Bab 12 Jejak di Salju Pertama

Bab 12 — Jejak di Salju Pertama

Musim dingin mulai memperlihatkan giginya. Pagi itu, ketika Xiaojun membuka pintu rumah, hamparan putih menyelimuti tanah desa Qingshan. Salju pertama turun semalam, dan kini menyisakan kabut tipis serta udara menggigit.

Ayah terbatuk-batuk di dalam rumah, dibantu Xiaolan untuk duduk bersandar. Ibu menyiapkan air panas dan bubur hangat. Xiaojun memandang ke luar, matanya menyipit ke arah hutan yang tampak lebih sunyi dari biasanya. Semuanya diselimuti kabut dan keheningan.

“Jun,” kata ibu, “kau tak harus ke hutan hari ini. Dingin sekali.”

Xiaojun menggeleng. “Aku harus mengecek jerat. Kalau kita tak bergerak sekarang, mungkin beberapa hari lagi salju makin tebal. Semua binatang akan menghilang ke sarang.”

Ia mengenakan mantel kumal dan sepatu jerami buatan tangan, lalu menyiapkan ransel berisi roti jagung kering, sebotol kecil teh panas, dan senter minyak. Xiaowei ikut menemaninya pagi itu. Mereka berjalan ke arah timur, tempat jalur ke lembah berbatu berada.

Setelah satu jam berjalan, mereka tiba di jerat pertama. Kosong. Di jerat kedua, hanya jejak kaki kecil yang melingkar.

“Rubah?” tanya Xiaowei.

“Mungkin. Tapi terlalu ringan,” jawab Xiaojun.

Di jerat ketiga, mereka menemukan musang tertangkap. Tapi bukan musang biasa. Warnanya hitam legam dan tubuhnya sedikit lebih besar. Xiaojun mengerutkan dahi.

“Aku belum pernah lihat jenis ini. Bisa jadi langka.”

Mereka menyembelih musang itu, membungkusnya dengan kain tebal, lalu menggantungnya tinggi untuk dibawa nanti. Saat hendak beranjak, mereka melihat jejak besar yang tidak biasa—jejak kaki hewan dengan cakar panjang, lebih besar dari serigala, dan dalam bekasnya terlihat bercak darah.

“Kau lihat ini?” bisik Xiaowei.

Xiaojun menunduk, mengukur jejak itu dengan tangan. “Bukan serigala. Tapi juga bukan beruang.”

“Harimau?”

Xiaojun menggeleng pelan. “Entahlah. Tapi apa pun itu, ia terluka.”

Mereka menandai lokasi itu dengan ranting dan melanjutkan perjalanan ke tiga titik jerat lainnya. Satu berhasil menangkap kelinci, satu lagi kosong, dan satu rusak seperti diseret sesuatu.

Setelah membawa hasil buruan kembali ke desa, Xiaojun langsung melaporkan penemuan jejak besar itu ke kepala desa.

“Jejak seperti cakar dan ada darah?” Kepala desa berdiri dari duduknya. “Kita perlu buat regu penjaga malam ganda. Jangan biarkan siapa pun keluar sendirian.”

Sore harinya, kabar dari desa tetangga datang: dua ekor kambing ternak raib, pagar kandang rusak. Jejak yang sama ditemukan.

Malam itu, warga berkumpul di balai desa. Xiaojun menggambar ulang jejak tersebut dan membandingkannya dengan buku fauna tua milik kepala desa. Bentuknya menyerupai jenis kucing besar pegunungan, sangat langka dan biasanya hidup jauh di utara.

“Kau yakin ini bukan anjing liar?” tanya Paman Lu.

“Tidak mungkin. Lihat bentuk jari dan panjang cakar. Ini predator sejati.”

Warga mulai gelisah, terutama para petani yang menyimpan stok makanan ternak untuk musim dingin. Bila serangan ini berlanjut, kerugian bisa besar.

Keesokan harinya, Xiaojun dan dua pemuda lain berpatroli di sekitar desa. Mereka tidak menemukan binatang besar, tetapi menemukan sisa daging kelinci yang baru dimangsa. Darahnya masih hangat.

“Dia mendekat ke desa,” bisik Junjie.

“Iya. Kita harus waspada setiap malam.”

Sebelum malam tiba, Xiaojun memperkuat pagar bambu di sekitar rumah. Ia juga menyelipkan bel kecil pada beberapa titik yang bisa berbunyi jika disentuh.

Malam turun pelan-pelan. Salju turun lagi, tipis. Warga desa mengurangi cahaya lampu minyak agar tak menarik perhatian. Di menara jaga, Xiaojun berdiri bersama Xiaowei. Angin membekukan jari dan pipi mereka.

Dari kejauhan, mereka melihat bayangan hitam melintas di lereng barat. Bergerak cepat, nyaris seperti bayangan. Xiaowei ingin membunyikan kentongan, tapi Xiaojun menahan tangan sahabatnya.

“Jangan dulu. Kita ikuti perlahan.”

Dengan senapan di tangan dan langkah perlahan, mereka turun dari menara dan menyusuri jejak di salju. Nafas mereka membeku di udara, tapi mata tetap tajam. Bayangan itu menghilang di semak belukar.

Xiaojun menyalakan senter minyak. Mereka melihat jejak segar. Tapi kali ini lebih aneh—ada bercak darah manusia.

“Apa ada yang terluka?” bisik Xiaowei.

Xiaojun mendekat dan melihat sehelai kain merah robek tersangkut di semak. Ia memungutnya dan mengenali pola bordirnya.

“Ini milik Nenek Lin!”

Mereka segera berlari kembali ke desa, membangunkan warga. Rumah Nenek Lin kosong. Pintu depannya terbuka sedikit. Di dalam, tidak ada jejak kekerasan, tapi jendela belakang terbuka dan angin dingin menerobos masuk.

“Cepat! Kita cari ke arah jejak tadi!”

Warga menyebar dalam regu kecil. Di balik bukit kecil di utara desa, mereka menemukan Nenek Lin terbaring tak sadarkan diri. Kainnya robek, tangannya luka, tapi ia masih bernapas.

Ia dibawa pulang dan dirawat. Dokter desa mengatakan Nenek Lin kemungkinan terkejut oleh kehadiran hewan besar dan terjatuh saat mencoba lari.

Malam itu, Xiaojun tidak tidur. Ia berjaga hingga pagi. Cahaya pertama menyinari desa yang tertutup salju. Ia menuliskan catatan kecil:

> “Ancaman sudah dekat. Bukan hanya pada ternak, tapi juga manusia. Desa harus bersatu lebih dari sebelumnya.”

Keesokan harinya, Xiaojun bertemu dengan kepala desa untuk menyusun strategi penjagaan baru. Mereka sepakat menambahkan menara pengawas kecil di arah utara dan timur, serta mengatur giliran jaga siang dan malam.

Selain itu, Xiaojun mulai melatih beberapa pemuda cara menembak dan membaca jejak. Ia menyusun jadwal latihan di ladang kosong, dan setiap sore, suara tembakan uji coba terdengar di antara deru angin musim dingin.

“Kalau kita tidak siap, kita bisa kehilangan lebih banyak,” kata Xiaojun kepada Xiaowei saat latihan.

“Benar. Ini bukan sekadar pemburuan lagi. Ini perlindungan.”

Hari-hari ke depan dipenuhi latihan, patroli, dan peringatan. Desa Qingshan perlahan berubah menjadi desa yang siaga, dengan warga yang saling menjaga dan memperkuat satu sama lain. Di tengah kesunyian dan salju yang terus turun, semangat untuk bertahan tumbuh lebih besar.

Di malam terakhir dalam minggu itu, setelah semua tugas selesai, Xiaojun duduk sendirian di bukit kecil belakang rumah. Ia menatap desa yang diterangi cahaya obor dari kejauhan, lalu menulis:

> “Aku tak pernah menyangka kehidupan baruku akan seperti ini. Tapi jika aku diberi pilihan, aku tetap memilih melindungi mereka. Mereka keluargaku sekarang. Dan desa ini rumahku.”

Ia menutup buku catatannya dan tersenyum tipis. Suara burung hantu terdengar dari kejauhan, dan salju kembali turun, menutupi jejak-jejak yang sempat mengusik ketenangan desa. Malam itu hening, tapi bukan berarti aman.

Keesokan harinya, ia kembali menyusuri jejak di lereng bersama dua pemuda. Mereka menemukan sisa-sisa bangkai rusa dengan bekas cakaran mengerikan. Dari arah timur, asap tipis terlihat mengepul dari tempat yang biasanya kosong. Mungkin perkemahan. Atau sesuatu yang lain.

“Besok kita ke sana,” kata Xiaojun. “Dan kita akan tahu apa yang sebenarnya mengintai kita.”