Bab 11 — Serangan Tengah Malam
Angin musim gugur berdesir melalui celah-celah jendela rumah warga desa Qingshan. Malam itu lebih dingin dari biasanya, dan suara hutan terdengar lebih hidup—daun-daun kering berdesir, ranting-ranting kecil patah oleh langkah makhluk-makhluk yang tak terlihat.
Xiaojun duduk di pos penjagaan bersama Xiaowei dan Lao Peng. Obor menyala, menerangi sekitar menara kayu dengan cahaya kekuningan. Mereka bertiga berbagi termos teh jahe yang dibawa dari rumah, menghangatkan diri sambil berjaga.
"Suasana malam ini aneh sekali," bisik Xiaowei.
Xiaojun mengangguk. "Sunyi yang tidak biasa. Seperti... sesuatu sedang menunggu."
Tak lama kemudian, dari kejauhan terdengar suara ketukan kayu cepat dan berat. Mereka saling berpandangan. Kentongan dari menara timur dibunyikan.
"Itu sinyal bahaya," ujar Lao Peng.
Xiaojun berdiri, menajamkan pendengaran. Di antara desir angin, terdengar langkah kaki cepat—bukan manusia. Mereka segera turun dari menara dan berlari menuju ladang sayur di timur bersama dua pemuda lainnya.
Di sana, mereka melihat seekor babi hutan besar mencakar-cakar pagar bambu, berusaha masuk ke ladang kentang dan kol.
"Jangan buru-buru tembak," kata Xiaojun. "Kita giring keluar dulu."
Mereka mengitari babi hutan, mengacungkan obor dan meneriakkan suara keras. Babi itu mundur sebentar, lalu menyeruduk ke arah Xiaowei. Xiaojun menembak ke tanah, membuyarkan fokus hewan itu. Dengan kerja sama yang rapi, mereka berhasil menggiringnya kembali ke arah hutan.
Namun saat mereka kembali ke tengah desa, sebuah kabar buruk menanti. Ayam dan bebek dari dua rumah hilang. Jejak cakaran besar ditemukan di belakang rumah keluarga Yu. Beberapa anak-anak terlihat menangis karena kehilangan ternak peliharaan kesayangan mereka.
Keesokan paginya, kepala desa memanggil rapat darurat. "Kita tidak bisa hanya bertahan. Kita harus bertindak."
Warga sepakat membentuk dua regu pemburu—satu patroli malam, satu lagi berburu pada pagi hari untuk menekan populasi hewan liar. Xiaojun diminta memimpin regu pagi.
Hari itu, Xiaojun, Junjie, dan dua warga dewasa, Paman Li dan Paman Zhang, menyusuri jalur ke barat laut. Mereka membawa umpan, jerat, dan senapan. Sepanjang jalan mereka menemukan sisa bulu dan kotoran, bukti jelas kehadiran kawanan binatang liar.
Di sebuah cekungan dekat sungai kecil, mereka menemukan sarang babi hutan. Jejak kaki segar dan tanah basah yang terangkat.
"Kita tunggu malam, lalu pasang jerat," kata Xiaojun.
Malam harinya, saat kembali ke rumah, Xiaojun menemukan ibu sedang duduk termenung di dapur.
"Aku khawatir, Jun. Kau makin sering ke luar. Kalau sesuatu terjadi padamu..."
Xiaojun menggenggam tangan ibunya. "Kalau aku tak membantu menjaga desa, siapa yang akan melindungi kalian? Ini satu-satunya cara agar kita bisa makan dan hidup aman."
Ibu menghela napas panjang. Lalu tersenyum lemah dan menyodorkan semangkuk sup ayam hangat. "Makan dulu, pahlawan desa."
Esoknya, jerat yang dipasang mereka berhasil menjebak dua babi hutan kecil. Dagingnya dibagi ke warga, kulitnya dikeringkan. Xiaojun membawa sebagian ke kota kabupaten dan menjualnya dengan harga cukup baik—sekitar 28 yuan per ekor.
Namun di pasar, penjualan daging babi hutan harus dilakukan dengan hati-hati. Ada aturan ketat yang melarang penjualan daging liar tanpa izin. Xiaojun memilih menjualnya melalui kenalan lama ayahnya, Tuan Guo, seorang pedagang yang dikenal paham aturan dan tahu cara menjual daging buruan tanpa menimbulkan masalah.
"Jangan pernah jual langsung di jalanan, Jun," pesan Tuan Guo. "Kalau kau punya hasil buruan, serahkan padaku. Aku tahu caranya agar tidak menyalahi hukum. Tapi pastikan daging itu bersih dan sehat. Kita tak mau masalah dengan petugas pasar."
Dengan uang itu, Xiaojun membeli beberapa kebutuhan pokok:
Garam (5 sen per kantong kecil)
Benih jagung (20 sen per bungkus kecil)
Selimut katun tipis (4 yuan)
Minyak goreng (1.2 yuan per kilogram)
Gula (60 sen per kilogram)
Mie kering (40 sen per bungkus)
Sabun batang (1 yuan)
Tepung (1 yuan per kilogram)
Telur (2 sen per butir)
Ia juga menyisihkan sebagian ke dalam rekening tabungan di Bank Rakyat Tiongkok di kota kabupaten. Tabungan itu kini telah mencapai lebih dari 100 yuan, cukup untuk masa paceklik jika nanti musim salju datang lebih awal.
Harga dan Berat Rata-rata Hasil Buruan:
Babi hutan: 28 yuan per ekor — berat 40–60 kg
Rusa: 35–45 yuan per ekor — berat 60–100 kg
Musang: 18–20 yuan per ekor — berat 3–5 kg
Rubah: 50 yuan per ekor — berat 5–8 kg
Serigala: 55–65 yuan per ekor — berat 30–45 kg
Beruang kecil: 70 yuan per ekor — berat 60–80 kg (jika legal)
Landak: 12 yuan per ekor — berat 4–6 kg
Kelinci hutan: 8–10 yuan per ekor — berat 2–3 kg
Burung pegar atau kuau: 6–8 yuan per ekor — berat 1.5–2.5 kg
Saat kembali ke desa, hujan tipis mulai turun. Kabut menggantung rendah, dan aroma tanah basah menyebar. Langit mulai memerah, pertanda senja datang lebih cepat. Di rumah, keluarga Xiaojun duduk mengelilingi api kecil. Xiaolan membacakan cerita rakyat, sementara si kembar tertidur di pangkuan sang ibu. Ayah menyampaikan nasihat pelan-pelan, “Kau sudah membuat ayah bangga, Jun.”
Setelah makan malam, beberapa warga desa datang membawa hadiah kecil: ubi, seikat daun bawang, dan kain bekas. “Ini untuk Xiaojun, penjaga malam kita,” kata Paman Liu.
“Dia belum genap delapan belas, tapi keberaniannya melebihi kami yang tua,” ujar Nenek Lin sambil tersenyum. Warga tersentuh oleh perjuangannya.
Tak lama kemudian, Xiaojun dipanggil ke balai desa oleh kepala desa. Di sana, ia diberi kotak kayu kecil yang berisi peluru perak peninggalan masa perang.
"Kau simpan ini. Untuk berjaga-jaga. Tak semua binatang takut pada obor," kata kepala desa serius.
"Terima kasih, Kepala Desa. Aku akan jaga baik-baik."
Beberapa hari kemudian, Xiaojun melatih beberapa pemuda desa dalam penggunaan senapan dan jerat. Mereka membuat barikade di beberapa titik rawan, serta membangun pos pengamatan sederhana di tepi ladang.
Mereka bahkan membuat sistem peluit dari bambu yang akan ditiup saat ada bahaya datang dari arah tertentu. Dengan sistem itu, satu suara dari arah timur akan berarti babi hutan, dua suara dari selatan berarti serigala, dan tiga suara dari utara berarti kemungkinan beruang.
Malam itu, Xiaojun menuliskan catatan harian:
> "Kami mulai melawan. Tidak hanya bertahan. Bukan untuk membunuh, tapi menjaga. Agar ladang tetap ada, dan anak-anak bisa tidur tenang."
Langit malam masih gelap. Tapi bagi Xiaojun, cahaya kecil mulai tumbuh. Dari tekad. Dari harapan. Dan dari keberanian seorang penjaga malam yang berubah menjadi pemburu untuk desanya.