Hari-hari setelah "adegan botol air" terasa seperti berjalan di medan ranjau sosial bagi Alyssa. Isolasi dari kelompok Clara semakin terasa sistematis. Ia dikeluarkan dari grup proyek sosiologi, "dilupakan" saat pembagian tugas biologi, dan bahkan tempat duduknya di kantin kadang "kebetulan" terisi oleh anggota klik Clara lainnya saat ia datang terlambat setelah membersihkan kelas (tugas piket yang tiba-tiba jadi bagiannya sendiri). Dinginnya menusuk hingga ke tulang.
Satu-satunya kehangatan konsisten datang dari meja sepi di pojok kantin. Rei. Dia tidak banyak bicara. Tidak memaksa. Tapi kehadirannya yang tenang, dan gestur kecil seperti menyodorkan tisu saat Alyssa batuk, atau tanpa diminta mengambil sendok tambahan saat Alyssa lupa, menjadi anker di tengah badai penolakan. Mereka belum membahas tekanan yang Alyssa alami secara mendalam. Tapi diam-diam, Rei mulai memecah roti gorengnya menjadi dua, lalu menawarkan separuhnya ke Alyssa. "Kebanyakan," ujarnya datar, padahal Alyssa tahu porsinya selalu kecil. Itulah caranya menunjukkan kepedulian.
***
Suatu sore, Alyssa dipanggil ke ruang Bimbingan Konseling (BK). Ibu Wati, guru BK yang baik hati, menatapnya dengan penuh keprihatinan.
"Alyssa, ada beberapa guru yang melaporkan... perubahan sikapmu belakangan ini," ujar Ibu Wati lembut. "Kamu terlihat lebih pendiam, sering sendirian. Nilai partisipasimu di beberapa mata pelajaran turun. Ada masalah yang ingin diceritakan?"
Alyssa menghela napas. Bagaimana bisa ia menjelaskan kompleksitas perang sosial remaja dan konsekuensi memilih duduk di meja "si hukuman" tanpa terdengar kekanak-kanakan? "Saya sedang... menyesuaikan diri dengan beberapa perubahan pertemanan, Bu," jawabnya diplomatis, menatap lipatan rok seragamnya.
"Perubahan pertemanan itu wajar, Alyssa. Tapi jangan sampai mengorbankan kenyamanan dan prestasimu." Ibu Wati tersenyum simpatik. "Kalau merasa berat, ruang ini selalu terbuka. Atau... mungkin ada teman lain di luar lingkaranmu dulu yang bisa diajak bicara?"
Bayangan Rei muncul di benak Alyssa. Tapi ia hanya mengangguk. "Terima kasih, Bu. Saya akan coba."
Saat keluar dari ruang BK, hatinya terasa berat. Bahkan guru memperhatikan "keanehan"-nya. Ia berjalan menyusuri koridor sepi yang sudah mulai gelap, menuju loker untuk mengambil tas. Saat membungkuk membuka kunci loker, pandangannya tertangkap sesuatu di ujung koridor dekat tangga darurat.
Rei. Dia sedang berbicara dengan Pak Didi! Pemilik Omah Komik itu berdiri di koridor sekolah, wajahnya berseri-seri, menepuk pundak Rei seperti bangga pada anak sendiri. Rei sendiri mendengarkan dengan saksama, sesekali mengangguk, wajahnya lebih ekspresif dari biasanya—ada semacam cahaya kecil di matanya. Pak Didi menyerahkan sebuah tas kertas coklat tebal. Rei menerimanya dengan dua tangan, membungkuk sedikit sebagai ucapan terima kasih.
Pesanan komik baru? Atau... bahan untuk komiknya sendiri? Pikiran Alyssa melayang. Semakin ia mengenal Rei, semakin ia penasaran dengan dunia kreatifnya yang tersembunyi. Setelah Pak Didi pergi, Rei membuka tas kertas itu sebentar, mengintip isinya. Senyum tipis—sangat tipis—muncul di bibirnya sebelum ia menutup tas lagi dan berbalik untuk menuju lokernya.
Alyssa buru-buru membuka lokernya, berpura-pura sibuk. Ia tidak ingin Rei merasa diawasi. Saat Rei lewat beberapa detik kemudian, ia hanya melambaikan tangan kecil. "Hai."
Rei mengangguk singkat. "Hai." Langkahnya tak berhenti.
Alyssa mengambil tasnya, menutup loker. Saat berbalik, matanya menangkap sesuatu yang tergeletak di lantai koridor sepi itu, tak jauh dari tempat Rei berdiri tadi. Sebuah buku sketsa kecil berwarna hitam, spiralnya sedikit penyok.
Jantung Alyssa berdebar. Itu pasti milik Rei. Ia pasti menjatuhkannya saat mengambil barang dari tas kertas pemberian Pak Didi.
Alyssa melangkah mendekat, memungutnya. Buku itu sederhana, tanpa embel-embel. Tanpa sengaja, atau mungkin karena buku itu sedikit terbuka saat jatuh, matanya menangkap gambar di halaman yang terbuka sebagian.
Coretan pensil yang dinamis, kuat, penuh emosi.
Dengan hati-hati, rasa ingin tahu mengalahkan rasa bersalahnya. Alyssa membuka halaman itu sedikit lebih lebar.
Dan ia terpana.
Itu bukan sketsa biasa. Itu adalah konsep karakter untuk sebuah komik. Dua figur mendominasi halaman:
Pertama. Seorang figur perempuan. Tapi bukan manusia utuh. Ia seperti terbuat dari pecahan kaca bening yang disusun rapi. Setiap pecahan memantulkan sesuatu yang berbeda: mahkota kecil, piala, not balok, senyum sempurna, tatapan penuh ekspektasi. Sosoknya anggun tapi terlihat kaku, rapuh. Judul kecil di sampingnya:
"The Prism" (Prisma).
Kedua. Seorang figur laki-laki di sebelahnya. Ia digambarkan sebagai siluet gelap yang padat, seperti batu atau tembok tua. Tapi dari celah-celah siluet yang gelap itu, memancar cahaya-cahaya kecil berwarna-warni—kuning keemasan, biru muda, hijau lumut, merah marun. Cahaya itu tidak terang menyilaukan, tapi hangat dan dalam. Judulnya: "The Veiled Light" (Cahaya Terselubung).
Di bagian bawah halaman, dengan tulisan tangan Rei yang rapi, tertulis kalimat: "Sometimes, the brightest light needs a prism to break. Sometimes, the darkest veil hides the warmest glow." (Terkadang, cahaya paling terang butuh prisma untuk dipecahkan. Terkadang, selubung tergelap menyembunyikan cahaya paling hangat).
Metaforanya jelas. Menyentuh. Dan sangat personal. Alyssa bisa merasakan dirinya dalam "The Prism". Pecahan kaca yang mewakili berbagai peran dan ekspektasi yang ia pikul. Dan Rei... Rei adalah "The Veiled Light". Tembok gelap yang menyembunyikan kedalaman dan kehangatan yang tak terlihat oleh dunia.
"APA YANG KAU LAKUKAN?!"
Suara kasar, penuh panik dan kemarahan, memecah kesunyian koridor. Rei berdiri beberapa langkah darinya, wajahnya pucat, matanya membelalak penuh kengerian dan... pelanggaran. Ia melesat maju, merampas buku sketsa itu dari tangan Alyssa dengan gerakan kasar, hampir menyobek kertasnya.
"Rei, aku—" Alyssa terkesiap, kaget oleh intensitas reaksinya.
"ITU PRIVAT!" teriak Rei, suaranya serak, tidak seperti biasanya yang datar. Ia memeluk buku sketsa itu ke dadanya seperti melindungi harta karun yang hampir dicuri. "Nggak ada hak lo buat liat itu! Itu belum jadi! Belum!" Napasnya memburu, bahunya naik turun. Ada rasa malu yang membara dan kemarahan yang mendidih di matanya. Ia merasa terjebak, telanjang. Dunia batinnya yang paling rahasia, yang dituangkannya lewat gambar, baru saja diintip tanpa izin.
Alyssa mundur selangkah, bukan karena takut, tapi karena kaget dan sedih melihat Rei yang begitu terluka. "Aku... aku minta maaf, Rei. Sungguh. Buku itu jatuh, aku cuma ingin mengembalikan, dan halamannya terbuka..." Ia mencoba menjelaskan, tapi suaranya tercekat melihat ekspresi Rei yang masih tertutup rapat, wajahnya menunduk, buku sketsa dipeluk erat.
Kesunyian yang tegang menyelimuti mereka. Rei seperti patung yang marah dan terluka. Alyssa merasa bersalah, tapi di balik itu, ada kekaguman yang dalam pada apa yang baru saja ia lihat. Keindahan sketsanya. Kedalaman konsepnya. Kejujuran brutal yang terpancar dari setiap goresan pensil.
Ia menarik napas dalam. Rasa bersalah harus diakui. Tapi mengabaikan keindahan yang ia lihat juga terasa seperti penghinaan. Dengan suara yang lebih tenang, penuh ketulusan, Alyssa berbicara:
"Rei... aku minta maaf telah mengambil bukumu tanpa izin. Itu salah. Aku tidak bermaksud mengintip." Ia berhenti sejenak, memastikan Rei masih mendengarkan, meski kepalanya masih tertunduk. "Tapi... karena aku sudah melihatnya... aku harus jujur."
Rei sedikit mengangkat kepala, tatapannya masih waspada dan menyakitkan.
Alyssa menatapnya langsung. "Karyamu... luar biasa." Katanya tegas. "Sketsanya hidup. Metaforanya... mengena. Sangat dalam." Ia menunjuk ke arah buku sketsa yang masih dipeluk Rei. "'The Prism' dan 'The Veiled Light'... itu lebih dari sekadar karakter komik. Itu... jujur. Dan sangat, sangat berbakat."
Rei terpana. Matanya membelalak lebih lebar, tapi kali ini bukan karena kemarahan. Tidak ada yang pernah memujinya secara langsung seperti ini. Tidak ada yang pernah menyebut karyanya "luar biasa" atau "berbakat". Apalagi dengan nada begitu tulus dan penuh penghargaan. Panik dan kemarahannya tiba-tiba macet, digantikan oleh gelombang rasa tidak percaya dan... sesuatu yang hangat dan asing di dadanya.
"Dan kau tahu apa?" lanjut Alyssa, sedikit tersenyum getir. "Kau benar. 'The Prism' itu... rapuh. Tapi kau menggambarkan cahaya yang keluar dari 'The Veiled Light'-mu... itu hangat, Rei. Sangat hangat." Suaranya bergetar sedikit. "Kau jauh lebih berbakat dari yang pernah kuduga. Bahkan lebih dari yang mungkin kau duga sendiri."
Kata-kata itu menggantung di udara, di koridor yang semakin gelap. Rei berdiri diam, buku sketsa masih erat di pelukannya, tapi sikap defensifnya perlahan mencair. Tatapannya pada Alyssa berubah. Kemarahan dan rasa malunya berubah menjadi kebingungan yang dalam dan rasa terharu yang tak terucapkan. Pipinya yang tadi pucat, perlahan berubah kemerahan.
"Loe... loe nggak... nggak tersinggung?" gumam Rei akhirnya, suaranya kecil, serak. Ia mengira Alyssa akan marah karena digambarkan sebagai "prisma" yang rapuh.
Alyssa menggeleng, senyum kecil yang tulus muncul. "Tersinggung? Kenapa? Itu akurat. Dan kau menggambarkannya dengan indah. Jujur." Ia menatap buku sketsa itu. "Aku... aku merasa terhormat bisa melihat sekilas dunia yang kau ciptakan. Meski caranya salah."
Rei menunduk lagi, kali ini mungkin untuk menyembunyikan betapa wajahnya memanas. Ia membuka buku sketsanya sebentar, melihat gambar "The Prism" dan "The Veiled Light", lalu menutupnya pelan. "Ini... masih mentah," ujarnya, suaranya jauh lebih tenang, meski masih ada getar.
"Semua karya besar dimulai dari sketsa mentah," balas Alyssa lembut. "Jangan berhenti."
Diam lagi. Tapi kali ini, diamnya berbeda. Tidak tegang. Lebih seperti... pengakuan. Rei mengangguk, sangat pelan. "Aku... mesti pulang," ujarnya, masih menghindari tatapan Alyssa.
"Oke. Hati-hati, Rei." Alyssa memberi jalan.
Rei berjalan melewatinya, langkahnya cepat tapi tidak lari. Saat melewati sudut koridor, ia menoleh sekilas. Matanya, yang biasanya datar, memancarkan sesuatu yang kompleks—sisa malu, rasa terima kasih, keheranan, dan mungkin, sedikit cahaya dari "The Veiled Light" yang mulai berani menampakkan diri.
Alyssa berdiri sendirian di koridor yang semakin gelap, hati berdebar campur aduk. Rasa bersalah masih ada, tapi dikalahkan oleh kekaguman dan kehangatan tadi. Ia baru saja menyentuh sesuatu yang sangat berharga dan rapuh dari Rei. Dan Rei... Rei membiarkannya pergi tanpa kemarahan lebih lanjut. Bahkan, mungkin, menerima pujiannya.
Saat ia berbalik untuk keluar, matanya menangkap bayangan di ujung koridor lain—Clara. Berdiri di sana, menyandarkan diri di dinding, tangan disilang. Senyum di wajahnya bukan senyum ramah. Itu senyum puas, penuh rencana. Seperti kucing yang baru saja melihat burung pipit yang lengah.
"Tugas seni kolaboratif semester ini diumumin besok, Aly," ujar Clara, suaranya dingin dan penuh tantangan. "Kelompok udah dibagi sama guru. Siap-siap aja."
Tanpa menunggu jawaban, Clara berbalik dan menghilang. Ancaman itu jelas. Tugas seni besar yang menentukan nilai akhir semester. Dan Clara, dengan pengaruhnya, pasti sudah mengatur sesuatu.
Alyssa mengepalkan tangan. Hari ini, ia menemukan keindahan rahasia Rei dan memberanikan diri memujinya. Esok, ia akan menghadapi badai baru yang disiapkan mantan sahabatnya. Tapi melihat buku sketsa Rei tadi, melihat cahaya yang tersembunyi di balik temboknya, memberinya semacam keberanian baru.
Bring it on, Clara, pikirnya, melangkah keluar menuju sore yang berangin. Aku punya cahayaku sendiri untuk ditemukan. Dan mungkin... cahaya lain untuk ditemani.