Dari Hukuman ke Takdir

Dinginnya ubin lantai koridor Sekolah Tinggi Permata Bangsa merambat ke telapak kakinya melalui sepatu Rei. Ia bersandar di dekat jendela, memandang halaman sekolah yang ramai tanpa ekspresi. Sekolah ini, dengan seragam bergaris prestisius dan fasilitas mewah, adalah dunia yang sangat berbeda dengan apartemen kecilnya di pinggiran kota. Di sini, popularitas adalah mata uang, dan Rei... Rei hanyalah koin receh yang terlupakan.

"Eh, Rei!"

Suara perempuan yang dibuat-buat membuatnya menoleh. Tiga siswi berdiri beberapa meter di depannya, mencoba menyembunyikan tawa di balik buku catatan. Salah satunya, Mia, melangkah mendekat dengan senyum yang terlalu lebar.

"Rei, kamu lagi nggak ada acara setelah sekolah, kan? Mau... nonton bioskop bareng?" tanya Mia, matanya berbinar-binar bukan karena antusiasme.

Rei menghela napas dalam, sangat dalam. Ia memindahkan pandangannya dari Mia ke kedua temannya yang sedang menggigit bibir untuk menahan tawa. Suasananya terlalu familiar. Terlalu bisa ditebak. Sebuah mantra pendek, hampir tanpa intonasi, meluncur dari bibirnya:

"Kalah taruhan, ya?"

Senyum Mia langsung pudar, digantikan wajah merah padam dan tatapan kesal. "Dasar! Gitu-gitu aja ketebak!" gerutunya sambil menoleh ke teman-temannya yang akhirnya tertawa terbahak-bahak. "Udah deh, nggak jadi! Nggak seru!" Ia berbalik dan pergi dengan langkah cepat, diikuti teman-temannya yang masih terkekeh.

Rei hanya mengangguk pelan, lalu kembali menatap ke luar jendela. Callagge. Itulah nama "hiburan" rahasia para siswi Permata Bangsa. Sebuah permainan taruhan absurd antar kelompok pertemanan para siswi. Taruhannya bisa apa saja: siapa yang terlambat masuk kelas duluan, siapa yang berhasil nyontek jawaban ujian guru killer, atau siapa yang berani meminta nomor telepon senior ganteng. Dan bagi yang kalah? Hukumannya selalu sama: harus berkencan dengan siswa laki-laki yang dianggap paling "tidak menarik", paling "nge-boom", paling "invisible" di sekolah. Dan dalam ekosistem sosial Permata Bangsa yang kejam itu, Rei telah lama dinobatkan sebagai Raja yang Tak Diinginkan. Siswa biasa. Nilai pas-pasan. Tidak mencolok di olahraga, apalagi di pentas seni. Tidak punya geng, hanya beberapa teman yang sama-sama biasa saja. Bagi para pemain Callagge, Rei adalah hukuman yang sempurna: tidak berbahaya, mudah ditemui, dan reaksinya yang datar malah membuat "hukuman" terasa kurang memuaskan – yang justru membuatnya semakin sering jadi sasaran.

Ia sudah lupa berapa kali namanya muncul sebagai "hadiah" kalah taruhan. Dulu rasanya sakit, memalukan. Tapi lama-lama, semua ejekan dan tatapan iba itu membentuk lapisan pelindung di hatinya—tebal, dingin, dan nyaris tak tertembus. Ia belajar untuk tidak ambil pusing. Ia belajar untuk menerima "kencan" itu dengan sikap acuh tak acuh, menjalaninya seperlunya, dan mengakhiri dengan kalimat sakti itu: "Kalah taruhan, ya?" Sebuah kalimat yang hampir selalu mematikan percikan percakapan apa pun dan mengembalikan si gadis ke dunianya dengan cepat. Itu adalah mekanisme bertahannya. Dengan tidak memberi reaksi, dengan menunjukkan bahwa ia tahu, ia mencabut senjata mereka. Rasa bersalah? Mungkin ada sedikit. Tapi lebih sering, hanya kelelahan yang membosankan.

Ding... Dong...

Bel pulang berbunyi. Rei mengumpulkan buku-bukunya dengan lambat. Hari ini cukup, pikirnya. Satu "kencan" yang gagal di tengah jalan sudah cukup jatah. Ia berbalik untuk menuju lokernya, berharap bisa cepat pulang dan menghabiskan malam dengan game atau komik kesukaannya.

"TIDAAAK!"

Teriakan panik, hampir histeris, memecah keriuhan siswa yang berhamburan keluar kelas. Suara itu berasal dari ujung koridor, tepat di depan kelas 12 IPS 1 – kelas elite tempat anak-anak populer dan berprestasi berkumpul. Kerumunan kecil sudah mulai terbentuk.

Rei, yang bukan tipe penasaran, hampir saja meneruskan langkah. Tapi sesuatu tentang kepanikan dalam teriakan itu membuatnya melirik. Di tengah kerumunan itu, ia melihatnya: Alyssa Chandra.

Matahari sore yang masuk dari jendela tinggi seolah memancarkan aura khusus untuknya. Rambut hitamnya yang lurus berkilau, seragamnya rapi sempurna, dan ekspresi wajahnya yang biasanya penuh percaya diri kini berkerut dalam keputusasaan yang nyata. Ia berdiri berhadapan dengan tiga temannya. Satu di antaranya, Clara, si ketua OSIS yang terkenal tegas, sedang melipat tangannya dengan senyum kemenangan.

"... Harus! Nggak boleh ngelak, Aly! Itu perjanjian!" kata Clara bersemangat, suaranya terdengar jelas meski Rei berdiri agak jauh.

"Tapi Claaar... Dia? Seriusan? Nggak bisa diganti? Aku traktir kalian sebulan, deh! Apa aja!" Alyssa merengek, tangannya meraih lengan Clara.

Clara menggeleng, matanya berbinya. "Peraturan Callagge suci, Aly. Kamu kalah fair and square soal siapa yang bakal jadi ketua panitia prom night. Rei. Harus Rei. Dan kencannya besok sore. Udah, jangan cengeng!"

Rei merasa seluruh darah di tubuhnya beku. Rei? Alyssa Chandra? Kencan? Dengan dia?

Alyssa memandang teman-temannya dengan tatapan memohon, tapi yang ia dapat hanya gelengan kepala dan senyum-senyum masam yang mencampur antara kasihan dan geli. Wajahnya yang cantik itu pucat. Ia menunduk, bahunya turun. Rei bisa melihat keengganan yang begitu kuat, hampir seperti fisik, membebani tubuh rampingnya. Sebuah perasaan aneh menyergap Rei – bukan sakit hati seperti dulu, tapi semacam... penyesalan untuknya. Alyssa bukan tipe yang jahat. Ia terkenal cerdas, juara debat, suaranya merdu di paduan suara, dan meski populer, ia tak pernah terlibat bully secara langsung. Menjadi "hukuman" bagi seseorang seperti Alyssa terasa... lebih kejam.

Alyssa mengangkat kepala, matanya berkaca-kaca tapi berusaha keras menahan air mata. Pandangannya menyapu koridor, mencari sesuatu – atau seseorang. Lalu, mata mereka bertemu.

Rei tidak sempat menunduk atau berpaling. Ia terjebak dalam tatapan Alyssa. Ada rasa malu yang mendalam, keputusasaan, dan sesuatu yang lain... penolakan? Ketakutan? Dalam sepersekian detik itu, Rei melihat sekilas beban yang harus dipikul gadis itu hanya karena kalah dalam permainan konyol. Ia melihat bagaimana reputasi dan posisinya yang tinggi tiba-tiba menjadi jerat.

Alyssa cepat memalingkan muka, pipinya memerah. Ia berbisik sesuatu pada Clara yang membuat Clara tertawa dan menepuk pundaknya. Kerumunan mulai bubar. Alyssa berjalan cepat menyusuri koridor, menjauhi Rei, menjauhi semuanya, dengan punggung tegak tapi langkah yang terburu-buru dan kaku.

Rei masih diam di tempatnya. Udara terasa lebih berat. Kalimat sakti "Kalah taruhan, ya?" tiba-tiba terasa seperti pisau tumpul di tenggorokannya. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, menjadi korban Callagge terasa... berbeda. Dan ia tahu, besok sore, saat matahari mulai turun, ia akan bertemu dengan Alyssa Chandra. Bukan karena pilihan, tapi karena hukuman. Sebuah hukuman yang, entah mengapa, kali ini terasa lebih berat bagi keduanya.

Ia menarik napas panjang, memandang ke arah Alyssa yang menghilang di ujung tangga. Besok. Besok akan menjadi kencan Callagge yang paling tidak biasa dalam hidupnya. Dan entah kenapa, di hatinya yang lama membeku, terasa sesuatu bergetar samar.

---