Bab 3 — Serangan dari Timur
Sore menjelang malam. Langit desa Songlin berwarna jingga keemasan, diselingi kabut tipis yang melayang rendah di atas ladang. Angin dari pegunungan membawa aroma basah tanah dan serbuk pinus. Xiaojun berdiri di depan rumah dengan senapan tergantung di bahunya, menatap ke arah timur tempat ladang Pak Ming berada.
“Ibu, aku keluar sebentar. Ladang Pak Ming katanya diserang babi liar lagi,” katanya sambil mengenakan topi anyaman yang melindungi dari embun malam.
Ibunya mengangguk pelan. “Bawa peluru cukup. Kalau terlalu malam, jangan lupa isyarat api. Kami tunggu.”
---
Ladang Pak Ming membentang di lereng rendah, sekitar lima belas menit berjalan kaki dari rumah mereka. Tanahnya ditanami singkong dan labu air. Malam itu, hanya satu lampu minyak tergantung di gubuk kecil tepi ladang. Pak Ming sendiri menunggu di sana, bersama anak bungsunya yang memegang obor.
“Terima kasih sudah datang, Jun. Dua malam ini babi-babi datang, besar-besar, makan habis batang labu,” kata Pak Ming sambil menunjuk ke arah pagar bambu yang sudah roboh.
Xiaojun memeriksa bekas jejak: dalam, besar, dan berantakan. Jelas ini bukan babi kecil.
“Aku akan menunggu di sini sampai lewat tengah malam,” ujarnya. “Kalau mereka datang lagi, aku siap.”
Pak Ming dan anaknya pamit kembali ke rumah. Xiaojun duduk di atas peti kayu, senapan di pangkuan. Suara malam mulai merayap: jangkrik, burung malam, dan gemerisik dari semak-semak. Ia menajamkan telinga.
Jam demi jam berlalu perlahan. Angin malam menampar wajah, dan nyamuk mulai menggigit. Xiaojun bertahan, mengingat pelatihan panjang di masa lalu—kemampuan bertahan dalam kondisi dingin dan sunyi, kemampuan membedakan gerak makhluk dari suara dedaunan.
---
Sekitar jam sebelas, terdengar suara dedaunan bergoyang cepat. Xiaojun langsung berdiri dan mengangkat senapan. Ia menahan napas. Dua pasang mata kecil berkilat di kegelapan. Dari semak, muncul seekor babi hutan besar, disusul dua ekor yang lebih kecil.
Dor!
Tembakan pertama menghantam bahu babi besar. Hewan itu menjerit keras dan lari terbirit-birit, disusul dua ekor lainnya. Xiaojun mengejar pelan, tidak ingin terlalu jauh dari ladang. Tapi ia melihat darah di tanah—tembakannya mengenai sasaran.
Ia kembali ke ladang, meletakkan batu besar di jalur masuk untuk menakut-nakuti hewan lainnya. Ia duduk sampai lewat tengah malam sebelum akhirnya pulang.
---
Keesokan paginya, warga desa sudah tahu. Pak Ming bercerita kepada tetangga, lalu kabar menyebar seperti api: penjaga malam baru telah menembak babi liar.
Saat Xiaojun berjalan ke arah balai desa, beberapa warga menyapanya dengan senyuman dan anggukan kagum. Nenek Liu bahkan memberinya satu keranjang ubi sebagai hadiah.
“Untuk makan pagi, Nak. Kau sudah selamatkan kebun kami,” katanya dengan suara gemetar.
Di depan balai desa, Kepala Desa Wang berdiri menunggunya.
“Aku dengar semalam kerja bagus. Itu babi besar, ya?”
Xiaojun mengangguk. “Kena tembak. Ada darah di tanah. Tapi lari ke arah sungai.”
“Kita kirim beberapa orang sore ini untuk mencari bangkainya. Kalau ditemukan, bisa dijual.”
“Kalau boleh, saya ikut.”
---
Sore harinya, enam orang warga ikut menyisir hutan. Mereka menemukan bangkai babi besar tak jauh dari sungai kecil. Tembakan Xiaojun menembus bahu dan merusak paru-paru hewan itu. Tubuh babi itu besar—diperkirakan beratnya hampir 90 kilogram.
Mereka menggotong bangkai ke desa, membaginya ke rumah-rumah yang ladangnya pernah dirusak. Kepala desa menyisihkan satu bagian besar untuk keluarga Xiaojun.
Hari itu, dapur mereka kembali berisi aroma daging panggang. Ibu menangis diam-diam saat memotong daging, sedangkan adik kembarnya melonjak senang.
“Kakak sekarang seperti pahlawan!” kata Yun'er sambil tertawa.
Tapi Xiaojun hanya duduk menatap api. Dalam benaknya, ia tahu perburuan ini baru permulaan.
---
Sore itu juga, beberapa warga datang ke rumah membawa hadiah: beberapa butir telur, satu botol minyak tanah, segenggam garam, dan bahkan dua potong kain tua. Mereka meletakkannya di dapur tanpa banyak kata. Xiaojun membungkuk hormat dan mencatat dalam hati siapa saja yang datang.
Malamnya, sebelum berjaga lagi, ia membantu ibu menyiapkan bubur jagung dan merebus sisa daging. Ayahnya, yang biasanya hanya duduk diam, kali ini ikut mengunyah pelan.
“Kau buat kami bangga, Nak,” ucapnya pelan. “Tapi ingat, hutan bukan tempat bermain.”
Xiaojun mengangguk. “Aku tidak bermain, Ayah. Aku bertahan.”
---
Ladang yang akan ia jaga malam itu terletak lebih jauh ke utara, dekat batas sungai kecil. Wilayah itu lebih rawan karena hutan di sekitarnya lebih lebat dan sering muncul jejak serigala.
Saat ia tiba di sana, langit sudah gelap. Ia membuat api kecil dan duduk di balik gubuk bambu. Waktu berlalu pelan. Udara terasa lembap. Suara burung hantu terdengar dari kejauhan.
Sekitar tengah malam, ia melihat sesuatu bergerak cepat di semak. Bukan babi. Ia mengenali cara geraknya—rendah, cepat, dan nyaris tak bersuara.
Seekor serigala muda muncul dari balik semak. Matanya berkilat, giginya menyeringai. Xiaojun tak langsung menembak. Ia tahu satu tembakan bisa menarik perhatian seluruh kawanan.
Serigala itu hanya mengamati. Lalu mundur perlahan dan lenyap dalam gelap.
Xiaojun tetap duduk, tangannya erat memegang senapan. Malam itu berlalu tanpa serangan. Tapi ancaman baru sudah muncul. Kali ini bukan hanya babi liar, tapi pemangsa yang lebih cerdas dan lebih berbahaya.
---
Keesokan harinya, ia kembali dan menceritakan pada Kepala Desa. Wajah pria tua itu berubah tegang.
“Kalau benar ada serigala, kita harus siaga. Mereka jarang turun ke ladang. Mungkin karena makanan di hutan mulai berkurang.”
“Aku bisa mulai menjelajah lebih jauh. Aku ingin tahu seberapa banyak mereka,” kata Xiaojun.
Kepala desa menepuk bahunya. “Hati-hati. Dan kalau kau berhasil tembak satu serigala, harganya bisa tinggi di kota. Kulit mereka dicari.”
Xiaojun mengangguk. Dalam hatinya, ia tahu: musim mulai berubah. Bahaya pun ikut berubah. Tapi tekadnya tidak.
Malamnya, ia menuliskan sesuatu di secarik kertas kecil yang ia simpan di bawah bantal: “Bulan ini, lunasi utang ke Kakek Guo. Bulan depan, beli dua ekor ayam betina.”
Lalu ia menambahkan: “Musim gugur akan tiba. Persiapan kayu bakar dan selimut harus dimulai minggu depan.”
Perlahan, rumah itu tidak hanya menjadi tempat tinggal. Tapi markas kecil, pusat harapan. Xiaojun tidak pernah mengucapkan banyak kata, tapi setiap tindakannya menciptakan gelombang kecil yang mengubah hidup keluarganya dan perlahan, seluruh desa.
Di luar rumah, hujan rintik mulai turun. Suara air di atas genteng tanah liat terdengar lembut, membawa kesejukan. Xiaojun tersenyum kecil, lalu menarik selimut dan memejamkan mata. Esok hari, ia tahu, akan ada perburuan baru.
Bab 3 Tamat
Terimakasih sudah membaca novel ini