Bab 6 suara malam dari ladang jagung

Bab 6 — Suara Malam dari Ladang Jagung

Malam di Desa Qingshan datang lebih cepat ketika angin musim gugur berhembus dari utara. Suasana hening, hanya suara jangkrik dan gemerisik daun yang menemani langit yang semakin gelap. Xiaojun duduk di depan rumahnya sambil membersihkan senapan. Di sebelahnya, ayahnya mengunyah sirih pelan-pelan, sementara Meimei sibuk menutup kandang ayam.

“Ibu, besok jagung siap dipanen, ya?” tanya Xiaojun.

“Ya, tapi banyak yang rusak digigit babi liar. Ladang Kakek Guo semalam juga porak-poranda. Aku takut nanti ladang kita pun diserbu,” jawab ibu dari dapur.

Ayahnya mengangguk, “Dulu waktu aku masih kuat, aku yang jadi penjaga malam. Tapi sekarang… semua orang takut. Terakhir kali, Wu Liang yang jaga. Dia tak pernah kembali.”

Xiaojun diam. Wu Liang adalah orang yang meninggal di hutan saat berjaga malam dua tahun lalu. Sejak itu, warga tak ada yang berani mengambil tugas itu lagi. Tapi ladang harus diselamatkan.

Malam itu, saat keluarga tertidur, Xiaojun keluar rumah. Ia berdiri di tengah ladang kecil milik keluarganya, hanya ditemani lentera minyak kecil dan suara angin yang menampar wajah. Bulan mengintip dari balik awan.

Suara gemerisik terdengar dari arah barat.

Xiaojun menajamkan telinga. Senapannya sudah siap di tangan. Gerakan kecil di semak-semak membuat jantungnya berdegup. Seekor babi hutan besar muncul perlahan, mengendus tanah.

Ia menahan napas. Ketika jaraknya cukup dekat, ia menarik pelatuk. DUAR!

Babi itu menjerit dan lari terseok-seok ke dalam hutan. Xiaojun mengejarnya beberapa langkah, tapi ia memilih berhenti. Terlalu berbahaya untuk masuk terlalu jauh malam-malam.

Pagi harinya, kabar tembakan menyebar cepat di desa. Para tetua berkumpul di balai desa.

“Siapa yang menembak semalam?” tanya Kepala Desa Zhang.

Xiaojun mengangkat tangan. “Saya. Babi hutan sudah terlalu sering menyerbu ladang. Saya hanya mencoba menjaga ladang keluarga.”

Kepala Desa memandangi Xiaojun lama. “Kau tahu tentang Wu Liang, kan?”

“Saya tahu. Tapi saya tak ingin Meimei menangis karena jagung kita hilang.”

Kepala Desa mengangguk pelan. “Kau ingin menjaga malam untuk desa?”

“Saya bersedia.”

Orang-orang mulai berbisik. Kakek Guo berdiri. “Kalau Xiaojun berani, kita harus bantu dia. Aku akan sumbangkan satu lentera besar dan tali pengikat.”

“Dan aku beri sepatu bot lamaku,” tambah Liu San.

Satu per satu warga ikut berkontribusi. Malam itu, Xiaojun resmi menjadi penjaga malam desa Qingshan.

---

Malam kedua, Xiaojun berdiri di pos jaga yang dibuat dari bambu dan kayu tua. Ia membuat tiga barikade kecil dari ranting dan kayu bakar untuk mencegah babi menyerbu.

Dari kejauhan, terdengar lolongan serigala. Itu suara dari arah Gunung Bai, batas timur hutan. Ia menyiapkan senapan dan menyulut lentera.

Sekitar tengah malam, suara berisik datang dari arah selatan. Dua ekor babi hutan menabrak barikade.

Xiaojun tak menembak langsung. Ia menunggu satu masuk ke dalam jangkauan. Begitu satu mendekat, ia menembak. Satu tumbang, satunya kabur.

Pagi harinya, daging babi hutan dibagi rata ke lima keluarga. Kulitnya dikeringkan, gadingnya disimpan. Xiaojun mengelus bahu kirinya yang memar karena terpeleset saat menarik bangkai babi.

Kepala Desa datang sore itu.

“Kau menepati janjimu. Ini surat resmi dari desa. Mulai hari ini, senapan itu milikmu.”

Xiaojun menerimanya dengan hormat. Ibunya menangis diam-diam. Meimei dan adik-adik menyanyi kecil di halaman.

---

Hari-hari berikutnya diisi dengan penjagaan bergilir oleh warga, dipelopori Xiaojun. Ia mengajari anak-anak muda cara membuat jerat sederhana dari tali rotan dan mengenali tanda-tanda kehadiran hewan liar. Ia bahkan menggambar sketsa posisi-posisi strategis di sekitar ladang yang bisa dijadikan pos jaga darurat.

Pada malam keempat, suara langkah berat terdengar dari semak-semak. Kali ini bukan babi, tapi seekor beruang kecil yang tersesat dari pegunungan. Nafasnya terdengar berat, matanya tampak bingung.

Xiaojun tidak menembak. Ia menunggu beruang itu pergi dengan sendirinya. Ia tahu tidak semua makhluk perlu dilawan dengan peluru.

Keesokan harinya, anak-anak desa menari di lapangan kecil karena tidak ada ladang yang diserang hewan semalam. Para ibu membuat kue jagung, dan Kepala Desa memberikan Xiaojun selembar surat ucapan terima kasih dari semua warga.

---

Malam keenam, Xiaojun duduk sendirian di pos jaga, menatap bintang. Ia berpikir tentang hidup lamanya sebagai penembak jitu profesional, dunia modern yang canggih, dan kini—ia di sini, di desa kecil, mengayomi ladang dan keluarga.

Ia menggenggam senapan sambil tersenyum. “Mungkin ini bukan kemunduran. Mungkin ini kesempatan. Untuk hidup baru, untuk menebus yang lalu.”

Angin malam mengalir lembut, membawa aroma bunga liar dari lembah. Seolah dunia malam itu ikut mengakui keberanian seorang penjaga malam bernama Xiaojun.

Ketika ia kembali ke rumah menjelang subuh, ibunya sudah menyiapkan air hangat dan sepiring kecil ubi kukus. Ayahnya duduk di dekat tungku, mengangguk pelan tanpa kata. Meimei menyodorkan sapu tangan lusuh yang dijahit sendiri.

“Untuk menyeka keringat kakak,” katanya malu-malu.

Xiaojun tertawa kecil. Di dunia yang keras ini, hal-hal sederhana seperti ini terasa seperti pelukan dari surga. Ia mencuci muka dan duduk bersama keluarganya, menyantap ubi dengan rasa syukur.

---

Hari berikutnya, Xiaojun berjalan ke rumah Kakek Guo untuk meminjam timbangan tua. Ia ingin mulai mencatat berat dan jenis hewan buruan secara rinci. Dengan cara itu, ia bisa memperkirakan harga yang lebih akurat saat menjual ke kota.

“Ini langkah bagus,” kata Kakek Guo sambil menyerahkan timbangan. “Dulu ayahmu juga begitu. Ia mencatat setiap gram daging rusa dan babi.”

Xiaojun tersenyum. Di rumah, ia menempelkan kertas catatan kecil di dinding bambu, bertuliskan: “Berat: 38 kg. Babi hutan. Kulit dikeringkan. Daging dibagi. Gading disimpan.”

Malam hari, ia kembali ke ladang. Kali ini ia membawa buku catatannya. Sambil berjaga, ia menulis puisi pendek:

> "Di antara lolongan malam, Senapan dan doa berdampingan. Aku bukan siapa-siapa, Tapi malam tahu aku penjaga."

Saat hujan rintik-rintik turun, Xiaojun tidak bergeming. Ia menutup buku catatan dan menatap langit. Hujan adalah pertanda musim dingin mulai mendekat. Ia harus mulai bersiap: membuat perangkap, mengeringkan kayu bakar, dan mengajari adik-adiknya tentang bahaya di musim dingin.

“Kalau kau ingin bertahan, kau harus tahu caranya hidup sebelum melawan,” bisik Xiaojun pada dirinya sendiri.

Sore harinya, Xiaojun berjalan ke tepi sungai kecil yang membelah hutan. Ia memasang dua jerat di bawah rimbunan semak dan menabur umpan berupa sisa jagung dan tulang rebus. Ia juga memeriksa bekas jejak di tanah, menandai pola pergerakan hewan-hewan liar.

Malam itu ia berjaga dengan lebih tenang. Ia tahu bukan hanya senapan yang menyelamatkan ladang dan desa, tapi juga akal, sabar, dan cinta kepada tanah kelahirannya yang baru.