Bab 9 — Tanda Bahaya dari Pegunungan
Pagi hari berikutnya disambut dengan kabut tipis yang menyelimuti atap-atap rumah desa Qingshan. Suara ayam berkokok bersahutan dari kejauhan. Xiaojun bangun lebih awal dari biasanya, tubuhnya masih terasa pegal karena mendorong gerobak kemarin. Ia menarik napas panjang, mengenakan baju lapuknya, lalu berjalan ke sumur untuk mencuci muka.
Ibu sudah duduk di dapur, menyiapkan bubur jagung dan lobak asin.
“Bangun pagi sekali. Hari ini mau ke mana?” tanya ibu sambil mengaduk bubur.
“Ke hutan. Aku ingin memeriksa beberapa jerat baru. Kemarin aku lihat jejak rusa di dekat lembah.”
Ibu mengangguk pelan. “Hati-hati. Kalau cuaca mulai berubah, lebih baik segera pulang.”
Musim gugur mulai terasa lebih dingin. Angin yang bertiup pagi itu membawa aroma tanah dan dedaunan kering. Xiaojun menyambar senapan dan tas jerat, lalu berjalan menuju jalur setapak di utara desa, arah yang jarang dilalui orang.
Di tengah perjalanan, ia berpapasan dengan Paman Wang, petani tua yang sedang membawa sekeranjang jerami.
“Pagi, Xiaojun. Sendirian ke utara?”
“Iya, Paman. Mau lihat apakah ada rusa yang turun ke lembah.”
“Kalau kau dengar suara aneh dari barat laut, jangan dekati. Tadi malam aku dengar lolongan panjang. Seperti bukan hanya serigala biasa.”
Xiaojun mengangguk, wajahnya menegang sedikit. “Terima kasih, Paman.”
Setelah hampir satu jam berjalan, ia tiba di titik pertama. Sebuah jerat yang dipasangnya di dekat pohon ek besar berhasil menangkap seekor musang. Ia segera menyembelih dan menggantungnya tinggi agar tidak dimangsa binatang lain.
Ia terus berjalan naik, menyusuri tepian lembah. Di sana ia menemukan jejak rusa besar. Kotoran segar dan jejak kaki dalam tanah basah. Ia segera menyiapkan jerat tali yang lebih kuat dan menutupinya dengan daun-daun kering.
Saat hendak turun, ia mendengar suara seperti geraman rendah. Ia berhenti seketika, menahan napas. Dari balik semak belukar, seekor beruang kecil muncul, tampak bingung dan mencium-ciumi udara. Beruang itu tampak sendirian.
Xiaojun tahu, jika ada anak beruang, induknya pasti tidak jauh.
Dengan sangat perlahan, ia mundur sambil menggenggam erat senapan. Tidak menembak. Tidak membuat suara. Hanya diam dan berjalan mundur perlahan. Setelah menjauh hampir dua ratus meter, ia mulai berlari.
Ia kembali ke desa saat matahari mulai condong ke barat. Musang yang dibawanya masih segar. Anak-anak kecil menyoraki hasil buruannya.
“Ibu, kita dapat musang lagi,” katanya sambil menyerahkan hasil buruan ke dapur.
Ibu tersenyum. “Malam ini kita bisa rebus kaldu untuk Ayah.”
Xiaojun membersihkan diri, lalu bersiap membawa musang ke pasar malam yang dibuka setiap tiga hari sekali di perbatasan kota kabupaten.
Perjalanan ke pasar malam lebih ramai dari biasanya. Warga desa lain juga datang membawa hasil bumi—jagung, kacang, rebung, bahkan kain tenun. Xiaojun menjual musang seharga 19 yuan. Ia membeli senter baru dan beberapa biji jagung untuk ditanam kembali.
Di pasar itu pula ia bertemu seorang pria dari kota bernama Tuan Zhou, yang membuka usaha pengumpulan bulu hewan untuk kerajinan tangan.
“Kau pemburu?” tanya Tuan Zhou.
Xiaojun mengangguk. “Baru beberapa minggu.”
“Kalau kau dapat bulu rubah atau serigala, kabari aku. Aku bayar mahal.”
Xiaojun mencatat nomor dan alamat lelaki itu di buku kecilnya. Peluang baru terbuka.
Malam itu, ketika sampai di rumah, ibu membacakan surat dari kepala desa. “Mulai minggu depan, jadwal jaga malam akan diperketat. Setiap penjaga harus melaporkan suara atau gerakan mencurigakan di sekitar ladang.”
Xiaojun mengangguk. “Aku dengar suara aneh juga tadi pagi. Dan aku lihat anak beruang.”
Ibu menatapnya khawatir. “Beruang? Hati-hati, Jun. Musim dingin akan datang, dan binatang liar akan makin agresif.”
Xiaojun mengangguk dan menatap langit malam dari depan rumah. Angin mulai bertiup lebih dingin dari biasanya. Bintang-bintang redup, seolah mendung mulai terbentuk di kejauhan. Ia merasa sesuatu akan terjadi.
Di kamarnya, ia menuliskan catatan:
> “Jejak rusa, musang tertangkap, bertemu anak beruang. Bahaya bertambah. Harus bersiap.”
Keesokan harinya, Xiaojun bangun lebih pagi. Ia dan Xiaowei menyiapkan pagar bambu tambahan untuk melindungi ladang. Mereka juga menebang beberapa batang kayu kering untuk dijadikan obor cadangan.
Saat tengah hari, kepala desa datang menengok.
“Kau sudah dengar laporan dari Paman Wang? Suara-suara dari barat laut itu bukan hanya serigala. Kami duga ada harimau yang turun gunung.”
Xiaojun terkejut. “Harimau?”
Kepala desa mengangguk. “Ini baru dugaan. Tapi kalau benar, kita semua harus lebih hati-hati. Aku tahu kau penembak jitu, Jun. Kalau kau bersedia, bantu kami patroli malam di jalur utara.”
Xiaojun menatap kepala desa. “Saya bersedia.”
Hari itu juga, ia menyiapkan perlengkapan khusus: dua peluru perak tua dari kotak senjata desa, dan tali panjang untuk kemungkinan pengamanan diri.
Malam hari tiba. Kali ini ia tidak sendiri. Xiaowei ikut berjaga bersama dua pemuda desa lainnya. Mereka membagi jalur menjadi empat zona dan bertemu kembali di pos tengah setiap satu jam.
Saat tengah malam, suara lolongan panjang terdengar lagi—lebih nyaring, lebih dalam. Mereka saling berpandangan. Xiaojun menggenggam senapan erat.
Langkah kaki besar terdengar di balik semak, namun saat mereka dekati, hanya bekas cakaran besar di tanah basah yang tersisa. Tak ada makhluk yang terlihat.
“Ini bukan serigala biasa,” kata Xiaowei pelan.
Xiaojun menatap jejak itu, lalu berkata pelan, “Kita harus persiapkan seluruh desa. Ini bukan hanya tentang menjaga ladang. Ini tentang menjaga semua orang.”
Keesokan harinya, Xiaojun menemui kepala desa dan menyarankan agar mereka mengundang ahli hewan liar dari kabupaten. Kepala desa menyetujui, dan mengirim surat melalui kurir. Malam berikutnya, mereka membuat barikade dari kayu dan memagarinya dengan lonceng kecil sebagai peringatan dini.
Saat makan malam, Meimei bertanya, “Kak, apa harimau bisa buka pagar bambu?”
“Kalau lapar, mereka bisa coba. Tapi kita tidak sendirian. Seluruh desa menjaga bersama.”
Malam itu, Xiaojun kembali menulis:
> “Hari-hari penuh tanda. Alam sedang bicara. Kami belajar mendengar dan bertahan.”
Sebelum tidur, ia membuka kantong kecil tempat batu pemberian Meimei disimpan. Ia menggenggamnya erat dan memejamkan mata. “Lindungi kami, apa pun yang datang dari gunung.”
Esoknya, seluruh warga desa berkumpul di balai. Kepala desa membacakan rencana pengamanan: shift jaga malam dibagi dua, anak-anak tidak boleh keluar saat senja, dan setiap rumah harus punya obor cadangan. Suasana tegang, tapi rasa kebersamaan mulai tumbuh.
Kakek Guo berdiri dan berkata, “Dulu tahun ’62 juga ada harimau. Kita hadapi bersama. Sekarang pun kita bisa.”
Xiaojun merasa semangat itu kembali hidup. Ia mencatat semuanya di buku kecilnya:
> “Kami mungkin miskin. Tapi kami tidak sendiri. Dan kami tidak akan mundur.”