Bab 13 — Akhir dari Teror Lereng Timur
Pagi di Desa Qingshan terasa muram setelah malam yang mencekam. Kabut tebal menyelimuti ladang, dan suara burung pun nyaris tak terdengar. Langit kelabu, dan udara membawa bau tanah lembap. Warga berkumpul di balai desa, menatap Xiaojun, Zhang Yong, dan kepala desa dengan penuh tanya.
“Makhluk itu tak hanya mencuri ternak. Ia menciptakan ketakutan,” kata kepala desa. “Hari ini, kita akhiri semua ini.”
Xiaojun berdiri tegak di hadapan warga. “Kita akan pasang jebakan di jalur utara ladang. Kita tahu makhluk itu datang dari sana. Kali ini kita siap.”
Beberapa warga berseru menyetujui, yang lain tampak ragu. “Apa benar kita bisa melawannya?” bisik seorang pria tua. “Sudah lima kambing lenyap…”
“Kalau kita terus takut, kita tak akan pernah bisa tidur nyenyak,” jawab Zhang Yong lantang.
Mereka membagi tugas. Xiaojun, Zhang Yong, dan Xiaowei menyiapkan jerat kawat kuat dari sisa perangkap babi hutan. Beberapa warga lain menggali lubang perangkap dan menutupinya dengan ranting dan daun. Di tengahnya mereka menaruh umpan daging babi ternak yang sudah rusak. Anak-anak dilarang mendekat.
Saat siang merangkak, para lelaki bekerja tanpa banyak bicara. Satu demi satu jerat dipasang, dikuatkan dengan simpul rotan dan ditutup dedaunan. Suara cangkul menembus kesunyian, bercampur suara burung gagak di kejauhan. Xiaojun sempat mencatat posisi perangkap di secarik kertas, agar mudah mereka pantau nanti malam.
Siang itu, Xiaojun dan Zhang Yong duduk di atas pos pengawas dengan teropong tua milik desa. Dari ketinggian, mereka mengamati jejak samar di salju. Angin musim dingin menusuk, tapi mereka bertahan, dibalut mantel wol lusuh.
“Zhang Yong,” kata Xiaojun pelan. “Kau yakin ini bukan makhluk gaib seperti yang diceritakan warga?”
Zhang Yong menatap lurus ke hutan. “Aku dulu juga takut begitu. Tapi saat akhirnya kutembak dari dekat, aku tahu... itu hanya binatang yang terluka. Ganas karena tersakiti.”
Waktu berjalan lambat. Matahari merayap turun ke balik gunung. Mereka menunggu dengan sabar, mendengarkan setiap suara angin dan gemerisik ranting. Sinar senja menyinari bukit, mewarnai desa dengan cahaya emas redup. Dari atas menara kayu, Xiaojun bisa melihat ibu dan beberapa perempuan menjemur sisa jagung kering sambil berbincang pelan.
Menjelang malam, seluruh penjaga malam bersiaga. Obor dinyalakan, dan senapan diisi peluru. Xiaolan menyuapi adik-adik kembar sebelum mereka tidur di gudang bersama warga lain. Ketegangan menjalar seperti asap. Beberapa warga duduk bersila sambil berdoa diam-diam. Ada yang menggenggam jimat, ada yang membaca doa dalam hati.
Jam melewati tengah malam ketika terdengar suara ranting patah dari sisi utara. Xiaojun mengangkat tangan, memberi isyarat diam. Semua bersiap. Nafas ditahan. Lalu—
Blarrrr!
Salah satu perangkap aktif. Diikuti suara geraman keras. Makhluk itu terjebak.
Mereka berlari ke lokasi dengan obor dan senapan. Di sana, seekor anjing liar besar terperangkap jerat dan jatuh ke lubang. Bulunya hitam dengan bercak putih, matanya merah karena infeksi, dan tubuhnya penuh luka lama. Mulutnya berliur, mencakar udara dengan sisa tenaga. Nafasnya parau, tapi sorot matanya tetap menakutkan.
“Itu... anjing penjaga militer,” gumam Zhang Yong. “Lepas dari pelatihan... lalu jadi liar. Aku pernah lihat jenis ini. Tangguh... dan kalau tak ada pemilik, mereka jadi buas.”
Makhluk itu masih meronta, meski tenaganya mulai habis. Salah satu kaki depannya tampak pincang. Luka lama menganga di sisi leher. Mungkin pernah ditembak, tapi selamat dan hidup seperti hantu di hutan.
Xiaojun mengarahkan senapan. Jantungnya berdetak keras. Bukan karena takut, tapi karena simpati. Ia melihat bukan hanya binatang buas, tapi makhluk yang pernah setia, lalu dilupakan.
“Maafkan aku,” bisiknya.
Satu tembakan. Tepat di dahi. Tubuh itu terdiam.
Sunyi. Lalu satu per satu warga bersorak lega. Beberapa menangis. Kepala desa mendekat dan menepuk bahu Xiaojun.
“Kau telah menyelamatkan desa.”
Mereka membawa tubuh anjing itu keluar hutan dengan tali dan papan kayu. Besok pagi, akan dikuburkan di belakang ladang. Kepala desa menyuruh para pemuda untuk istirahat. Malam itu, api unggun tetap menyala, tapi bukan untuk berjaga—melainkan untuk merayakan. Sup labu dibagikan, dan teh jahe mengalir dari teko-tembikar tua. Seorang pemuda memainkan seruling bambu, menambah hangat suasana.
Keesokan paginya, Xiaojun duduk bersama ibu dan ayah di ruang utama. Ayah yang mulai pulih dari sakitnya tersenyum tipis. Tangannya yang kurus meremas tangan Xiaojun.
“Kau seperti harimau kecil, Jun. Kau tak hanya melindungi kami... tapi seluruh desa.”
Xiaojun tersenyum, lalu menyodorkan satu kantong kulit dan bulu anjing liar itu.
“Ini... bisa dijual ke Tuan Zhou. Tapi aku ingin setengahnya disimpan sebagai sumbangan desa. Sisanya, aku simpan di bank kabupaten. Kita butuh tabungan.”
Ibu menitikkan air mata. “Ayahmu pasti bangga.”
Hari itu juga, Xiaojun naik gerobak bersama Xiaowei menuju pasar kabupaten. Jalanan becek, tapi langit mulai cerah. Dalam perjalanan, mereka melewati hamparan ladang kosong yang tertutup es tipis. Angin pagi membuat wajah mereka kaku, tapi semangat tak luntur.
Kulit anjing besar dijual seharga 28 yuan. Ia menyisihkan 14 yuan untuk tabungan di Bank Rakyat Tiongkok dan menyerahkan 5 yuan untuk keperluan desa. Di bank, petugas kaget melihat anak muda menyetor uang sambil membawa senapan tua di punggungnya.
Dengan uang sisanya, mereka membeli benih jagung, sebotol minyak tanah, sebungkus garam kasar, dan satu kantong teh hijau murah. Musim dingin belum selesai, dan persiapan tak boleh setengah-setengah. Mereka juga sempat mampir ke toko alat—Xiaojun membeli satu gulung kawat tipis untuk jerat kelinci. Xiaowei membeli pisau kecil untuk belajar membuat jebakan sendiri.
Dalam perjalanan pulang, salju tipis mulai turun. Xiaowei menarik kerah jaketnya.
“Aku ingin jadi pemburu juga. Tapi seperti kau, yang tahu kapan menembak dan kapan menahan.”
Xiaojun tertawa kecil. “Yang paling penting bukan senapan. Tapi tujuan kita.”
Setiba di rumah, anak-anak kecil desa sudah menunggu di halaman. Mereka ingin melihat "pahlawan desa". Xiaojun tersenyum canggung, lalu mengajak mereka ke gudang dan mengajari cara memasang jerat kecil untuk kelinci. Sore itu dipenuhi tawa, bukan ketakutan. Anak-anak bermain sambil menirukan suara hutan. Xiaojun memberi mereka tali bekas untuk berlatih simpul.
Saat matahari tenggelam, langit berubah jingga. Asap dari dapur mengepul, dan aroma sup kentang menyambut mereka di rumah. Di halaman, ibu menjemur kayu bakar agar esok lebih mudah menyalakan api.
Malam harinya, kepala desa datang membawa bingkisan kecil berisi dua potong kain wol hangat. “Dari seluruh warga. Sebagai ucapan terima kasih.”
Xiaojun memeluk bingkisan itu. Ia tak pernah mendapat hadiah seperti itu seumur hidupnya.
Setelah semuanya tenang, ia duduk di beranda, menatap bintang-bintang. Angin malam dingin, tapi hatinya hangat. Ia teringat masa lalu, saat masih berada di dunia lain. Semua terasa jauh kini. Ia punya tujuan baru.
“Hutan akan selalu punya rahasia, tapi aku sekarang lebih kuat. Waktunya memburu bukan karena takut, tapi karena harapan.”
Di dalam rumah, suara tawa adik-adiknya menggema. Ibunya menyanyikan lagu pelan, dan ayahnya menyandarkan kepala ke dinding, matanya terpejam damai. Di dapur, api tetap menyala kecil. Kehangatan menyelimuti rumah sederhana mereka.
Musim dingin belum berakhir. Tapi harapan sudah mulai tumbuh di ladang yang beku. Malam itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, seluruh desa tidur nyenyak.
---