah kakinya menyusuri jalan setapak berbatu. Di kanan kirinya, semak berduri dan pohon-pohon cemara membentuk bayangan panjang. Udara semakin dingin, dan suara jangkrik mulai menggema. Xiaojun mengaktifkan seluruh indranya.

Ia berhenti sejenak, berjongkok dan memeriksa jejak di tanah lembap. Ada bekas cakaran, besar, menyamping—bukan babi, melainkan rusa liar. Ia mengikuti arah jejak itu perlahan, langkah demi langkah, hingga mendekati area terbuka kecil tempat sinar bulan jatuh.

Tiba-tiba, suara ranting patah terdengar dari balik semak. Xiaojun menahan napas. Ia mengangkat senapan, mengarahkan laras ke depan. Seekor kijang muncul dari balik gelap, telinganya tegak, berhenti tepat di depan cahaya.

Dor!

Tembakan tunggal memecah keheningan malam. Kijang itu ambruk seketika. Xiaojun bergegas menghampiri, memeriksa luka di lehernya. Tembakannya bersih dan presisi.

Ia menghela napas. Ini bukan hanya soal berburu. Ini soal menyambung hidup.

Dengan sigap, ia mengikat kaki kijang itu dan menggotongnya ke pundak. Berat, tapi ia terbiasa dengan beban lebih berat saat latihan militer dulu. Dalam benaknya, ia sudah menghitung:

“Seekor kijang dewasa, dagingnya sekitar 20-25 kilogram. Jika dijual di kota kabupaten, bisa dapat sekitar 30 yuan. Cukup untuk membayar utang dan membeli beras.”

Saat ia kembali turun gunung, kabut semakin tebal dan angin membawa aroma hujan. Namun dalam hatinya, ada kehangatan yang tidak bisa dipadamkan oleh cuaca.

Langkah-langkah berat membawa harapan pulang ke rumah.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, rumah keluarga itu punya daging segar di atas meja setelah berbulan-bulan.

Xiaojun duduk di sudut dapur, tidak banyak bicara. Tapi dalam tatapannya, ada janji yang tidak terucap:

Selama aku hidup, keluarga ini tidak akan kelaparan lagi.

---

Setelah makan malam, ibu membawa sisa tulang kijang untuk direbus menjadi kaldu. Adik-adiknya tertidur dengan senyum di wajah, dan ayah terlihat lebih tenang daripada biasanya.

Namun malam belum selesai.

Ketika semua tertidur, Xiaojun keluar ke halaman belakang, duduk di atas balok kayu sambil membersihkan senapan. Ia menatap bintang-bintang yang tersebar di langit gelap desa Songlin. Angin malam berhembus perlahan.

“Aku tidak tahu kenapa aku di sini,” bisiknya pada langit. “Tapi jika ini hidup baruku, aku akan menjalaninya.”

Seekor anjing hitam tua milik tetangga melolong pelan di kejauhan. Hutan memanggil lagi. Dan dalam hatinya, Xiaojun tahu—ini baru awal perjuangannya.

Di balik bayangan malam, suara ranting patah terdengar dari arah hutan. Ia menoleh tajam, lalu berdiri perlahan. Di tangan kirinya, senapan sudah kembali tergenggam.

Dan dengan setiap malam yang ia jaga, namanya akan tumbuh di hati warga desa.

---

Keesokan paginya, ia bangun lebih awal dari siapa pun. Ia memotong sebagian daging kijang dan membungkusnya dengan daun pisang. Ia berjalan ke rumah Kakek Guo, dan menyerahkan bungkusan itu.

“Ini belum uang, Kek, tapi daging segar. Untuk sementara.”

Kakek Guo mengangguk pelan. “Daging kijang... lama aku tak mencicipinya. Kau jaga kata-katamu, Jun. Jangan sia-siakan apa yang sudah kau mulai.”

“Aku tidak akan,” kata Xiaojun.

Di jalan pulang, ia bertemu dengan dua petani yang membajak sawah. Mereka melihat senapan di punggungnya dan bertanya, “Kau penjaga malam yang baru, ya?”

Xiaojun mengangguk.

“Sore kemarin, babi liar turun lagi ke ladang Pak Ming di timur. Kalau kau bisa bantu usir mereka, kami semua berhutang padamu.”

“Aku akan datang malam ini,” jawabnya pelan.

Hari itu, ia kembali ke ladang, membantu ibunya memotong batang jagung kering. Lalu, ia membersihkan senapan dan menyiapkan peluru. Malamnya, ia tidak hanya akan berjaga. Ia akan bertarung. Untuk keluarga. Untuk desa.

Untuk menebus nyawa yang dulu ia ambil... dan kehidupan baru yang telah diberikan padanya.