bab 5 Rusa dari lereng barat

Bab 5 — Rusa dari Lereng Barat

Kabut masih menggantung tebal di antara pepohonan ketika Xiaojun melangkah ke dalam hutan barat. Udara pagi dingin, dan embun membasahi sepatu kainnya. Langkahnya ringan, terlatih, senapan di punggung, matanya waspada menelusuri setiap bayangan di antara batang pohon pinus.

Hari itu hari Rabu, pertengahan musim gugur. Hutan menyimpan aroma lembap khas dedaunan yang mulai menguning. Langit yang semula kelabu perlahan membuka, membiarkan sinar matahari menyusup malu-malu ke dasar tanah.

Xiaojun tahu rute ini. Dulu, waktu masih kecil, ia pernah ikut ayahnya ke lereng ini untuk mengumpulkan jamur liar. Tapi hari ini berbeda. Ia bukan sekadar pencari jamur—ia pemburu, dan keluarganya bergantung pada ketepatan tembakannya.

Ia berhenti sejenak di dekat batu besar. Jejak segar. Dua pasang tapak rusa melintas semalam. Ia meraba tanah, mengamati arah, lalu menyelinap pelan ke arah timur laut.

Tiga jam berlalu. Ia hanya menjumpai sekelompok burung pegar yang terbang saat ia melintas. Tak satupun hewan besar muncul. Tapi ia tak putus asa. Ia tahu, berburu bukan soal kecepatan, tapi kesabaran.

Saat matahari mulai naik, suara lirih dari semak-semak membuatnya menegang. Perlahan ia merunduk, mengangkat senapan.

Seekor rusa jantan muda sedang makan rumput di lereng. Tubuhnya kekar, tanduknya belum sempurna, tapi cukup menjanjikan. Xiaojun menahan napas. Bidikan diarahkan ke bagian leher—tepat di titik mematikan.

TAR!

Suara tembakan menggetarkan hutan. Rusa itu melompat, lalu jatuh terjerembab ke tanah.

Xiaojun berlari mendekat, memastikan buruannya mati. Rusa itu berat—sekitar 45 kilogram. Ia mengikat kakinya, lalu menggiring perlahan menuruni bukit dengan tali rotan yang disiapkan sebelumnya.

Perjalanan menuruni bukit tidak mudah. Rusa yang besar membuat tali bergeser, bahunya pegal. Namun wajahnya tetap tenang. Dia tahu hasil ini akan berarti banyak.

Di tengah jalan, ia berhenti di bawah pohon besar. Duduk sejenak, ia membuka bekal—sepotong roti jagung kering dan air dalam botol bambu. Ia makan dengan lahap, lalu kembali berjalan. Sepanjang jalan ia berpikir: apakah ia harus membeli sepatu baru? Sepatu lamanya mulai rusak.

Ia teringat sesuatu. Ketika kecil, ayahnya pernah bercerita bahwa rusa adalah lambang keberuntungan. "Siapa yang menangkap rusa saat musim gugur," katanya, "akan dilimpahi hasil baik sepanjang musim dingin."

---

Di perjalanan pulang, ia berpapasan dengan dua pemuda desa, Liu San dan Abo, yang sedang memeriksa ladang jagung mereka.

“Hebat kau, Jun!” seru Abo, takjub melihat rusa itu.

“Beratnya bisa dua kali lipat babi kemarin,” tambah Liu San sambil memegang tanduknya.

“Aku mau jual dagingnya ke kota kabupaten,” kata Xiaojun. “Tapi aku sisakan bagian terbaik buat keluarga.”

“Kalau kau ke kota besok, mampir ke toko bumbu milik Paman Tang. Dia suka beli daging segar.”

“Aku akan coba.”

---

Setibanya di rumah, Meimei dan adik kembar langsung bersorak melihat rusa besar itu. Ibunya menutup mulut karena kagum. Ayahnya tersenyum bangga dari kursi kayu reyotnya.

“Daging segar, tulang untuk kaldu, kulit untuk dijual. Tidak ada yang terbuang,” ucap Xiaojun sambil mulai memisahkan bagian rusa.

Sore itu mereka makan lebih baik dari hari-hari biasa. Sup tulang rusa hangat mengepul di atas meja. Meimei bahkan minta tambah dua kali. Ayahnya, yang jarang bicara, berkata lirih, “Sudah lama aku tak mencium bau kaldu seperti ini.”

Malamnya, Xiaojun membersihkan dan menggarami kulit rusa. Ia akan membawanya ke toko kulit di kota kabupaten. Menurut pedagang, kulit rusa bisa dihargai sampai 3 yuan, tergantung kualitas.

Ia mencatat semua pendapatan dan pengeluaran di kertas sobekan: minyak tanah, garam, utang Kakek Guo, utang keluarga Zheng, dan tabungan di bank kabupaten yang masih kosong.

Kakaknya, Mingyu, pulang menjelang malam dan ikut membantu mengangkat tulang rusa ke atas loteng agar tak dimakan tikus. “Besok aku ikut ke kota,” katanya. “Kalau kau mau, aku bisa bantu bawa dan jual ke kios.”

Xiaojun mengangguk. “Tapi aku ingin belajar langsung ke tokonya. Ini pertama kalinya aku mau buka tabungan.”

---

Keesokan pagi, Xiaojun dan Mingyu menyiapkan keranjang bambu besar. Mereka membawa potongan daging terbaik, hati rusa, tulang belakang, dan kulit. Xiaojun juga membawa surat dari kepala desa yang memperbolehkan menjual hasil hutan ke pasar resmi.

Perjalanan ke kota kabupaten memakan waktu setengah hari dengan berjalan kaki. Di jalan mereka bertemu dengan pedagang keliling dan beberapa petani lain yang hendak ke pasar. Sepanjang jalan, mereka menyapa semua orang sopan, menjaga hubungan baik.

Ketika sampai di pasar, mereka langsung menuju toko Paman Tang. Lelaki tua itu mengelus janggutnya melihat daging yang dibawa Xiaojun.

“Segar dan bersih. Kau sudah tahu cara mengirisnya, ya?”

“Ayahku yang ajarkan dulu,” jawab Xiaojun.

“Baik. Ini 3 yuan untuk semua daging, dan 3 yuan lagi untuk kulitnya.”

Mingyu tersenyum bangga. “Itu cukup untuk beli beras dan bayar sebagian utang.”

Xiaojun menerima enam yuan itu dengan hati berbunga-bunga. Ia menyimpan 3 yuan di kantong dalam dan langsung pergi ke Bank Rakyat di tengah kota.

Di sana, ia membuka buku tabungan kecil atas nama dirinya. Petugas bank tersenyum melihat anak muda yang penuh tekad itu.

“Simpan berapa?”

“3 yuan.”

Petugas mencatat dan mencap bukunya. Xiaojun menatap angka itu lama sekali. Mungkin kecil bagi orang kota, tapi bagi keluarganya, itu awal dari mimpi.

Sebelum pulang, mereka membeli garam, lampu minyak, dan sekarung kecil beras. Sisa koin ditukar dengan dua potong kue wijen untuk Meimei dan adik kembar. Hari itu mereka kembali ke desa dengan wajah cerah dan keranjang kosong, tapi hati penuh.

Saat mereka tiba di rumah, Meimei berlari memeluk kakaknya. “Kakak beli kue?”

“Untukmu, dan satu lagi untuk Xiaoxiang,” jawab Xiaojun sambil tersenyum.

Malam itu mereka makan bersama lagi. Ibunya membuat tumis sayur dengan sedikit lemak dari rusa. Setelah makan, mereka duduk di beranda, memandang bintang. Ayahnya bercerita tentang masa mudanya sebagai pemburu babi liar.

Suara jangkrik mengiringi malam. Hati mereka hangat. Tak jauh dari sana, di rumah Kakek Guo, suara radio tua menyala lirih membacakan ramalan cuaca. Besok akan cerah.

Xiaojun melihat langit yang gelap namun penuh bintang. Ia menggenggam buku tabungannya erat-erat. Hari esok belum tentu mudah, tapi malam ini ia merasa cukup.

Ia menatap kembali senapan yang tergantung di dinding. Ia belum tahu berapa kali lagi ia harus masuk ke hutan, menghadapi dingin, bahaya, dan ketidakpastian. Tapi ia tahu satu hal: setiap langkahnya kini memiliki tujuan.