Keberanian untuk Retak

Udara sore di taman belakang perpustakaan kota terasa berbeda setelah kata-kata itu. “Bisakah kita bicara? Tentang ini. Tentang… semuanya.” Dan jawaban Rei yang sederhana namun menggetarkan: “Ya. Aku juga ingin.”

Bangku kayu tua di bawah beringin besar menjadi saksi bisu. Awalnya, kebisuan yang pekat menyelimuti mereka. Bukan kebisuan canggung seperti di Sapta Coffee, tapi kebisuan penuh beban yang siap diungkap. Alyssa memeluk Layers di pangkuannya, seolah itu perisai. Rei menatap ke arah kolam, di mana koi merah itu muncul lagi, membuka

mulutnya seolah menghirup udara sebelum kembali menyelam ke kedalaman.

“Aku… aku baca Layers semalam,” Alyssa akhirnya memecah kesunyian, suaranya lirih. “Itu… luar biasa. Dan… menyakitkan.” Ia menoleh ke Rei. “Aku merasa seperti Topeng itu. Terbuat dari kaca. Hanya memantulkan apa yang orang ingin lihat.”

Rei mengangguk pelan, matanya masih menyisir permukaan air kolam. “Tapi Topeng itu akhirnya berani retak,” ujarnya, suaranya tenang seperti air itu sendiri. “Itu hal tersulit. Melihat ke dalam, dan membiarkan orang lain melihat ke dalam.”

Kalimat itu seperti belati kecil bagi Alyssa. Ia menarik napas dalam. “Di Sapta… saat kau bercerita tentang lukisan, tentang burung gereja, tentang sudut sepi… dan saat kau mendengarku… itu seperti kau melihat retakan di kacaku. Sebelum aku sendiri menyadarinya.” Pipinya memerah. “Dan itu membuatku takut. Tapi juga… lega.”

Rei akhirnya menoleh, memandangnya. Tatapannya tidak menghakimi, hanya menerima. “Kau mudah dilihat, Alyssa,” ujarnya. “Karena kau penuh warna. Bahkan di balik kilau kacanya.” Sebuah pujian yang tulus, tanpa pretensi.

Pujian itu menghangatkan dada Alyssa. Tapi ia ingin lebih—ia ingin memahami pria tenang di sebelahnya. “Dan kau? Batu yang Berbicara? Cahaya yang Tersembunyi?” tanyanya, mengutip karakter dari Layers.

Senyum kecil yang getir muncul di bibir Rei. “Mungkin lebih ke tembok kosong yang dicoret-coret orang seenaknya,” jawabnya, suaranya datar tapi menyimpan luka lama. “Sejak kecil, aku… biasa sendiri. Orangtuaku sibuk bertahan hidup. Pindah sekolah sering. Aku nggak jago masuk kelompok. Lebih nyaman ngamat-ngamatin orang, baca komik, gambar coretan nggak jelas.” Ia menunduk, memainkan ujung ranselnya yang tergeletak di tanah. “Pas SMP, pertama kali jadi bahan bully gara-gara nilai olahraga jelek. Waktu itu sakit. Tapi makin dibully, makin aku belajar buat nutup diri. Kalo nggak kasih reaksi, mereka capek sendiri. Jadi… ya. Aku jadi tembok. Biarin aja dicoret. Yang penting nggak tembus ke dalam.”

Cerita sederhana itu menusuk hati Alyssa dalam-dalam. Ia membayangkan Rei kecil, pendiam, terasing, membangun tembok tinggi untuk melindungi dirinya yang rapuh. Dan strateginya bekerja—tapi dengan harga yang mahal: isolasi, cap "si biasa-biasa saja", dan peran tragis sebagai "Raja Hukuman" Callagge.

“Tapi kau bukan tembok kosong, Rei,” bantah Alyssa, suaranya bergetar penuh keyakinan. “Di dalam kau penuh… lapisan. Seperti di Layers. Kau melihat lukisan dan ceritanya. Kau merancang sampul komik! Kau perhatikan detail kecil yang orang lain lewatkan. Itu… itu spesial.”

Rei terdiam. Matanya berkaca-kaca, namun ia cepat mengalihkan pandangan ke kolam lagi. Pernahkah ada yang mengatakan hal seperti itu padanya? Pernahkah ada yang melihat kelebihan-nya, bukan hanya kekurangan atau ke-"biasa"-annya?

“Dan aku?” lanjut Alyssa, suaranya kecil. “Aku… lelah jadi Topeng. Jadi ‘Alyssa Chandra’ yang harus selalu cerdas, selalu cantik, selalu populer, selalu sesuai ekspektasi orang tua, guru, bahkan teman-teman sekelompok.” Ia memeluk *Layers* lebih erat. “Kencan Callagge itu awalnya neraka bagiku. Tapi… di Sapta, saat kau tidak mengharapkan apa pun dariku, tidak memujaku, hanya… melihat aku… itu pertama kalinya aku merasa… cukup. Bahkan dengan retakannya.”

Air mata akhirnya menetes di pipinya, bukan karena sedih, tapi karena pelepasan. Ia membiarkannya. Di depan Rei, di bangku tua ini, di bawah pohon beringin yang teduh, ia merasa aman untuk retak, untuk menunjukkan warna aslinya di balik kaca.

Rei tidak berkata apa-apa. Tapi perlahan, sangat hati-hati, tangannya bergerak. Bukan untuk menyentuh, tapi mengambil botol air minum dari ranselnya—botol yang sama seperti di Sapta. Ia meletakkannya dengan lembut di bangku kayu, di ruang kecil antara mereka.

“Kalau perlu,” ujarnya, suaranya serak. “Airnya masih dingin.”

Gestur kecil yang sama, sinyal yang sama: Aku di sini. Aku melihatmu. Aku tidak takut dengan retakanmu. Alyssa tersenyum di balik air matanya, mengambil botol itu. Kali ini, ia meneguknya langsung. Air dingin itu terasa seperti penyegar jiwa.

Percakapan pun mengalir lebih dalam dan lebih jujur dari yang pernah mereka bayangkan. Mereka berbicara tentang ketakutan, tentang mimpi yang tersembunyi (Alyssa tentang belajar desain grafis, Rei tentang membuat komiknya sendiri), tentang tekanan dan kesepian yang mereka rasakan meski dalam bentuk yang sangat berbeda. Matahari sore semakin rendah, menciptakan bayangan panjang dan suasana keintiman yang rapuh namun indah di taman sepi itu.

***

Seperti kabar buruk, gosip menyebar cepat di ekosistem SMA Permata Bangsa. "Alyssa Chandra dan Rey si Hukuman terlihat ngobrol mesra di taman belakang perpus kota!" "Katanya lebih dari sejam!" "Alyssa keliatan baca komik aneh, kayak punya Rey!"

Gosip itu sampai ke telinga Clara dengan kecepatan cahaya. Dan reaksinya bisa ditebak: murka.

Ia menyergap Alyssa di depan loker keesokan harinya, wajahnya merah padam, mata menyipit penuh amarah dan ketidakpercayaan. “Aly, SERIUSAN LO?!” teriaknya, membuat beberapa siswa di dekatnya menoleh. “Kemarin nongkrong berdua sama si hukuman di taman? Setelah kencan konyol di Sapta? Lo nggak cukup malu sekali, ya? Sekali lagi? Apa yang lo pikirin?!”

Alyssa mencoba tenang, menutup lokernya dengan perlahan. “Kami cuma ngobrol, Clara. Bukan urusan siapa-siapa.”

“BUKAN URUSAN?!” Clara mendesak, napasnya memburu. “Lo itu Alyssa Chandra! Lo bagian dari kita! Tau nggak gimana orang ngomongin lo? Tau nggak geng kita keliatan kayak apa kalo lo deket-deketan sama si nerd nge-boom itu? Lo ngerusak reputasi kita semua, Aly! Ngerusak reputasi lo sendiri!” Ia menunjuk-nunjuk ke arah lorong, seolah Rei ada di sana. “Itu cowok cuma hukuman, Aly! Lelucon! Buat ditertawain, bukan buat diajak ngobrol mesra!”

Kata-kata Clara tajam dan kejam, mencerminkan betapa terancamnya hierarki sosial mereka oleh tindakan Alyssa. Bagi Clara, ini bukan hanya tentang Alyssa dan Rei; ini tentang aturan tak tertulis yang dilanggar, tentang tembok pemisah antara "mereka" (yang populer, elit) dan "dia" (si tidak menarik, si hukuman) yang hendak diruntuhkan.

Alyssa menatap Clara, teman yang dianggapnya dekat. Ia melihat ketakutan di balik kemarahan itu. Ketakutan akan perubahan. Ketakutan akan ketidakpastian. Tapi setelah kemarin, setelah percakapan jujur di taman, topeng Alyssa sudah terlalu banyak retak untuk bisa disatukan kembali hanya demi kenyamanan kelompok.

“Dia bukan lelucon, Clara,” kata Alyssa, suaranya tenang tapi berisi baja. “Dan aku nggak peduli apa kata orang.”

Clara terbelalak, seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Lo… lo gila ya? Atau dia nyihir lo? Nggak mungkin Alyssa Chandra bilang gitu!”

“Mungkin kalian nggak pernah benar-benar kenal aku,” balas Alyssa, mengambil tasnya. “Aku ada latihan paduan suara.” Ia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Clara yang terbengong-bengong dan marah di depan loker.

***

Tekanan tidak hanya datang ke Alyssa. Rei merasakan getarannya.

Iwan, satu-satunya teman yang bisa dibilang "dekat" dengannya (meski hubungan mereka lebih ke teman sekelas yang nyaman diam bersama), menghampirinya di kantin saat Rei sedang menunggu pesanan nasi bungkusnya. Wajah Iwan penuh keprihatinan.

“Rei… gue denger-denger nih,” Iwan memulai, suaranya rendah. “Katanya lo kemarin lama banget sama si Alyssa Chandra di taman? Beneran lo?”

Rei mengangguk, tidak berusaha menyangkal. “Iya. Kami ngobrol.”

“Ngobrol?” Iwan mengangkat alis. “Loe ama dia? Alyssa Chandra? Cewek paling populer sekaligus paling nyebelin itu?” Ia menggeleng-geleng. “Rei, lo nggak takut? Ini bisa jadi jebakan baru, kali. Atau… atau dia iseng aja? Abis ngerjain lo di Sapta, lanjut di taman? Loe nggak takut diejek lebih parah? Nanti makin jadi bulan-bulanan Callagge!”

Kekhawatiran Iwan tulus. Ia melihat Rei sebagai teman, dan ia takut Rei akan terluka lebih dalam. Dunia Rei yang tenang sudah terganggu oleh badai bernama Alyssa Chandra.

Rei memandang Iwan. Ia mempertimbangkan kata-katanya. Ketakutan itu ada. Trauma menjadi bulan-bulanan itu nyata. Tapi… ingatannya pada sore kemarin, pada air mata Alyssa yang jujur, pada kata-katanya yang mengakui kelelahan menjadi "Topeng", pada rasa percaya yang rapuh namun nyata yang mereka bangun—itu semua terasa lebih kuat.

“Aku nggak tahu apa ini jebakan atau nggak, Wan,” jawab Rei jujur. “Tapi… di taman itu, dia nggak pake topeng. Aku juga nggak pake tameng. Itu… bener.” Ia mengambil nasi bungkusnya yang sudah dibungkus. “Kalau nanti diejek lagi… mungkin aku udah lebih siap.”

Iwan memandang Rei dengan ekspresi campuran kagum dan khawatir. “Loe beda, Rei. Beneran beda sejak kencan konyol itu.”

Rei hanya mengangkat bahu, tapi di dalam, ia tahu Iwan benar. Sesuatu telah berubah.

***

Puncak tekanan terjadi di kantin saat jam istirahat berikutnya. Alyssa masuk bersama Clara, Siska, dan Bima. Suasana tegang. Clara masih cemberut, sengaja bicara keras tentang "orang yang sok beda" dan "ngerusak pertemanan". Siska dan Bima ikut menyemangati, melemparkan sindiran tajam tentang "kencan hukuman fase dua".

Rei sudah duduk di pojok favoritnya, mencoba fokus pada komik barunya, tapi bahu yang sedikit tegang menegaskan ia menyadari tatapan dan bisikan.

Alyssa merasakan amarah dan kekecewaan mendidih. Ini tidak adil. Untuk Rei. Untuk dirinya sendiri. Untuk percakapan jujur mereka di taman. Ia melihat kelompoknya memilih meja tengah, jauh dari Rei. Ia melihat Clara menarik kursi untuknya dengan sikap menuntut.

Tapi Alyssa berhenti. Ia memandang Rei yang sendirian di pojok. Ia memandang meja tengah yang penuh dengan tawa palsu dan tekanan sosial. Ia memandang botol minum di tangannya.

Lapisan. Warna sejati. Keberanian untuk retak.

Tanpa ragu lagi, Alyssa berbalik. Ia meninggalkan kelompoknya yang sedang duduk, mengabaikan teriakan Clara yang memanggilnya. Langkahnya pasti, menembus keramaian kantin. Semua mata tertuju padanya, bisikan semakin keras.

Ia berjalan lurus ke pojok ruangan. Ke meja Rei yang sepi.

Rei menoleh, matanya membelalak penuh kejutan dan pertanyaan saat melihat Alyssa mendekat. Seluruh kantin seolah menahan napas.

Alyssa berhenti di depan mejanya. Tanpa kata-kata, ia mengulurkan tangan. Di tangannya, bukan hanya botol minumnya sendiri, tapi juga botol air minum kemasan baru, masih segel, dingin karena kondensasi. Dengan gerakan mantap dan penuh arti, ia meletakkan botol air baru itu di atas meja Rei, tepat di sebelah gelas air kosongnya. Kemudian, ia meletakkan botol minumnya sendiri di sebelahnya.

“Balas dendam untuk yang di Sapta,” bisiknya, hanya untuk Rei dengar, matanya berbinar dengan campuran tantangan dan kehangatan.

Lalu, dengan sikap yang paling mengejutkan seisi kantin Permata Bangsa, Alyssa Chandra duduk. Ia duduk di kursi seberang Rei, di mejanya yang selalu sepi, memecah isolasi yang telah bertahun-tahun menyelimutinya. Ia membuka bekal makanannya, seolah-olah ini adalah hal paling normal di dunia.

Diam. Suara mesin pendingin kantin tiba-tiba terdengar keras. Ratusan pasang mata terpaku pada mereka. Clara terlihat seperti akan meledak. Siska dan Bima saling pandang dengan mulut menganga.

Rei memandang botol air dingin yang baru saja Alyssa taruh di mejanya. Ia memandang Alyssa yang kini dengan santai memilih lauk dari kotak bekalnya, seolah tidak ada ribuan volt kejutan dan hujatan sosial yang mengarah padanya. Gestur itu... lebih dari sekadar balas dendam. Itu pengakuan publik, pembongkaran tembok, Alyssa Chandra yang dengan berani menunjukkan pada semua orang bahwa Rei pantas mendapat tempat. Bahwa dia memilih untuk melihat lapisannya.

Perlahan, sangat perlahan, senyum merekah di bibir Rei. Bukan senyum samar atau kerutan kecil. Tapi senyum yang jelas, hangat, dan nyata, menyinari wajahnya yang biasanya datar. Matanya yang coklat gelap berbinar, memancarkan emosi yang dalam—terima kasih, kelegaan, dan mungkin, awal dari sesuatu yang lebih.

Ia meraih botol air pemberian Alyssa. “Diterima,” jawabnya, suaranya jelas dan tegas, terdengar di keheningan kantin yang masih terpana. “Dan… terima kasih.”

Ia memutar tutup botol itu dengan sengaja, suara kreek plastiknya memecah kesunyian yang tegang. Lalu ia menuangkan air dingin itu ke dalam gelas kosongnya, meneguknya, dan menatap Alyssa. Percakapan belum dimulai, tapi di meja sepi itu, di tengah keheningan kantin yang masih terpana, sebuah pernyataan telah dibuat. Lebih keras dari teriakan apa pun.

Permukaan telah retak. Lapisan sejati mulai terlihat. Permainan Callagge? Mungkin baru saja kehilangan korban favoritnya—dan menemukan kisah baru yang tak terduga