Gestur Tanpa Kata

Udara di Sapta Coffee Shop terasa kental dan hangat, dipenuhi aroma kopi sangrai yang intens dan gula karamel yang manis menggoda. Bagi Alyssa Chandra, suasananya bukan nyaman, namun mencekik seperti kerah baju yang terlalu ketat. Ia duduk di booth paling belakang, tersembunyi sebagian oleh tanaman hias besar berdaun lebar, jemarinya gelisah memelintir sedotan plastik hingga nyaris patah. Jam di dinding menunjukkan pukul 4:05 sore. Sengaja datang lebih awal lima belas menit, Alyssa berharap bisa menguasai medan, menemukan titik nyaman, atau mungkin—secara ajaib—mendapatkan alasan untuk membatalkan “hukuman” ini di menit terakhir. Tapi tak ada. Hanya debar jantung yang kencang menusuk tulang rusuknya dan rasa mual yang terus menggelitik kerongkongannya setiap kali bayangan pertemuan ini muncul.

Rei.

Hanya nama itu saja sudah membuat pipinya terasa panas. Membayangkan harus duduk berdua dengannya di tempat umum sebagai konsekuensi konyol kalah taruhan Callagge terasa lebih mengerikan daripada presentasi di depan seluruh sekolah, bahkan dibandingkan menghadapi guru killer matematika. Ia membayangkan keanehan sikap Rei, keputusasaan tersembunyi di matanya, atau—Tuhan melarang—usaha canggung Rei untuk terlihat menarik atau memaksakan percakapan. Alyssa memejamkan mata, mencoba menarik napas panjang lewat hidung, menghembuskannya perlahan lewat mulut. Ini hanya satu jam. Satu jam saja. Bertahan, menjawab seperlunya, lalu pergi, dan lupakan semuanya. Seperti yang dilakukan gadis-gadis lain.

“Permisi.”

Suara itu datar, tenang, memotong lamunannya seperti pisau tumpul. Alyssa tersentak, kepalanya mendongak dengan kaget.

Dia sudah ada di sana. Rei. Berdiri di samping meja, tas ransel hitam sederhana tergantung di satu pundak, wajahnya seperti biasa—tanpa semangat, tanpa cemas, hanya... ada, seperti bagian dari furnitur kafe. Dia memakai kaos abu-abu polos yang sedikit longgar dan celana jeans biru yang sudah pudar warnanya, kontras mencolok dengan blus putih bermerek dan celana kulot coklat muda trendi yang Alyssa kenakan dengan sengaja untuk terlihat casual yet chic. Dia datang tepat waktu, bahkan mungkin tepat detik, persis seperti yang Alyssa perkirakan dari sosoknya yang teratur dan tidak mencolok. Tak ada senyum, tak ada anggukan, hanya tatapan polos yang menunggu.

"Eh... iya. Silakan duduk," gumam Alyssa, suaranya lebih kecil dan lebih tinggi dari yang diinginkannya. Panik, ia cepat-cepat menyembunyikan wajahnya yang mulai memerah di balik menu besar berlapis plastik, berharap tanah menelannya saat ini juga atau setidaknya badai datang menyapu kafe ini.

Rei duduk di seberangnya dengan tenang, gerakannya efisien. Dia meletakkan ransel di kursi kosong di sampingnya, tidak menatap Alyssa, tidak mencoba memecah kebekuan. Dia hanya duduk, diam, matanya sekilas menyapu ruangan yang mulai ramai sebelum kembali menetap pada gelas air kosong di depannya. Kesederhanaan sikapnya, ketiadaan tekanan untuk berusaha, justru membuat Alyssa makin gugup. Kenapa dia tidak mulai? Kenapa tidak bertanya apa-apa? Apa dia menungguku membuat kesalahan?

Seorang pelayan muda mendekat, membawa buku pesanan kecil. "Pesanannya, Mbak, Mas?"

Rei menoleh ke Alyssa. "Kamu pesan apa?" tanyanya, biasa saja, datar, seperti bertanya pada kasir atau teman sekelas biasa tentang tugas. Tak ada beban "kencan hukuman" dalam nada bicaranya.

Alyssa tercekat. Pertanyaan paling dasar itu, diucapkan dengan nada yang begitu wajar, membuatnya bingung. Ia mengharapkan sesuatu yang lebih... dramatis? Memalukan? "A... Americano. Dingin. Tanpa gula," jawabnya cepat, hampir terpeleset lidah.

Rei mengangguk, lalu memandang pelayan. "Es Kopi Susu Gula Aren. Ukuran regular." Suaranya jelas, tidak malu-malu atau berbisik.

Saat pelayan mencatat pesanan dan mulai berbalik, Rei menahan langkahnya dengan suara yang tetap tenang. "Bisa langsung bayar sekalian?"

Pelayan menghentikan langkah, mengangguk, lalu mengeluarkan bon kecil dari saku apronnya. "Dua puluh delapan ribu, Mas."

Rei membuka ranselnya, mengeluarkan dompet kulit tipis yang sudah usang di sudut-sudutnya. Dengan gerakan lancar dan tanpa keraguan, ia mengeluarkan tiga lembar uang sepuluh ribuan yang masih rapi dilipat. "Ini tiga puluh," ujarnya sambil menyodorkan uang. Pelayan menerimanya, mengeluarkan dua ribu rupiah kembalian dari kantong celana. "Terima kasih." Rei menyimpan kembalian dan dompetnya, lalu duduk kembali, menunggu minuman dengan tenang.

Alyssa membuka mulut, tapi tak bersuara. Dia... membayar? Untukku? Ekspektasinya hancur berderai. Biasanya, bahkan cowok-cowok populer sekalipun akan menunggu dia menawarkan, atau pura-pura memperebutkan bon demi menunjukkan kesopanan (atau kesombongan). Tapi Rei? Membayar tanpa drama, tanpa basa-basi, seperti membeli air mineral di kantin sekolah. Padahal ini kencan hukuman. Padahal dialah yang jadi "hukuman". Logika mana yang berlaku? Apakah ini bagian dari sikap acuhnya? Atau... kesopanan alaminya? Pertanyaan itu mengganggu pikirannya lebih dari kehadiran Rei sendiri.

Keheningan kembali menyergap, lebih dalam dari sebelumnya. Alyssa menatap gelas air di depannya, mencoba mencari sesuatu—apa saja—untuk dikatakan. Ekspektasinya tentang Rei yang canggung atau putus asa sama sekali tidak terpenuhi. Yang ada hanyalah ketenangan yang hampir... mengganggu? Tidak, bantah hatinya. Ini pasti akting. Dia pasti merasa malu atau bingung di dalam.

Matanya mencari pelarian, lalu tertumbuk pada lukisan besar di dinding samping booth mereka. Lukisan abstrak itu, berukuran sekitar satu meter persegi, penuh coretan tebal dan liar warna merah menyala, biru tua, dan kuning mustard, berpusar dan bertabrakan di sekitar sebuah titik hitam pekat di tengahnya. Bentuknya tak jelas, hanya energi dan emosi yang tercoreng di kanvas.

“Kamu suka seni?”

Suara Rei memecah kesunyian, membuat Alyssa menoleh kaget. Dia sedang menatapnya, bukan dengan tatapan iseng atau sok tahu, tapi dengan perhatian yang tulus, menunggu jawaban. Matanya kemudian beralih ke lukisan itu, seolah mempelajarinya kembali.

“Lukisan itu,” lanjut Rei, suaranya masih datar tapi tidak hambar, ada semacam rasa ingin tahu yang halus. “Setiap kali aku ke sini, selalu ada yang bilang ‘aneh’ atau ‘nggak jelas’. Pemiliknya bilang ini karya anak seni kampus sebelah yang sering nongkrong sini. Tapi… aku suka liatin itu.” Ada jeda kecil, seolah dia memilih kata. “Kayak dia lagi ngomong sesuatu yang nggak bisa diucapin pake kata-kata.”

Alyssa terpana. Ini jauh melampaui pertanyaan basa-basi tentang cuaca, pelajaran sekolah, atau komentar klise tentang penampilannya. Ini... spesifik. Personal. Dan sama sekali tak terduga dari Rei. Ketegangan di pundaknya sedikit mengendur, digantikan rasa ingin tahu. "Aku... aku nggak terlalu ngerti seni abstrak sih," akunya jujur, suaranya lebih rileks. "Selalu keliatan acak-acakan. Tapi... kenapa kamu suka? Apa yang kamu liat?"

Rei mengangkat bahu, ringan, hampir tak kentara. “Nggak harus ngerti buat bisa suka, kan? Aku cuma suka caranya warna-warna itu bentrok, saling dorong, tapi tetep dipaksa hidup bareng di satu kanvas. Kayak... perasaan beda-beda yang berantem di kepala.” Dia menunjuk ke sapuan merah tebal dan agresif di sudut kanan atas. “Lihat itu. Kayak marah banget. Pengen nerobos keluar kanvas.” Jarinya bergeser ke guratan biru tua yang lebih lembut dan mengalir di bawahnya, mendekati titik hitam. “Tapi di bawahnya, ada biru ini. Lebih tenang. Kayak nungguin merahnya capek sendiri. Atau mungkin nyerap amarahnya.” Jarinya bergerak lagi ke coretan kuning mustard yang pendek-pendek dan berantakan di pinggir. “Ini kuningnya… kayak bingung. Atau penasaran. Ngintip-ngintip dari jauh.”

Alyssa memandang lukisan itu lagi, kali ini lebih seksama, mencoba mengikuti interpretasi Rei yang sederhana namun tajam. Perspektif itu membuka lapisan baru. Lukisan yang semula hanya coretan kacau, tiba-tiba punya narasi, punya konflik emosi. “Jadi… titik hitam di tengah itu apa?” tanyanya, tanpa sadar bersandar sedikit ke depan, lupa sejenak tentang rasa malunya. “Pusatnya?”

“Entahlah,” jawab Rei jujur, matanya meneliti titik hitam itu. “Mungkin pusat kekacauannya. Tempat semua emosi itu mulai atau bertemu. Atau… lubang hitam yang nyedot semuanya. Bisa juga cuma noda kopi si pelukis yang nggak sengaja kecipratan.” Bibirnya berkerut hampir tidak kentara—sebuah versi sangat samar dari senyuman. “Terserah yang liat, kayaknya. Makanya seru. Setiap orang bisa liat cerita beda.”

Percakapan mulai mengalir, perlahan namun pasti. Alyssa, yang biasanya percaya diri memimpin dan mengontrol obrolan di lingkaran pertemanannya, menemukan dirinya lebih banyak mendengarkan. Rei tidak banyak bicara, tidak memaksakan cerita, tapi ketika dia bicara, itu tentang hal-hal kecil yang diamatinya dengan cermat: bagaimana pemilik kafe paruh baya itu selalu menyeka meja dengan gerakan melingkar yang sama persis setiap pagi, seperti ritual; bagaimana sekelompok burung gereja di teras luar berebut remah roti dengan hierarki ketat yang bisa diprediksi; bagaimana aroma kopi berubah sepanjang hari, dari segar dan asam di pagi hari menjadi lebih pekat dan hangus di sore hari, tergantung biji apa yang sedang digiling. Dia bercerita tentang komik indie Jepang yang jarang dikenal orang, tentang plotnya yang rumit dan karakter-karakternya yang abu-abu; tentang game puzzle tua di komputernya yang grafiknya jelek tapi logikanya memusingkan dan memuaskan ketika akhirnya berhasil dipecahkan; tentang sudut-sudut sepi di perpustakaan kota atau taman pinggiran yang bagus untuk berpikir atau sekadar melamun tanpa diganggu.

Minuman mereka tiba. Alyssa menyeruput Americano dinginnya, menyadari tenggorokannya kering bukan hanya karena gugup, tapi juga karena ia telah banyak bicara—bercerita tentang betapa frustrasinya memimpin paduan suara dengan anggota yang sering bolos latihan dan tidak disiplin; tentang ketakutannya yang membeku saat pertama kali berdiri di podium debat nasional, melihat ratusan pasang mata menatapnya; tentang lukisan cat air neneknya yang selalu gagal ia tiru meski sudah berkali-kali mencoba, tapi tetap disimpan rapi di kamarnya karena penuh kenangan. Rei mendengarkan dengan perhatian yang sama, mengangguk sesekali, kadang mengajukan pertanyaan singkat yang justru membuat Alyssa ingin bercerita lebih banyak, menggali lebih dalam. “Kenapa nggak coba gaya lain selain cat air? Kan nggak harus sama persis,” tanyanya saat Alyssa bercerita tentang kegagalannya meniru lukisan nenek. Pertanyaan sederhana itu membuat Alyssa terhenti, menyadari ia tak pernah mempertimbangkan opsi itu.

Es di gelas Alyssa sudah mencair sebagian, airnya menggenang di dasar. Rei memperhatikan gelasnya yang sudah kosong, hanya tersisa cairan coklat dan es yang meleleh. Tanpa berkata apa-apa, ia mengeluarkan botol air minum kemasan kecil dari ranselnya dan meletakkannya dengan lembut di tengah meja, lebih dekat ke Alyssa. “Kalau haus,” ujarnya singkat, sebelum kembali memandang ke arah lukisan abstrak itu, seolah gestur itu adalah hal yang paling wajar di dunia.

Gestur kecil itu—tidak mencolok, tidak diumumkan, tidak mengharapkan pujian, hanya sebuah tawaran diam-diam—membuat sesuatu bergetar aneh di dada Alyssa. Membayar minuman tanpa pamer. Memberi air minum tanpa diminta. Ini bukan Rei yang ia bayangkan berdasarkan gosip dan ekspektasi buruknya. Tidak ada kepalsuan. Tidak ada keputusasaan yang terpancar. Tidak ada usaha untuk menyenangkan atau membuatnya terkesan. Hanya... ketulusan yang polos. Dan ketenangan yang, anehnya, mulai menular. Perlahan-lahan, beban "hukuman" itu terasa menguap. Dia mengambil botol itu, membuka tutupnya, dan meneguk sedikit. Air dingin itu terasa menyejukkan. “Makasih,” ucapnya, dan kali ini, senyum kecil yang tulus muncul di bibirnya, meski masih malu-malu.

“LOE BERDUA SERIUSAN?”

Suara nyaring, penuh ketidakpercayaan dan dibumbui ejekan, memecah atmosfer nyaman yang baru saja terbangun, seperti kaca pecah. Clara berdiri di ujung meja mereka, disertai dua anggota klik populer lainnya, Siska dan Bima. Wajah mereka dihiasi senyum lebar yang terlalu dipaksakan, mata mereka menyoroti Rei dan Alyssa dengan intensitas yang membuat Alyssa ingin segera menghilang. Siska bahkan sudah mengangkat ponselnya, siap merekam.

"Wih, Alyssa Chandra berkencan di Sapta? Langka banget! Biasanya tempatnya anak-anak ekskul atau nongkrong biasa!" sergah Siska, jarinya sudah siap di tombol kamera.

Clara menyandarkan tangan di bahu Alyssa, tatapannya tajam mengevaluasi situasi seperti seorang ilmuwan mengamati spesimen aneh. “Udah satu jam lebih, loh, Aly. Kok masih betah disini? Biasanya kencan ‘hukuman’ paling cepet 20 menit udah kabur semua, batas waktunya aja cuma setengah jam kan?” Tawa kecilnya yang sinis menggantung di udara. Matanya yang jeli menjeling ke bon kertas kecil yang masih tergeletak di ujung meja, dekat Rei. “Eh, ini bonnya? Dua puluh delapan ribu?” ledeknya, membuat Siska terkekeh. “Siapa yang bayar tadi? Jangan-jangan Aly yang traktir si ‘hukuman’ biar cepet kelar?” Ia menyeringai ke arah Rei. “Atau jangan-jangan kamu yang bayarin, Rey?”

Alyssa merasa darah mengalir deras ke wajahnya, membakar telinganya. Rasa malu yang ia kira sudah terlupakan sejak percakapan mengalir tiba-tiba menyergap dengan kekuatan penuh, diperparah oleh kehadiran teman-temannya. Ia melihat ke Rei, berharap—mungkin agar Rei ikut malu, atau marah, atau melakukan sesuatu yang aneh sehingga ia punya alasan untuk mengakhiri ini dengan cepat dan menyelamatkan muka.

Tapi Rei hanya menatap Clara dan teman-temannya. Wajahnya tetap tenang, bahkan datar, seperti permukaan danau tanpa angin. Tak ada kedipan mata lebih cepat, tak ada pipi memerah. Dia tidak menjawab ejekan Clara. Dia tidak memandang Alyssa dengan tatapan memohon atau malu. Dia hanya mengambil ranselnya dari kursi sebelah, mengaitkannya di satu pundak, dan berdiri. “Aku pulang dulu,” ucapnya, suaranya tidak berubah volume atau intonasi, ditujukan ke Alyssa. “Makasih untuk… kencannya.”

Dia tidak menunggu jawaban. Tidak melirik Clara, Siska, atau Bima sekalipun. Dia hanya berbalik dan berjalan keluar dari kafe dengan langkah tenang dan mantap, melewati meja-meja lain tanpa terburu-buru, menyisakan Alyssa yang terbengong-bengong di tengah tatapan penuh tanya dan senyum sinis teman-temannya. Pintu kafe berbunyi lemah saat ditutupnya.

"Gimana, Aly? Ngeselin banget kan cowoknya?" tanya Clara, langsung merebut kursi yang baru saja ditinggalkan Rei. "Diem banget kayak patung batu, ya? Garing! Nggak nyambung kalo diajak ngobrol? Ales bilang apa aja tadi sampe sejam lebih? Dan tadi bayar minumannya gimana ceritanya? Dia bayar beneran?" Pertanyaan-pertanyaan itu menghujam seperti peluru.

Alyssa menatap pintu kafe yang baru saja ditutup Rei. Di kepalanya, bukan keheningan Rei atau ejekan Clara yang muncul, tapi dua gestur tak terduga yang menggedor pikirannya: tangan Rei yang dengan tenang menyodorkan uang untuk membayar bon mereka berdua, dan botol air minum yang ditaruhnya di meja tanpa diminta. Gestur yang kecil, sederhana, tapi penuh dengan... apa? Kesopanan? Kebiasaan? Atau sesuatu yang lain? Dan yang paling mengganggu, mengusik ketenangannya yang palsu, adalah kalimat terakhir Rei: “Makasih untuk… kencannya.”

Bukan “kalah taruhan, ya?”. Bukan kalimat pembunuh yang biasa ia dengar atau ia harapkan. Hanya ucapan terima kasih yang canggung namun tulus, untuk sebuah kencan yang seharusnya hanya hukuman.

Ia menoleh ke Clara, mencoba menyusun senyum datar dan sikap acuh yang biasa ia pakai sebagai tameng. Tapi kali ini, rasanya sulit. Ada retakan di tameng itu. “Dia yang bayar,” jawab Alyssa pendek, suaranya terdengar jauh bahkan di telinganya sendiri. Ia kembali menatap lukisan abstrak di dinding, fokus pada titik hitam pekat di tengahnya. Pusat kekacauan? Lubang hitam? Atau hanya noda kopi?

Mengapa dia membayar? Pertanyaan itu menggedor pikirannya lebih keras daripada ejekan Clara. Untuk apa? Untuk siapa? Apakah untukku? Atau karena itu memang prinsipnya?

Hatinya berdebar kencang, bukan lagi karena malu yang melumpuhkan, tapi karena kebingungan yang dalam dan rasa penasaran yang mulai tumbuh liar. Satu jam yang awalnya terasa seperti hukuman yang memalukan, berakhir meninggalkan gema yang jauh lebih besar dan pertanyaan yang lebih kompleks daripada yang pernah ia bayangkan. Dan untuk pertama kalinya sejak permainan Callagge dimulai, Alyssa Chandra benar-benar bertanya-tanya, siapa sebenarnya Rei yang tidak menonjol, yang dianggap "invisible" itu? Dan mengapa kencan "hukuman" ini terasa... sama sekali tidak seperti hukuman?