Bab 10 ancaman nyata

Bab 10 — Ancaman Nyata

Fajar merekah dengan langit berwarna jingga pucat saat suara ayam jantan memecah keheningan. Desa Qingshan terasa lebih sepi dari biasanya. Para warga menutup pintu dan jendela lebih awal, bahkan anak-anak dilarang bermain di luar selepas sore. Ketegangan masih terasa sejak pertemuan di balai desa kemarin.

Xiaojun bangun dan duduk di pinggir ranjang. Ia menatap batu keberuntungan dari Meimei yang tergeletak di atas meja kecil di samping ranjang. Ia lalu mengenakan baju tebal, mengambil senapan dan seikat tali dari gantungan bambu, dan keluar menuju halaman.

Di luar, Xiaowei sudah siap dengan cangkul dan keranjang kayu. Mereka akan memeriksa ladang jagung yang mulai rusak. Beberapa batang jagung rebah, bekas diinjak kaki binatang besar.

“Kalau ini terus berlanjut, panen kita habis,” kata Xiaowei pelan.

Xiaojun mengangguk. “Malam ini kita jaga di sini.”

Setelah memasang beberapa obor dan perangkap kecil, mereka kembali ke rumah untuk sarapan. Ibu menyajikan bubur singkong dan teh panas.

“Jangan terlalu lelah, Jun. Badanmu masih belum kuat benar,” kata ibu sambil menatap anak sulungnya itu dengan khawatir.

“Aku baik-baik saja, Bu. Kalau bukan aku yang jaga, siapa lagi?”

Sore hari, Meimei membantu menggiling biji jagung kering. Ia melantunkan lagu sekolah pelan-pelan, membuat suasana dapur terasa lebih hidup. Sementara itu, adik kembar tertidur di atas tikar jerami.

Xiaojun duduk di luar bersama kepala desa yang datang membawa peta lama.

“Ini jalur lama yang dulu dipakai saat patroli penjaga hutan. Kita bisa manfaatkan kembali,” kata kepala desa.

“Besok pagi saya akan coba menyusuri jalur ini,” sahut Xiaojun sambil menandai bagian yang mengarah ke barat laut, tempat asal suara lolongan yang sering terdengar.

Malam menjelang. Suara jangkrik bersahutan. Di batas ladang, empat pemuda—Xiaojun, Xiaowei, dan dua remaja lain bernama Junjie dan Lao Peng—bersiap jaga. Obor dinyalakan, senjata siap di tangan.

Jam pertama berlalu tenang. Namun jam kedua, suara ranting patah terdengar dari arah semak. Semua mata menatap ke sana.

Seekor serigala besar muncul perlahan. Matanya menyala oleh pantulan cahaya obor. Ia tidak sendiri. Tiga ekor lain mengikutinya dari belakang.

“Jangan panik,” bisik Xiaojun. “Tunggu sampai cukup dekat.”

Ketika kawanan serigala itu mulai mendekat ladang, Xiaojun mengangkat senapan. Dentuman pertama memecah malam. Satu serigala tumbang. Yang lain kabur ke dalam hutan, tapi suara lolongan mereka masih terdengar.

“Ini belum selesai,” gumam Xiaojun.

Pagi hari berikutnya, para warga berkumpul. Kepala desa mengumumkan bahwa malam tadi, penjaga berhasil menembak serigala yang mengancam ladang. Warga bersorak kecil, namun wajah-wajah mereka tetap tegang.

“Kita butuh solusi jangka panjang,” ujar kepala desa.

Xiaojun mengusulkan ide membuat menara pengawas kecil dari kayu di dua sudut desa. “Dua orang bisa berjaga dan melihat dari atas. Jika ada gerakan mencurigakan, mereka bisa bunyikan kentongan.”

Rencana itu disetujui. Selama dua hari berikutnya, para pria dewasa bekerja keras menebang pohon dan menyusun menara setinggi enam meter. Xiaojun dan Junjie menguji kestabilannya dengan naik turun beberapa kali.

Pada malam ketiga setelah serangan serigala, Xiaojun berjaga di menara barat bersama Lao Peng. Angin berhembus kencang dan langit gelap tanpa bintang. Di kejauhan, suara lolongan kembali terdengar.

“Kau takut?” tanya Xiaojun.

“Takut. Tapi aku lebih takut kalau keluargaku kelaparan karena ladang hancur,” jawab Lao Peng.

Dentuman rantai terdengar dari pagar bawah. Mereka menyorotkan senter. Seekor bayangan besar melintas di antara semak-semak. Bukan serigala. Lebih besar. Lebih berat.

“Harimau…” bisik Lao Peng.

Xiaojun menarik napas panjang. Ia tidak menembak. Belum. Ia hanya mencatat arah gerakan binatang itu. Lalu mereka bunyikan kentongan keras-keras. Para penjaga dari pos lain segera datang berlari.

Harimau itu sudah menghilang ke balik hutan. Tapi jejak cakarnya tertinggal dalam. Dalam sekali.

Keesokan harinya, penduduk desa mulai membangun pagar bambu tambahan. Beberapa ibu-ibu mulai membuat ramuan untuk mengusir binatang liar dengan aroma menyengat.

Ibu Xiaojun mencelupkan daun mint liar dan akar jahe ke dalam minyak dan menyemprotkan ke sekitar pagar rumah.

“Kita tidak tahu kapan mereka datang lagi,” katanya. “Tapi kita harus bersiap.”

Sore itu, Meimei datang membawa selembar kain lusuh. Di tengahnya, ia gambar seekor harimau dengan mata merah dan sebuah rumah kecil di sampingnya.

“Aku buat ini untuk jaga rumah kita,” katanya polos.

Xiaojun memandangi kain itu lama. Lalu ia gantungkan di atas pintu depan. “Sekarang rumah ini punya penjaganya sendiri.”

Warga juga mulai berbagi tugas. Yang tua menyiapkan makanan untuk penjaga malam. Para ibu membuat selimut dari sisa kain agar penjaga tak kedinginan. Setiap rumah kini punya lampu minyak tambahan.

Xiaowei dan Lao Peng membuat rencana penjagaan bergilir agar semua pemuda tak kelelahan. Kepala desa membagikan peluit dan tanda rotasi malam. Desa berubah menjadi barisan pertahanan kecil yang penuh semangat.

Sore itu juga, kepala desa mengadakan pertemuan tambahan di balai. Mereka memutuskan untuk mengumpulkan bahan makanan cadangan di lumbung bersama. Jika nanti terjadi kepungan hewan liar, tak ada yang akan kelaparan.

Anak-anak mulai diajari cara mengenali jejak binatang. Xiaojun mengajak Meimei dan adik kembar keliling halaman sambil menunjuk bentuk jejak dan menjelaskan mana milik rusa, mana milik musang, dan mana milik hewan buas.

“Ini penting,” katanya. “Agar kalian tahu kapan harus lari dan kapan harus diam.”

Menjelang malam, beberapa warga lanjut usia berkumpul di rumah keluarga Xiaojun. Mereka membawa cerita lama tentang harimau gunung yang dipercaya menjaga keseimbangan hutan. Menurut mereka, jika seekor harimau turun ke desa, berarti ada sesuatu yang terganggu.

Seorang nenek bernama Bibi Chen berkata, "Dulu kakekku bilang, kalau harimau datang, jangan hanya lawan dengan senjata, tapi juga dengan niat baik. Jangan serakah pada hasil hutan."

Xiaojun mendengarkan dengan saksama. Kata-kata itu terpatri di benaknya.

Malam itu, kepala desa datang lagi untuk menyampaikan keputusan tambahan: “Mulai malam ini, siapa pun yang melihat jejak baru atau mendengar suara binatang liar harus segera melapor. Kita tidak boleh menunggu serangan berikutnya.”

Warga menyambut perintah itu dengan tegas. Bahkan anak-anak pun berjanji akan lebih waspada. Ibu-ibu membuat bungkusan makanan kecil untuk penjaga malam agar mereka tidak kelaparan saat berjaga hingga subuh.

Di dapur, aroma teh jahe dan ubi rebus memenuhi udara. Ibu Xiaojun menambahkan potongan kecil kurma merah ke dalam termos yang akan dibawa Xiaojun ke pos penjagaan malam.

Saat ia hendak pergi, Meimei menarik ujung bajunya. “Kalau kau lihat harimau lagi, jangan tembak, ya. Bicaralah padanya. Mungkin dia hanya lapar.”

Xiaojun tersenyum, lalu mengusap kepala adiknya. “Aku akan bicara baik-baik dulu.”

Sebelum keluar, Xiaojun memandang keluarganya satu per satu. Ayah yang terbaring di dipan bambu tersenyum lemah, seolah berkata bahwa ia percaya pada anaknya. Meimei menggenggam batu keberuntungan yang dulu diberikan pada Xiaojun. Adik kembar masih tertidur lelap, sementara ibu berdiri di pintu, menggenggam erat lampu minyak.

Langkahnya meninggalkan rumah membawa lebih dari sekadar senapan dan termos berisi teh jahe. Ia membawa harapan.

Malam menjelang. Xiaojun duduk mencatat di buku kecilnya:

> "Ancaman nyata sudah datang. Tapi kami tidak akan mundur. Kami akan bertahan. Bersama."

Ia menatap langit malam yang kini cerah. Bintang-bintang tampak bersinar seolah memberi harapan. Tapi suara dari dalam hutan masih hadir. Seperti bisikan alam yang belum selesai bercerita.