Gemuruh di kantin Sekolah Tinggi Permata Bangsa setelah 'adegan botol air' Alyssa memang telah mereda, tapi getarannya masih terasa seperti dentuman gong yang menggema. Keesokan harinya, atmosfer sekolah terasa berbeda bagi Alyssa Chandra. Dingin dan asing.
Pagi itu, saat Alyssa memasuki gerbang sekolah, beberapa siswa yang biasa menyapanya dengan hangat hanya melirik cepat lalu menunduk atau berpaling. Senyum palsu yang biasa menghiasi bibir mereka lenyap, diganti bisikan-bisikan yang terpotong saat ia mendekat. Ia mencoba bergabung dengan kelompok Clara, Siska, dan Bima di depan loker mereka—tempat yang dulu menjadi markasnya.
"Morning, guys!" sapa Alyssa, mencoba rileks.
Clara membalikkan badan, sibuk mengatur buku di lokernya. Siska tiba-tiba tertarik pada kukunya. Hanya Bima yang memberikan anggukan singkat, lalu cepat-cepat mengikuti Clara yang sudah berjalan menjauh tanpa sepatah kata pun. Cuek. Dingin. Seolah Alyssa adalah udara kosong.
Di grup chat "Queens of PB" yang biasanya ramai dengan rencana nongkrong atau gosip receh, namanya seolah dihapus. Pesannya tentang latihan paduan suara sore tak terjawab. Bahkan saat ia masuk ke ruang paduan suara, keriuhan langsung mereda. Clara, sebagai ketua seksi, membagikan partitur tanpa menyapanya, memberi instruksi langsung ke anggota lain, seolah Alyssa tidak ada. Saat Alyssa bertanya tentang perubahan lagu, Clara hanya menjawab singkat, "Udah diputusin kemarin. Lo kan nggak on time di grup." Padahal, Alyssa tahu, keputusan itu dibuat *setelah* ia dikeluarkan dari obrolan grup kecil.
Perlakuan itu seperti dinding es tak kasatmata yang menusuk hingga ke tulang. Alyssa menyendiri di bangku belakang ruang paduan suara, suaranya yang merdu tiba-tiba terasa serak. Ia bukan tak kuat menghadapi cibiran, tapi dihapus dari peta sosial yang dulu ia kuasai? Itu jauh lebih menyakitkan dari yang ia kira
Sementara bagi Rei, perubahan itu datang dengan keheningan yang berbeda. Saat ia memasuki kantin untuk jam istirahat, membawa bekal sederhana dan buku komik barunya, ia merasakan tatapan. Bukan lagi tatapan iseng atau ejekan, tapi tatapan penuh rasa ingin tahu, keheranan, bahkan sedikit rasa tidak percaya. Meja pojoknya yang biasanya menjadi zona terlarang, kini menarik perhatian. Beberapa siswa bahkan sengaja mengambil rute memutar untuk lewat dekat mejanya, seolah memeriksa apakah ada keajaiban lain yang akan terjadi.
Rei mengabaikannya. Ia duduk, membuka bekal, dan mengambil komiknya. Tapi hari ini, fokusnya sulit. Pikirannya tertuju pada pintu kantin. Apakah dia akan datang?
Lima menit setelah bel istirahat berbunyi, Alyssa muncul. Ia membawa nampan dengan makanan kantin dan segelas jus. Matanya sedikit sembap, tapi kepalanya tegak. Ia menyapu pandangan ke meja tengah di mana Clara dan kawanannya sedang tertawa lebar (sengaja keras-keras), lalu tanpa ragu, langkahnya langsung mengarah ke pojok ruangan.
Semua mata kembali tertuju.
Alyssa berhenti di depan meja Rei. 'Boleh aku duduk?' tanyanya, suaranya lelah namun tegas.
Rei menatapnya, melihat bayangan kelelahan dan ketegangan di wajahnya yang biasanya sempurna. Ia mengangguk, menyapu buku komiknya untuk memberi tempat. "Silakan."
Alyssa duduk, meletakkan nampannya. Suasana canggung yang pekat menyelimuti mereka. Kebisingan kantin seolah mereda. Rei menunduk ke nasinya. Alyssa memainkan sedotan jusnya. Keduanya sama-sama menyadari beban ratusan pasang mata yang mengintai.
"Gimana... latihan paduan suara?" tanya Rei akhirnya, memecah kebisuan. Pertanyaan dasar. Tapi ini pertama kalinya ia menanyakan aktivitas spesifik Alyssa.
Alyssa tersenyum getir. "Dingin. Clara jadi ketua seksi. Aku mungkin cuma jadi penghias latar belakang sekarang." Ia menyeruput jusnya. "Lo?"
Rei mengangkat bahu. "Biasa. Ngerjain tugas Matematika yang nggak kelar-kelar." Ia tidak menyinggung tekanan yang Alyssa alami. Itu bukan gayanya.
Diam lagi. Tapi kali ini, tidak sepenuhnya tidak nyaman. Ada semacam solidaritas dalam keheningan mereka, sebuah pengertian bahwa mereka sedang menghadapi badai yang sama, meski dari sisi yang berbeda.
Rei menyelesaikan nasinya. Saat ia akan minum dari gelas air kantin yang keruh, matanya tertuju pada botol air minum kemasan yang masih berdiri tegak di tengah mejanya. Botol pemberian Alyssa kemarin. Dinginnya sudah hilang, airnya masih setengah. Tanpa pikir panjang, tanpa kata-kata, Rei meraih botol itu. Ia meminum sisa airnya, lalu meletakkannya kembali di tempat semula, di antara mereka.
Alyssa memerhatikan gestur itu. Dia meminumnya. Bukan air baru dari kantin, tapi sisa air dari botol pemberiannya kemarin. Gestur kecil itu, dilakukan dengan wajar oleh Rei, terasa seperti pengakuan diam-diam. Sebuah penerimaan. Sebuah tanda bahwa "meja sepi" ini sekarang juga mejanya.
Kehangatan kecil perlahan mengusir dingin di hati Alyssa. "Jusnya enak," ujarnya tiba-tiba, menunjuk ke gelasnya. "Jeruk nipis mint. Biasanya Clara yang selalu pesanin ini buat aku." Ucapan itu keluar tanpa disengaja, menyiratkan kerinduan dan kehilangan.
Rei memandang jus Alyssa, lalu ke arah counter minuman. "Oh," ucapnya. Itu saja. Tapi beberapa menit kemudian, saat Rei berdiri untuk membuang nampannya, ia berjalan tidak langsung ke tempat sampah, tapi menyimpang ke counter minuman.
Alyssa menatapnya, bingung. Apa yang dia lakukan?
Rei mengantri sebentar, lalu kembali ke meja. Di tangannya, bukan minuman untuk dirinya sendiri, tapi segelas jus jeruk nipis mint baru. Ia meletakkannya dengan hati-hati di depan Alyssa, menggantikan gelas yang hampir habis.
"Kalau... masih mau," ucap Rei, suaranya datar seperti biasa, tapi ada sesuatu yang berbeda di matanya. Sebuah perhatian yang tulus, tanpa paksaan, tanpa harapan balasan.
Alyssa tertegun. Dia memperhatikan. Dia ingat apa yang baru saja ia sebutkan secara sepintas. Dan dia bertindak. Gestur ini lebih berarti daripada seribu kata penghiburan. Air mata berkumpul di pelupuk matanya, tapi kali ini bukan air mata sedih atau marah. Ini air mata... terharu. Terharu karena dalam kehancuran "dunia lamanya", seseorang diam-diam memperhatikannya.
"Makasih, Rei," bisiknya, suaranya serak. Ia mengambil gelas baru itu, menyeruupnya. Rasanya lebih segar dari yang tadi.
Sore harinya, setelah melewati hari yang melelahkan penuh tatapan dan pengabaian, Alyssa pulang ke kamarnya. Ia membuka lemari pakaiannya, lalu laci bawah tempat ia menyimpan kenangan-kenangan dengan klik lamanya: foto-foto nongkrong, tiket konser, gelang persahabatan yang sudah pudar.
Dengan hati berat tapi tekad bulat, ia mengeluarkan sebuah kotak kardus. Satu per satu, ia memindahkan benda-benda yang mewakili "Alyssa Chandra" versi Clara ke dalam kotak itu. Foto-foto di mana ia tersenyum lebar tapi terasa palsu. Hadiah-hadiah yang lebih bermerek daripada makna. Bahkan gelang persahabatan yang dulu ia pakai setiap hari.
Kotak itu ia simpan di bagian paling belakang lemari. Dunia lamanya, dikemas rapi.
Lalu, di tempat yang kosong di laci itu, ia meletakkan dua benda baru: Eksemplar komik "Layers" yang mulai lecek karena sering dibaca-baca ulang, dan botol air minum kosong—botol yang sama yang ia berikan ke Rei di Sapta, yang kemudian Rei gunakan untuk menawarinya air di taman, dan yang kini berdiri di atas meja Rei sebagai penanda kehadirannya.
Dua benda sederhana, namun keduanya mewakili permulaan baru. Lapisan yang lebih dalam. Dan seseorang yang melihatnya, bahkan saat dunia lamanya berpaling.
Di kamar Rei, adegan serupa tapi berbeda terjadi. Di mejanya yang biasanya hanya berisi buku pelajaran, komik, dan alat gambar, kini ada botol air minum kemasan kosong yang sama—botol pemberian Alyssa di kantin kemarin. Botol itu sudah dicuci bersih, labelnya sedikit terkelupas. Ia tidak menyimpannya di lemari atau laci. Ia menaruhnya di pojok meja, di tempat yang mudah terlihat. Sebuah benda biasa yang, baginya, menjadi pengingat diam-diam akan keberanian seorang gadis yang memilih untuk retak, dan memilih untuk duduk di mejanya yang sepi.
Rei memandang botol itu sebelum mematikan lampu. Sebuah benda plastik sederhana. Tapi entah mengapa, kehadirannya membuat sudut ruangan yang gelap itu terasa... tidak lagi sepenuhnya sepi.
Dinding es di sekolah masih tebal. Namun di meja sepi pojok kantin, dan di kamar-kamar pribadi dua remaja yang mulai berani menengok di balik permukaan, tetesan air pertama dari pencairan itu telah jatuh. Perlahan. Sangat perlahan. Dimulai dari sebuah botol air minum yang kosong.