Bab 4 — Utang yang Tak Pernah Lenyap
Pagi yang kelabu menyelimuti desa Songlin. Kabut masih menggantung ketika ayam-ayam berkokok di kejauhan. Xiaojun terbangun lebih awal dari biasanya. Tubuhnya masih lelah, tapi pikirannya sudah penuh dengan rencana.
Di dapur, ibunya sudah sibuk menyalakan tungku. Api kecil menyala, menghangatkan ruangan sempit itu. Bubur jagung mendidih dalam panci tanah liat.
“Kau tak harus bangun secepat ini,” ucap sang ibu, meletakkan mangkuk di meja.
“Aku mau ke ladang utara sebentar, lalu ke pasar kecil. Aku ingin tahu apakah hasil buruan kemarin bisa ditukar dengan kebutuhan rumah.”
Ibu mengangguk. “Kalau kau sempat, mampirlah ke rumah Kakek Guo. Kita belum bayar utang pupuk musim lalu.”
---
Kakek Guo tinggal di rumah kecil di ujung timur desa, dekat pohon plum tua. Ia dikenal sebagai penyedia pupuk dan benih bagi warga yang tak mampu membayar sekaligus. Xiaojun berjalan kaki ke sana, membawa dua potong daging babi hutan dalam kantong anyaman.
Kakek Guo sudah duduk di bangku kayu, mengipasi kakinya dengan kipas jerami.
“Kau datang membawa apa?” tanyanya.
“Daging babi hutan. Saya ingin bayar sebagian utang pupuk tahun lalu.”
Kakek Guo mengamati kantong itu. “Daging ini segar. Kau yang tembak babinya?”
Xiaojun mengangguk. “Malam dua hari lalu. Di ladang Pak Ming.”
Kakek Guo tersenyum kecil. “Kau anak yang keras kepala. Tapi jujur. Baiklah, aku hitung daging ini senilai 80 sen. Masih sisa 1 yuan 20 sen.”
“Aku akan lunasi sebelum musim panen singkong selesai.”
“Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Ayahmu masih belum sehat, kan?”
“Iya. Tapi dia sudah bisa bantu mengikat kayu bakar.”
---
Setelah itu, Xiaojun berjalan ke pasar kecil yang diadakan seminggu sekali di lapangan dekat balai desa. Penjual dari luar desa datang membawa ikan kering, garam, lampu minyak, kain bekas, dan kadang-kadang benih langka.
Ia membawa kulit ekor babi hutan yang dikeringkan dan tawarkan kepada seorang pedagang dari kota kabupaten.
“Harga bagus, kalau ini benar dari babi liar,” kata si pedagang sambil mencium kulitnya.
“Dari hutan di timur. Ada darahnya juga kalau kau lihat sisi dalamnya.”
“Baik, aku bayar 1 yuan 80 sen. Cukup?”
“Kalau bisa 2 yuan.”
Si pedagang tertawa. “Kau anak keras kepala juga rupanya. Baiklah, 2 yuan.”
Dengan uang itu, Xiaojun membeli dua potong sabun, satu botol minyak goreng, segenggam garam, dua buah ubi manis, dan seikat tali rotan untuk jebakan hewan kecil. Sisa 30 sen ia simpan dalam saku rahasia di balik sabuk kain.
Ia juga menukar beberapa bulu babi ke seorang pengrajin tali busur, yang menjanjikan sepotong tali panah buatan tangan sebagai balasan.
Di sudut pasar, Xiaojun melihat papan harga kebutuhan pokok. Minyak goreng: 1 yuan per botol. Garam 15 sen per kantong. Ubi manis 10 sen per dua buah. Harga sabun naik menjadi 40 sen.
---
Saat ia kembali ke rumah, suara tangis terdengar dari halaman. Ternyata adik perempuannya, Meimei, jatuh saat mengejar ayam. Kaki kirinya terkilir.
Ibunya terlihat panik. “Kita harus pijatkan ke Nenek Hua.”
Xiaojun menggendong Meimei dan berjalan ke rumah Nenek Hua, dukun pijat tua di desa itu. Meski tubuhnya bungkuk, tangannya masih kuat.
“Anak ini terlalu banyak berlari,” ucapnya sambil memijat pergelangan Meimei. “Tapi tenang, besok sudah bisa jalan lagi.”
“Berapa bayarannya, Nek?”
“Tak usah. Kau bantu ladang kami dari babi liar. Ini balasan kecil.”
Sebelum pulang, Nenek Hua memberinya sebungkus daun obat dan satu keping koin perunggu untuk jimat. “Letakkan di bawah bantalnya malam ini,” pesannya.
---
Malam harinya, keluarga mereka duduk bersama menikmati makan malam sederhana. Bubur, sayur asin, dan sedikit daging. Ayahnya duduk bersandar, tampak lebih tenang dari biasanya.
“Dulu aku tak percaya kau bisa ubah hidup keluarga ini,” katanya lirih. “Tapi sekarang... aku mulai percaya.”
Xiaojun menunduk. Bukan karena malu, tapi karena ia tahu jalan mereka masih panjang.
Setelah makan, ia duduk di depan rumah, menatap langit gelap. Angin malam membawa bau tanah basah. Ia mengelus laras senapan di pangkuannya. Di kejauhan, lolongan serigala terdengar samar. Malam itu terasa berbeda. Seperti peringatan.
Tapi ia tak gentar.
---
Setelah memastikan semua tidur, Xiaojun menulis catatan kecil di balik kertas pembungkus garam:
"Utang pupuk tinggal 1 yuan 20 sen. Simpanan di kaleng logam: 30 sen. Harga minyak tanah naik. Minggu depan cari rusa atau rubah. Kulitnya bisa dijual lebih mahal."
Ia menyelipkan kertas itu ke dalam kaleng kecil di bawah papan lantai. Di situ juga tersimpan dua peluru cadangan, satu pisau kecil, dan seikat tali rotan. Persiapan yang ia anggap penting.
Keesokan paginya, ia bangun sebelum ayam berkokok. Di luar, embun tebal menutupi rerumputan. Ia memasukkan sisa roti jagung ke dalam kantong kain, membawa senapan, dan berpamitan pada ibunya.
“Hati-hati, Jun,” ujar ibunya sambil merapikan kerah bajunya. “Kalau tak dapat hewan, jangan memaksa.”
“Aku akan menyusuri sisi barat bukit. Ada jejak rusa minggu lalu.”
Ia melangkah ke arah hutan, menyusuri jalan setapak yang mulai ditumbuhi semak liar. Setiap langkahnya meninggalkan bekas di tanah basah. Hari itu ia tidak hanya berburu—ia sedang membangun jalan keluar dari kemiskinan.
Langit memucat. Musim baru mulai terasa. Bau harum dedaunan gugur bercampur tanah lembap. Di bawah cahaya pagi, wajah Xiaojun tampak tegas dan penuh harapan.
Dalam diam, ibunya memandang dari pintu rumah. Ia menggenggam sisa uang 10 sen yang diselipkan Xiaojun di tangan sebelum pergi. Air mata menetes, tapi ia tersenyum.
“Anakku bukan lagi bocah lemah. Ia kini pilar keluarga,” gumamnya pelan.
Dan jauh di ujung jalan tanah itu, suara langkah kaki perlahan menghilang dalam kabut.
Beberapa saat kemudian, kakaknya, Mingyu, keluar dari bilik. Ia baru pulang semalam dari ladang garapan bersama beberapa pemuda desa. Melihat ibunya sendiri di ambang pintu, ia mendekat dan berkata pelan, “Ibu... aku dengar Xiaojun mulai jual hasil buruannya di pasar. Kita bisa mulai bayar utang ke Keluarga Zheng juga.”
Ibunya mengangguk. “Pelan-pelan, Nak. Rezeki datang saat kita berusaha. Tapi utang tetap harus diingat.”
Meimei yang sudah bisa berjalan kembali berlari kecil dari dalam, memeluk kaki ibunya. “Ibu, aku mau ikut ke hutan nanti!”
“Kalau kamu bisa bawa air sendiri dan tak takut nyamuk,” kata ibunya sambil terkekeh.
Tawa kecil mewarnai pagi itu. Di belakang mereka, matahari mulai menyembul perlahan dari balik kabut pegunungan. Cahaya keemasan menyinari rumah kayu yang sudah mulai rapuh dimakan usia, tapi masih berdiri tegak—seperti keluarga mereka.