Keesokan harinya, Sekolah Tinggi Permata Bangsa terasa seperti labirin yang dipenuhi oleh bayang-bayang Rei. Setiap sudut yang dilewati Alyssa Chandra seolah memantulkan kenangan memalukan dan pertanyaan yang mengusik. Lorong tempat mereka pertama kali bertatapan malu setelah pengumuman "hukuman" membuatnya mempercepat langkah. Kantin, tempat Rei biasa duduk sendirian di pojok belakang sambil membaca komik dengan kepala tertunduk, kini menarik perhatiannya seperti magnet. Bahkan jendela kelasnya yang menghadap ke lapangan basket—tempat Rei kadang duduk di bangku cadangan, lebih sering memperhatikan awan daripada pertandingan—menjadi pengingat yang tak diinginkan.
Alyssa berusaha keras untuk fokus. Ia mencoba menenggelamkan diri dalam diskusi kelompok Sejarah, dalam obrolan ringan tentang tren fashion terbaru, dalam latihan paduan suara yang membutuhkan konsentrasi tinggi. Namun pikirannya terus melayang ke Sapta Coffee Shop. Ke lukisan abstrak itu. Ke botol air minum yang ditaruh begitu saja. Ke uang yang dibayarkan Rei tanpa ragu. Dan terutama, ke ucapan terima kasihnya yang sederhana namun membekas: “Makasih untuk… kencannya.” Bukan “kalah taruhan, ya?”. Perbedaan kecil itu menggema lebih keras daripada teriakan Clara.
“Jadi gimana beneran, Aly?” tanya Siska tiba-tiba, menyenggokkan tubuhnya ke bahu Alyssa di meja kantin saat jam istirahat. Mereka—Alyssa, Clara, Siska, dan Bima—menguasai meja tengah yang strategis. “Kemarin Clara bilang Rey bayarin minuman? Beneran? Dia punya duit?” Suaranya penuh rasa tidak percaya dan sedikit cemooh.
Clara menyeringai, mengunyah sandwichnya dengan sikap superior. “Iya, gue liat bonnya. Dua puluh delapan ribu. Bayar pake tiga puluh ribu, kembaliannya dua ribu dia masukin dompet. Dompet kulit abal-abal pula.” Ia tertawa pendek. “Kayaknya emang udah disiapin, biar keliatan jantan kali ya? Padahal cuma kencan hukuman.”
Bima menyunggingkan senyum sinis. “Atau mungkin dia emang naksir berat sama Alyssa, kali? Jadi pake modal buat bayarin. Biar Aly kasihan, gitu?”
Alyssa menatap jus jeruknya, jari-jarinya mengetuk gelas plastik dengan gugup. Rasa malu dan kesal yang ia pendam sejak kemarin mulai mendidih lagi. Mereka tidak mengerti—dan memang tidak mau mengerti. Mereka hanya melihatnya sebagai bahan lelucon, permainan mereka yang konyol. Rei hanyalah "Rey si Hukuman", karakter datar dalam drama sosial mereka. Mereka tidak melihat ketenangan itu, ketulusan dalam cerita-cerita kecilnya, gestur sederhana yang justru membuatnya bingung. “Dia cuma bayar biasa aja,” bantah Alyssa, mencoba terdengar datar. “Kayaknya emang kebiasaan dia. Nggak usah dibesar-besarin.”
“Loh, bela-belain?” Siska menyipitkan matanya, penuh kecurigaan. “Jangan-jangan Aly mulai suka sama si ‘hukuman’ setelah kencan satu jam lebih itu?” Tawa riuh mereka pecah, menarik perhatian beberapa siswa di meja sebelah.
Alyssa merasa pipinya terbakar. “Jangan ngaco, Sis! Nggak mungkin! Itu kan cuma…” Kalimatnya terhenti. Cuma hukuman? Kata-kata itu tiba-tiba terasa palsu di mulutnya. Apa yang terjadi di Sapta tidak terasa seperti hukuman. Itu yang paling mengganggunya. “…cuma kewajiban karena kalah taruhan,” akhirnya ia selesaikan, suaranya kehilangan keyakinan.
Clara mengangguk-angguk pura-pura setuju, tapi matanya berbinar licik. “Iya, iya. Kewajiban. Yang penting udah kelar. Gue sih nggak nyangka lo betah sampe sejam. Gue kira lo paling cuma 15 menit, ngasih alesan palsu, trus kabur.” Ia menepuk pundak Alyssa. “Mungkin lo emang terlalu baik, Aly. Atau mungkin Rey ini lebih ngeselin dari yang kita kira, sampe lo nggak sempet nyari alesan buat kabur!” Tawa mereka kembali bergulir.
Alyssa menarik napas dalam, menahan emosi. Ia ingin berteriak bahwa Rei tidak ngeselin. Bahwa Rei bahkan… menarik dengan caranya yang aneh dan tenang itu. Tapi ia tidak bisa. Mengakuinya di depan mereka berarti membuka diri menjadi bahan olok-olok yang lebih kejam dan panjang. Ia menunduk, memaksakan senyum tipis, berusaha ikut tertawa seolah setuju dengan lelucon mereka. Rasanya seperti mengunyah pecahan kaca.
Saat itulah, dari sudut matanya, ia melihat sosok itu muncul dari balik rak majalah dekat pintu kantin. Rei. Dia berjalan menyusuri tepi ruangan, menghindari keramaian meja tengah, menuju tempat duduk favoritnya di pojok paling belakang. Seperti biasa, kepala agak tertunduk, wajah tanpa ekspresi. Tapi kali ini, di tangannya, bukan komik mainstream yang biasa ia baca.
Alyssa menyipitkan mata. Sampul komik itu berwarna-warni cerah, penuh coretan tebal dan bentuk abstrak yang saling tumpang tindih. Gaya gambarnya… Sangat familiar. Terlalu familiar. Persis seperti lukisan di dinding Sapta Coffee Shop! Coretan merah, biru, kuning, dan titik hitam yang menjadi pusatnya, meski dengan komposisi yang berbeda. Jantung Alyssa berdebar kencang. Komik indie? Rei kemarin memang sempat menyebutkan minatnya pada komik indie yang jarang dikenal.
Rei melewati meja mereka tanpa sedikit pun menoleh, seolah mereka adalah bagian dari dinding. Fokusnya tertuju pada komik di tangannya dan kursi tujuan di pojok ruangan. Tapi bagi Alyssa, seluruh dunia seolah melambat. Ia melihat detail sampul itu. Energi liar dari goresannya. Keberanian penggunaan warna. Layers—kata itu tiba-tiba muncul di benaknya. Ini pasti karya yang sama!
Sebelum otaknya sempat memproses konsekuensinya, sebelum rasa malu atau pertimbangan sosial bisa menghentikannya, kata-kata itu meluncur dari mulut Alyssa, lebih keras dari yang ia rencanakan, memotong tawa Siska yang sedang mengoceh:
“Apa judulnya?”
Suara itu, jelas dan penuh rasa ingin tahu, menggantung di udara kantin yang riuh. Tawa kelompok itu terhenti seketika. Clara, Siska, dan Bima membelalak ke arah Alyssa, lalu ke arah Rei yang baru saja melewati mereka, dengan ekspresi campuran kaget, tidak percaya, dan… hiburan. Beberapa siswa di meja terdekat juga menoleh, penasaran dengan interaksi tak terduga itu.
Rei berhenti, langkahnya terpaku. Perlahan, ia menoleh ke arah suara itu. Matanya—biasanya datar atau menghindari kontak—kali ini menatap langsung ke Alyssa. Ada kejutan samar di matanya, kilatan sesuatu yang bukan ketidakpedulian, sebelum kembali tertutup oleh ketenangan. Tatapannya bertanya, menelusuri wajah Alyssa seolah memastikan bahwa pertanyaan itu memang ditujukan padanya.
Kesunyian yang tegang menyelimuti meja mereka. Clara membuka mulut, mungkin untuk mengejek, tapi Alyssa tidak peduli. Semua perhatiannya tertuju pada Rei dan komik di tangannya. Rasa penasarannya membara, mengalahkan rasa malu, mengalahkan kehadiran teman-temannya yang sedang menatapnya seolah ia baru saja bertumbuh tanduk.
Rei memandangnya beberapa detik yang terasa seperti abad. Lalu, suaranya yang tenang namun jelas terdengar di keheningan itu:
“‘Layers’.”
Hanya satu kata. Tapi diucapkan dengan nada yang berbeda dari kesehariannya yang datar. Ada semacam… kehangatan kecil, atau kebanggaan tersembunyi, saat mengucapkan judul itu.
Alyssa menunggu dengan napas tertahan. Hanya itu?
Rei memandang komik di tangannya, lalu kembali ke Alyssa. “Tentang…” Ia berhenti sejenak, seolah mencari kata yang tepat. “…warna-warna yang bersembunyi di balik permukaan.”
Warna-warna yang bersembunyi di balik permukaan. Kalimat itu menggema di benak Alyssa, jauh lebih dalam dari sekadar deskripsi komik. Ia seperti pukulan halus. Apakah ini tentang karakter dalam komiknya? Atau… tentang dirinya? Tentang Rei sendiri? Tentang bagaimana semua orang di sekolah ini, termasuk Alyssa dan teman-temannya, hanya melihat "permukaan"-nya yang biasa, tidak mencolok, "Rey si Hukuman", tanpa pernah mencoba melihat "warna-warna" apa yang mungkin bersembunyi di dalam?
Sebelum Alyssa bisa bertanya lebih lanjut, atau sebelum Clara bisa menyela dengan komentar sarkastik, Rei sudah mengangguk sangat halus—hampir tidak kentara—lalu berbalik. Dia melanjutkan langkahnya menuju kursi pojoknya, meninggalkan Alyssa dengan tatapan takjub, kebingungan, dan rasa penasaran yang membara seperti api yang baru saja disulut.
“LAYERS?” Clara akhirnya memecah kesunyian, suaranya nyaring dan penuh ejekan. “Apaan tuh? Komik sampah?” Ia memelototi Alyssa. “Dan lo, Aly? Ngapain lo nanya-nanya gitu? Mau lanjutin ‘kewajiban’ kencan kemarin? Jangan-jangan beneran kesamber pocong si Rey?”
Siska terkikik. “Iya, Aly! Lo tadi mukanya serius banget! Kayak penasaran beneran!”
Bima menambahkan, “Atau jangan-jangan ini strategi Rey? Pura-pura cool, bawa komik aneh, biar lo penasaran? Wah, jago juga dia kalau gitu!”
Namun ejekan mereka kali ini hanya menjadi suara latar yang jauh bagi Alyssa. Pikirannya dipenuhi oleh judul komik itu: Layers. Dan penjelasan singkat Rei. Warna-warna yang bersembunyi di balik permukaan. Ia melihat Rei yang sudah duduk di pojok, membuka komik itu, sepenuhnya mengabaikan keributan di meja tengah. Dia terlihat… tenang. Terisolasi, tapi nyaman dalam isolasinya. Seperti sebuah pulau kecil yang damai di tengah lautan keramaian yang ribut dan penuh penilaian.
“Aly? Aly! Dengerin nggak sih?” tangan Clara mengibas di depan wajahnya.
Alyssa menoleh, memaksakan senyum yang ia tahu tidak meyakinkan. “Denger, kok. Cuma bingung aja. Judulnya aneh.” Tapi di dalam hatinya, sebuah keputusan telah bulat. Ia tidak peduli dengan ejekan mereka. Ia tak peduli pada ejekan mereka, tak peduli pada aturan tak tertulis Callagge. Ia tidak peduli apakah ini "strategi" Rei atau tidak (dan nalurinya mengatakan itu bukan).
Ia harus menemukan komik ‘Layers’ itu.
Rasa penasaran yang membara itu lebih kuat dari segalanya. Ia ingin tahu apa yang dilihat Rei dalam komik itu. Ia ingin tahu apa arti "warna-warna yang bersembunyi di balik permukaan". Apakah ini kunci untuk memahami Rei? Apakah ini kunci untuk memahami perasaan aneh dan kebingungan yang menggelisahkannya sejak kemarin?
Saat bel masuk berbunyi, Alyssa berdiri bersama yang lain. Tapi sementara mereka masih mengoceh tentang Rei dan "kencan gagal", pikirannya Alyssa sudah melesat jauh. Ke toko komik langganan di mal dekat sekolah. Ke forum online pecinta komik indie. Ke perpustakaan kota. Ke mana saja. Ia akan mencari Layers. Ia perlu mencari Layers.
Saat berjalan menyusuri koridor menuju kelas, pandangannya sekali lagi tertarik ke arah kantin. Rei masih di sana, terbenam dalam komiknya, seolah dunia luar tidak ada. Alyssa menatapnya, kali ini bukan dengan rasa malu atau enggan, tapi dengan tekad yang baru.
Warna-warna apa yang kau sembunyikan, Rei? pikirnya. Dan apa yang ada di balik permukaanmu yang tenang itu?
Pertanyaan itu, dan keinginan untuk menemukan komik itu, adalah satu-satunya hal yang jelas di tengah kebingungannya. Permainan Callagge mungkin mempertemukan mereka, tapi sesuatu yang lain—sesuatu yang dimulai dengan lukisan abstrak dan dipertajam dengan sebuah komik indie bernama Layers—kini menarik Alyssa masuk lebih dalam. Dan untuk pertama kalinya, ia tidak berusaha melawan tarikan itu.