Bab 7 Hasil Buruan Pertama dan Perjalanan ke Kota

Pagi itu, embun masih bergelayut di atas dedaunan ketika Xiaojun membuka pintu rumah. Suasana hening, hanya terdengar suara ayam berkokok dan langkah ibunya yang sibuk di dapur. Xiaojun membawa senapan dan sebuah keranjang besar di punggungnya. Ia hendak memeriksa jerat yang dipasangnya kemarin di tepi sungai.

Di tengah perjalanan, ia melintasi ladang Kakek Guo.

“Pagi, Xiaojun. Hati-hati, ya. Tadi malam aku dengar lolongan serigala dari arah timur,” ujar Kakek Guo sambil menimba air.

“Terima kasih, Kek. Saya akan waspada,” jawab Xiaojun.

Tiba di tepi sungai, Xiaojun berjongkok memeriksa jerat pertama. Seekor musang terjebak, masih hidup namun lemah. Ia segera menyembelih hewan itu dengan cepat dan menghormatinya dalam diam. Jerat kedua kosong. Tapi jejak kaki besar terlihat jelas di tanah basah.

“Serigala,” gumamnya.

Ia segera pulang dan menggantung musang itu di bambu belakang rumah, lalu mencatat beratnya: 4,2 kg. Meimei datang mendekat dengan mata berbinar.

“Itu daging pertama sejak kita punya jerat!”

“Ya, dan kita harus bersyukur,” jawab Xiaojun sambil tersenyum.

Siangnya, setelah sarapan ubi dan bubur jagung, ia bersiap pergi ke kota kabupaten. Ibu memberinya uang logam kecil—hasil sisa menjual kacang dari ladang.

“Gunakan untuk ongkos angkutan. Jangan lupa beli garam dan sabun,” pesan ibu.

Xiaojun berjalan kaki sampai ke perhentian jalan desa. Di sana, sebuah truk tua milik paman Chen yang biasa membawa barang ke kota sudah siap berangkat.

“Naik, Jun! Duduk di atas karung gandum, ya!” seru Paman Chen.

Perjalanan memakan waktu hampir dua jam. Jalan berbatu dan tanjakan membuat tubuhnya terguncang, tapi pemandangan pegunungan dan sawah yang membentang luas tetap menghibur matanya. Ia membayangkan betapa kota ini dulu tak pernah ia kenal, dan kini ia harus menginjak jalannya sebagai pencari nafkah.

Sesampainya di kota kabupaten, Xiaojun menuju pasar hewan. Di sana, para pemburu dari desa-desa lain juga menjajakan hasil buruan mereka. Ia mendekati sebuah meja kayu tempat seorang petugas pasar duduk mencatat transaksi.

“Apa yang kamu punya?” tanya petugas.

“Seekor musang. 4,2 kilogram. Segar.”

Petugas menimbang dan mengangguk. “Delapan belas yuan. Harga bagus untuk musang musim gugur.”

Xiaojun menerima uang kertas lusuh, lalu pergi membeli garam, sabun, dan sepotong kain bekas untuk dijadikan alas tidur adik kembarnya.

Ia berjalan-jalan sejenak di pasar, memperhatikan kios-kios kecil yang menjual segala macam barang: kain, sayur, biji jagung, panci, hingga poster propaganda pertanian. Ia melihat anak-anak kota memakai sepatu kulit dan membawa tas sekolah.

Dalam hati, Xiaojun berjanji suatu hari Meimei dan adik kembarnya juga akan sekolah seperti itu.

Sebelum pulang, ia berhenti di depan Bank Rakyat Tiongkok. Tangannya menggenggam sisa uang hasil buruan.

“Kalau aku ingin menabung, ini waktunya,” pikirnya.

Di dalam bank, seorang petugas perempuan menyapanya. “Mau buka rekening?”

Xiaojun mengangguk dan mengisi formulir dengan terbata-bata. Ia menabung 10 yuan, mencatatnya di buku kecil yang baru diberikan.

“Kalau rajin menabung, kau bisa punya cukup untuk beli babi sendiri nanti,” kata petugas itu sambil tersenyum.

Xiaojun mengangguk. “Itulah tujuanku.”

---

Perjalanan pulang lebih tenang. Angin sore sejuk menerpa wajahnya saat truk melintasi bukit. Sesampainya di rumah, adik-adiknya menyambut dengan sorak-sorai. Meimei memeluk sabun baru yang harum, dan ibu segera membagi garam untuk keperluan dapur.

Ayah menepuk bahu Xiaojun pelan. “Kau sudah jadi harapan keluarga ini.”

Malam itu mereka makan nasi jagung dengan sayur dan sepotong kecil daging musang. Walau sederhana, suasananya penuh kehangatan. Xiaojun duduk di luar rumah memandangi langit gelap.

Ia menulis lagi di bukunya:

> “4,2 kg musang. Harga: 18 yuan. Tabungan pertama: 10 yuan. Barang dibeli: garam, sabun, kain. Langkah pertama menuju perubahan.”

Saat bulan naik tinggi, suara serangga bersahutan. Xiaojun menggenggam senapannya dan bersiap untuk jaga malam. Hembusan angin membawa aroma kayu bakar dari tungku rumah tetangga. Desa Qingshan terasa hidup dan hangat meskipun miskin.

Malam itu, ia berjaga sambil mengenang kembali saat ia pertama kali memegang senapan sebagai penembak jitu. Jarak ribuan kilometer, waktu bertahun-tahun lalu, dan keadaan yang sangat berbeda. Tapi kini, setiap tembakan membawa tujuan baru — bukan untuk medali, tapi untuk bertahan hidup.

Menjelang pagi, sebelum matahari muncul, seekor kelinci liar melintas di ladang. Xiaojun menembak, tepat mengenai kaki belakangnya. Kelinci itu meronta dan akhirnya mati.

Ia membawa pulang hewan itu. Beratnya 2,1 kg. Daging akan mereka olah untuk tiga hari ke depan. Ia menambahkan catatan baru di bukunya:

> "2,1 kg kelinci. Tembakan subuh. Disimpan untuk makan keluarga."

Saat matahari muncul, Xiaojun menatap timur dan berkata pelan, “Aku tidak tahu ke mana dunia akan membawaku, tapi aku tahu ke mana aku harus melangkah.”

Setelah sarapan pagi, Xiaojun dan kakaknya, Xiaowei, duduk di bawah pohon jeruk sambil menambal keranjang tua milik ayah. Mereka saling bertukar cerita — tentang masa kecil mereka sebelum masa sulit datang, dan tentang harapan di masa depan. Meimei ikut duduk, memeluk boneka kayu kecil buatan ibunya.

“Ibu bilang kita bisa beli babi kecil musim depan kalau kita terus menabung,” kata Meimei.

“Kalau begitu, kakak akan cari rubah minggu depan,” sahut Xiaojun sambil tertawa.

Sore harinya, Xiaojun mengantarkan seikat kayu bakar ke rumah tetangga yang dahulu memberi utang pada keluarganya. Ia membungkuk dan berkata, “Saya belum bisa membayar semua, tapi ini tanda niat baik kami.”

Tetangga itu mengangguk tanpa berkata apa-apa, tapi dari caranya mengambil kayu, ada rasa penghargaan.

Malam itu, ibu duduk di dekat tungku sambil menjahit sobekan di lengan baju Xiaojun. “Besok pagi, kita panen singkong. Kau bisa bantu adik-adik, setelah itu kau boleh ke hutan lagi,” katanya pelan.

Xiaojun mengangguk. Ia tahu ritme kehidupan di desa tidak mengenal libur. Tapi di balik kelelahan, ia menemukan sesuatu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya: makna.

Sebelum tidur, Xiaojun memandangi langit-langit rumah dan mengenang masa lalu sebagai penembak jitu. Di sana, dalam sunyi malam desa, ia merasa lebih dekat pada arti hidup yang sesungguhnya. Ia tidak lagi hidup untuk negara, tapi untuk keluarganya, untuk harapan yang ia pelihara dalam keheningan. Ia menuliskan satu kalimat terakhir di bukunya sebelum memejamkan mata:

> “Ini baru permulaan.”

Pagi berikutnya datang dengan kabut tipis yang menyelimuti desa. Xiaojun bangun lebih awal dari biasanya. Ia membantu ibunya mengangkat air dari sumur dan menyalakan tungku dapur. Meimei menyisir rambut adik kembarnya yang masih mengantuk, sementara Xiaowei mempersiapkan cangkul untuk panen singkong. Ayah duduk di kursi kayu kecil sambil menghangatkan tangan di dekat tungku.

Mereka makan pagi bersama—bubur jagung, irisan lobak asin, dan air teh hangat. Tidak ada yang mewah, tapi kehangatan keluarga mengisi udara pagi itu. Xiaojun merasa hidupnya, meskipun sederhana, mulai memiliki arah yang jelas. Dan meski ia masih menyimpan kerinduan akan dunia lamanya, ia tahu bahwa tempatnya kini adalah di sini, bersama keluarganya, menghadapi hari-hari yang datang dengan tekad baru.