Di Balik Permukaan

Pencarian Alyssa Chandra akan Layers berubah menjadi obsesi kecil yang terus menggerogoti pikirannya sepanjang hari. Setelah sekolah, ia menolak ajakan Clara dan Siska untuk nongkrong di mall, mengaku ada tugas paduan suara mendesak. Alih-alih ke ruang musik, ia menuju warnet dekat sekolah. Pencarian online-nya sia-sia. Layers terlalu indie, terlalu niche. Tak ada di toko online besar, hanya muncul di forum-forum gelap pecinta komik alternatif dengan diskusi singkat dan pujian samar: "Visual mind-blowing!", "Ceritanya dalem banget.", "Limited print, susah dapet."

Kata-kata terakhir itu membuatnya hampir menyerah. Tapi bayangan Rei yang tenang membacanya di pojok kantin, dan penjelasannya yang misterius—"warna-warna yang bersembunyi di balik permukaan"—mendorongnya terus mencari. Esoknya, ia menyisir toko-toko komik di pusat perbelanjaan dekat sekolah. Toko-toko besar hanya menyediakan manga populer dan superhero. Petugas toko hanya menggeleng saat mendengar judul Layers.

“Coba cari ke Omah Komik, Mbak,” saran seorang penjaga toko ramah saat Alyssa hampir putus asa di toko kelima. “Dia di gang kecil belakang pasar buku bekas. Toko kecil, banyak jual komik indie sama karya lokal. Kalo nggak ada di sana, ya susah.”

Petunjuknya samar, tapi itulah satu-satunya harapan. Dengan bantuan peta di ponsel, Alyssa menyusuri gang sempit berdebu di belakang pasar buku bekas yang ramai. Bau kertas tua dan sampah basah memenuhi udara. Ia hampir melewatkannya: sebuah pintu kayu lapuk dicat biru pudar, dengan papan nama kecil bertuliskan "Omah Komik" dalam huruf-huruf tangan. Sebuah gambar stiker karakter robot abstrak menempel di jendela kotor.

Dengan jantung berdebar (dan sedikit was-was), Alyssa mendorong pintu. Sebuah bel kecil berbunyi cling.

Suasana di dalam kontras dengan gang yang kumuh. Toko itu kecil, berantakan tapi nyaman. Rak-rak kayu penuh sesak dengan komik, grafis novel, dan zine dari berbagai penjuru dunia. Poster-poster seni indie menempel di dinding yang catnya mengelupas. Udara berbau campuran kertas tua, tinta, dan minyak kayu putih. Di belakang meja kasir kecil, seorang pria paruh baya berambut gondrong yang mulai memutih dan berkacamata tebal sedang menyolder sesuatu yang kecil di atas meja kerja berantakan penuh perkakas dan komponen elektronik.

“Silakan lihat-lihat dulu, ya,” ucapnya tanpa menoleh, suaranya serak namun ramah. “Kalau nyari sesuatu spesifik, bilang aja.”

Alyssa menghela napas, memberanikan diri. “Saya cari komik judulnya Layers, Pak. Karya…” Ia ragu, tak tahu nama kreatornya.

Pria itu—Pak Didi, menurut nama yang tertera di meja—langsung menoleh, kacamatanya melorot ke ujung hidung. Matanya yang sipit di balik lensa tebal menyorotkan kejutan dan… pengakuan? “Layers? Yang sampulnya abstrak gitu? Coret-coretan merah biru kuning?”

“Iya! Itu, Pak!” harapan Alyssa melonjak.

Pak Didi mengangguk pelan, berdiri. Tubuhnya tinggi tapi sedikit bungkuk. Ia berjalan ke rak paling ujung, dekat jendela kecil yang berdebu. Tangannya yang penuh noda tinta meraba-raba deretan komik dengan akrab. “Bukan sembarang orang yang nyari ini, nih,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. Akhirnya, ia mengeluarkan satu eksemplar. Sampulnya persis seperti yang dibawa Rei: ledakan warna abstrak dengan titik hitam yang intens di tengah. Judul LAYERS terpampang tipis di sudut kiri atas. “Ini. Cetakan terakhir. Cuma dapet lima eksemplar aja waktu itu.” Ia menyodorkannya ke Alyssa.

Alyssa memegangnya seperti benda berharga; kertasnya tebal, kualitas cetaknya bagus. Ia membuka halaman pertama—visualnya liar, ekspresif, penuh metafora visual yang langsung menarik. “Berapa, Pak?” tanyanya bersemangat, meraih dompet.

Pak Didi tidak langsung menjawab. Ia memandang Alyssa dengan lebih cermat, matanya berbinar penuh pertanyaan. “Kamu… temannya Rei, ya?”

Alyssa tersentak. “Rei? Rei yang sekolah di Permata Bangsa? Iya, Pak. Kenapa?” Jantungnya berdegup kencang.

Senyum lebar merekah di wajah Pak Didi, membuat keriput di sudut matanya semakin jelas. “Wah! Pantas saja! Rei tuh pelanggan setia sini. Sering bantu-bantu juga.” Ia berjalan kembali ke mejanya, membersihkan tempat duduk berdebu di seberang untuk Alyssa. “Duduk, duduk. Komiknya nggak kemana.”

Penasaran mengalahkan keinginan segera pulang. Alyssa duduk.

“Rei itu,” Pak Didi mulai, matanya berkaca-kaca mengenang, “pertama kali dateng ke sini mungkin setahun lalu? Nggak sengaja nyasar, kayaknya. Tapi langsung ketarik sama komik-komik indie gini, yang visualnya nggak biasa, ceritanya nggak mainstream.” Ia menunjuk rak. “Dia pelan-pelan beli, baca di sini kadang. Suka diskusi juga, meski cuma lewat anggukan atau senyum tipis.”

Alyssa mencoba membayangkan Rei duduk di bangku kecil itu, terbenam dalam dunia gambar dan cerita, jauh dari hiruk-pikuk sekolah. Dunia yang tak pernah ia duga.

“Nah, Layers ini,” Pak Didi mengetuk sampul komik di tangan Alyssa, “pas baru dateng, Rei langsung bilang, ‘Bagus, Pak. Sampulnya bercerita.’ Aku sendiri sih waktu itu belum baca isinya.” Ia tertawa kecil. “Terus, beberapa bulan lalu, ada temenku, seniman lokal, mau nerbitin komik pendek. Bingung cari desain sampul. Kebetulan Rei lagi di sini. Aku ajak ngobrol, kasih liat konsep komiknya. Rei diam aja, dengerin. Abis itu, dia ambil kertas coret-coretan, gambar sketsa kasar… persis gaya sampul Layers ini! Coretan abstrak, warna kontras, titik pusat. Temenku langsung suka! Akhirnya sampulnya diolah dari ide Rei itu.” Matanya berbinja bangga. “Rei nggak mau namanya dicantumin, sih. Cuma seneng bisa bantu.”

Alyssa terdiam, memproses informasi itu. Rei merancang sampul? Pikiran itu sulit dicerna. Rei yang di sekolah hanya dikenal sebagai "si biasa-biasa saja", "si hukuman", ternyata punya pemahaman seni yang dalam? Punya ide kreatif yang dihargai seniman sungguhan? Warna-warna yang bersembunyi di balik permukaan… Kalimat Rei di kantin tiba-tiba punya dimensi baru yang lebih dalam. Itu bukan cuma tentang komiknya. Itu juga tentang dirinya sendiri.

“Dia pendiem banget, ya?” lanjut Pak Didi, seolah membaca pikiran Alyssa. “Tapi kalau udah ngomongin seni, cerita, atau hal-hal kecil yang orang lain lewatin… matanya nyala. Dia liat hal yang nggak semua orang liat. Kaya… kaya dia bisa liat lapisan di balik permukaan biasa. Makanya cocok banget sama judul Layers itu.” Ia menghela napas. “Sayang, di sekolahnya kayanya nggak ada yang ngeliat itu. Dia kesannya selalu sendirian.”

Perasaan campur aduk membanjiri Alyssa: kagum, penasaran, dan… sedikit rasa bersalah. Ia termasuk orang yang tidak melihat. Yang hanya melihat "permukaan" Rei. Yang ikut dalam permainan yang menjadikannya lelucon. “Iya, Pak,” bisiknya, memandangi sampul Layers di tangannya. “Di sekolah… dia emang nggak terlalu menonjol.”

“Nggak menonjol, atau orangnya aja yang nggak mau liat?” tanya Pak Didi lembut, namun menusuk. Ia berdiri. “Nah, buat kamu yang nemu toko ini dan nyari Layers, apalagi temennya Rei… harga spesial. Lima puluh ribu aja.”

Alyssa membayar dengan senang hati, bukan cuma untuk komiknya, tapi untuk cerita di baliknya. Ia meninggalkan Omah Komik dengan Layers erat di genggaman dan hati yang bergetar oleh rasa ingin tahu baru tentang Rei yang tak terduga

***

Rei menyadari sesuatu yang berbeda.

Biasanya, ia adalah hantu di sekolah Permata Bangsa—dilihat tapi tidak benar-benar dilihat. Tapi sejak "kencan" di Sapta dan kejadian di kantin, ia merasakan sepasang mata yang mengikutinya. Mata Alyssa Chandra.

Tapi ini berbeda. Bukan tatapan iseng, bukan tatapan memalukan seperti saat pertama kali mereka bertatapan di koridor setelah pengumuman hukuman Callagge. Bukan juga tatapan penuh tawa Clara dan teman-temannya. Ini… tatapan penuh rasa ingin tahu. Tajam, penuh perhatian, seperti seseorang yang sedang memecahkan teka-teki.

Ia melihatnya di perpustakaan saat ia mengambil buku seni rupa—Alyssa pura-pura membaca majalah di rak seberang. Ia merasakannya di lorong saat ia berjalan ke kelas olahraga—Alyssa sedang mengobrol dengan temannya tapi matanya menyapu ke arahnya. Bahkan di kantin, saat ia membaca Layers lagi, ia bisa merasakan tatapan itu dari meja tengah, menembus keriuhan.

Awalnya ia merasa tidak nyaman. Apakah ini permainan baru Callagge? Hukuman lanjutan? Tapi ada sesuatu di dalam tatapan Alyssa yang terasa… tulus. Tidak ada niat jahat. Hanya keingintahuan murni. Dan itu membuatnya bingung. Tidak ada yang pernah benar-benar penasaran padanya sebelum ini. Mereka hanya penasaran pada reaksinya, pada lelucon yang bisa mereka dapatkan.

Ia tidak menghindar. Tidak berusaha lebih menyembunyikan diri. Jika Alyssa ingin melihat, biarkan dia melihat. Ia tetap menjalani rutinitasnya: duduk di pojokan, membaca komik atau buku, memandang awan, pulang tepat waktu. Tapi di dalam, ada sesuatu yang bergetar kecil. Rasa ingin tahu balik. Apa yang dia cari? Apa yang dia lihat?

***

Malam itu, di kamarnya yang tenang setelah ibu dan adiknya tidur, Alyssa membuka Layers. Ia menyalakan lampu meja, menyiapkan segelas air, dan mulai membaca.

Ceritanya bukan narasi linear; ini sebuah perjalanan metaforis, visual, dan emosional. Mengisahkan tentang sebuah "Topeng"—entitas tanpa wajah yang terbuat dari potongan-potongan kaca berwarna-warni, berkilauan dan memikat, hidup di dunia di mana semua orang hanya melihat permukaan kilauannya. Topeng itu populer, dikagumi, tapi hampa dan kesepian. Suatu hari, Topeng itu tersesat di "Hutan Lapisan", tempat segala sesuatu memiliki banyak permukaan, banyak warna di balik tampilan luarnya. Di sana, ia bertemu "Batu yang Berbicara" (sebenarnya gundukan lumut dan akar yang hidup), "Sungai yang Diam" (air yang bergerak lambat, menyimpan cerita-cerita kuno di dasarnya), dan "Cahaya yang Tersembunyi" (kunang-kunang yang hanya bersinar di kegelapan sejati).

Melalui interaksi dengan mereka, Topeng itu perlahan belajar melihat. Bukan hanya permukaan kilauan kacanya sendiri, tetapi lapisan-lapisan di bawahnya: ketakutan Batu yang Berbicara akan perubahan, kesedihan Sungai yang Diam yang terlupakan, keberanian Cahaya yang Tersembunyi untuk bersinar di tempat gelap. Proses melihat ini menyakitkan bagi Topeng. Kaca-kacanya mulai retak karena ia tidak lagi hanya memantulkan cahaya, tetapi mencoba menyerapnya, memahaminya. Saat kacanya retak, terlihatlah warna-warna lain yang selama ini tersembunyi di dalamnya—warna-warna yang lebih dalam, lebih kaya, lebih… asli. Bukan lagi kilauan semu, tetapi cahaya yang berasal dari dalam.

Cerita berakhir bukan dengan Topeng kembali ke dunianya yang penuh permukaan, tetapi memilih tinggal di Hutan Lapisan, kacanya retak-retak memperlihatkan warna dalamnya, belajar melihat dan dilihat apa adanya. Panel terakhir adalah gambar close-up 'mata' Topeng—mosaik retakan kaca berwarna-warni, dan di baliknya, sepasang mata manusia yang hangat dan penuh keingintahuan.

Alyssa menutup komik, air matanya tanpa sadar menetes. Ia bukan menangis karena sedih, tapi karena terkena. Cerita itu adalah cermin. Cermin untuk Rei—tenang di permukaan, penuh kedalaman di dalamnya—tapi juga cermin untuk dirinya sendiri. Apakah ia hanya sebuah "Topeng"? Populer, dikagumi, tapi hidup di permukaan? Terbuat dari kaca-kaca harapan orang lain, ekspektasi sosial, citra yang harus dijaga? Apakah kilaunya hanya pantulan, bukan cahaya asli?

Dan Rei… Rei sudah melihat lapisannya. Di kafe, dia melihat lebih dari sekadar "Alyssa Chandra si populer". Dia melihat ketakutannya, ketulusannya saat bercerita tentang nenek, kebingungannya. Dia melihat lapisan-nya. Dan dia menerimanya. Dengan ketenangan, dengan botol air minum, dengan ucapan terima kasih untuk "kencan" itu.

Pertanyaan yang menggelisahkan sejak Sapta kini menemukan jawabannya, sekaligus menimbulkan lebih banyak pertanyaan. Tapi satu hal yang jelas: ia tidak bisa berpura-pura tidak tahu lagi. Tidak bisa kembali ke permukaan.

Dengan tekad baru, Alyssa mengambil ponselnya. Ia tidak punya nomor Rei. Tapi ia tahu satu tempat Rei mungkin berada saat jam pulang sekolah, berdasarkan cerita Rei di kafe dan cerita Pak Didi: taman kecil di belakang perpustakaan kota, tempat sepi yang bagus untuk berpikir.

***

Sinar matahari sore menyapu taman kecil itu, menyoroti debu-debu yang menari di udara. Rei duduk di bangku kayu tua di bawah pohon beringin besar, Layers terbuka di pangkuannya, tapi matanya menatap jauh ke arah kolam kecil di depannya, tempat seekor koi merah sesekali muncul ke permukaan. Pikirannya pada komik, pada Alyssa, pada rasa aneh yang mulai tumbuh sejak kencan itu.

Langkah kaki di kerikil membuatnya menoleh.

Alyssa Chandra berdiri di ujung jalan setapak, beberapa meter darinya. Rambutnya sedikit berantakan tertiup angin, wajahnya serius, tanpa senyum sosial yang biasa ia kenakan. Di tangannya, erat digenggam, adalah eksemplar Layers-nya sendiri. Mata mereka bertemu. Tidak ada kata-kata. Hanya tatapan yang dalam, penuh pengakuan, penuh hal-hal yang belum terucap.

Angin sore berhembus, membawa daun-daun kering berputar. Alyssa mengambil langkah pertama, lalu langkah berikutnya, mendekati bangku. Hatinya berdebar kencang, tapi tekadnya lebih kuat. Ini bukan tentang Callagge. Ini bukan tentang permukaan.

Ia berhenti di depan Rei, yang sekarang berdiri, wajahnya tenang tapi matanya memancarkan kejutan dan pertanyaan yang dalam.

Alyssa mengangkat komik Layers di tangannya. Matanya, biasanya penuh percaya diri, kini jujur menunjukkan kebingungan, kerentanan, dan… harapan.

“Bisakah kita bicara?” suaranya sedikit gemetar, tapi jelas. “Tentang ini.” Ia menunjuk komiknya. “Tentang… semuanya.”

Rei memandangnya. Memandang komik itu. Memandang mata Alyssa yang tidak lagi menyembunyikan lapisan di balik topangannya. Ia melihat warna-warna yang bersembunyi. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, sebuah senyuman kecil yang hangat dan nyata—bukan kerutan bibir samar—muncul di wajahnya.

“Ya,” jawabnya, suaranya lembut tapi pasti. “Aku juga ingin.”

Ia menggeser badannya, memberi ruang di bangku kayu tua itu. Sebuah undangan. Sebuah awal baru, jauh di balik permukaan permainan konyol bernama Callagge.