Backup di Tengah Badai

Ancaman Clara tentang tugas seni kolaboratif menjadi kenyataan keesokan harinya. Bu Sari, guru seni budaya yang terkenal tegas dan visioner, mengumumkan proyek besar: "Interpreting Social Layers: A Multimedia Installation." Setiap kelompok—yang sudah dibagi acak oleh guru—harus membuat instalasi seni yang mengkritik atau merefleksikan hierarki sosial di sekolah atau masyarakat, menggunakan minimal tiga media berbeda (visual, audio, tekstual).

"Kelompoknya sudah saya tentukan berdasarkan... komplemen keahlian," ujar Bu Sari, matanya berbinar penuh tantangan. Ia memproyeksikan daftar kelompok.

Jantung Alyssa berhenti sejenak saat melihat namanya:

Kelompok 6:

* Alyssa Chandra (Ketua)

* Clara Wijaya

* Bima Satrio

* Rei Fajar

Clara. Bima. Dan Rei. Bu Sari mungkin bermaksud baik, berharap mempertemukan 'kubu berseberangan' akan menghasilkan karya provokatif. Atau mungkin ini hasil lobi licik Clara? Bagaimanapun, bagi Alyssa, ini seperti dihukum kerja paksa bersama algojonya. Ia melihat ke arah Clara. Clara tersenyum dingin, mengangkat alis seolah berkata, "Siap-siap, Ratu."

Rei, seperti biasa, tidak menunjukkan reaksi. Ia hanya mencatat nama kelompoknya di buku, wajah tetap datar. Tapi Alyssa bisa merasakan ketegangan kecil di pundaknya.

***

Pertemuan pertama kelompok di perpustakaan sekolah sudah bisa ditebak: bencana. Clara datang terlambat dengan segelas kopi mahal. Bima lebih sibuk main HP. Rei duduk di ujung meja, buku catatannya terbuka tapi kosong.

"Jadi, ide apa yang kalian punya?" tanya Alyssa, mencoba memimpin. Ia sudah menyiapkan beberapa konsep tentang "Topeng Sosial" atau "Pagar Tak Terlihat", terinspirasi dari pengalaman dan diskusinya dengan Rei.

Clara menyeringai. "Ide? Gue sih mikirnya simpel aja. Kita bikin replika meja kantin. Meja tengah yang mewah buat kita," ia menunjuk diri sendiri, Bima, dan Alyssa, "dan meja pojok kayak kandang ayam buat si hukuman." Tatapannya mengejek ke arah Rei. "Lengkap dengan patung kertas bekas dan sampah simbolik. Biar provokatif banget, kan?"

Alyssa merasa mual. "Itu bukan kritik sosial, Clara. Itu bullying. Dan menyakiti."

"Loh, namanya seni kan bebas ekspresi?" bantah Clara sambil menyeruput kopinya. "Rei juga pasti nggak masalah, kan? Dia kan udah biasa jadi bahan seni." Ia menatap Rei menantang.

Rei tidak menoleh. Jarinya mengetuk meja pelan. "Bikin aja patungmu sendiri duduk di pojok," ujarnya tiba-tiba, suaranya datar. "Lebih akurat."

Bima terkekeh, sementara Clara cemberut. Alyssa mencoba menarik napas. "Aku punya ide lain. Bagaimana kalau kita fokus pada konsep suara yang terabaikan? Kita rekam testimoni siswa-siswa yang dianggap 'biasa' atau 'tak terlihat' di sekolah, lalu putar di ruang sempit yang gelap. Dindingnya kita tempel foto-foto mereka yang besar, tapi dengan ekspresi sebenarnya, bukan senyum palsu untuk medsos."

Ide itu membuat Rei menoleh. Matanya berbinar sekilas. Ia mengangguk, hampir tak kentara.

"Testimoni? Suara siswa biasa?" Clara mencibir. "Membosankan! Siapa yang mau denger? Bu Sari mau yang *eye-catching*, Aly! Bukan podcast kerenyahan!"

Perdebatan berlangsung sengit. Clara terus mendorong ide "meja kantin" yang menyakitkan. Alyssa bersikukuh pada ide "suara yang terabaikan". Bima hanya ikut-ikutan Clara. Rei diam, tapi Alyssa tahu dari caranya sesekali mencoret sesuatu di bukunya, bahwa ia setuju dengan idenya.

Akhirnya, karena waktu habis dan tak ada titik temu, Bu Sari memutuskan: Alyssa sebagai ketua harus mengajukan proposal konsep utuh dalam tiga hari. Tekanan itu mendarat di pundak Alyssa.

***

Hari-hari berikutnya adalah neraka miniatur. Alyssa bekerja keras. Ia menyusun proposal detail untuk konsep "The Unseen Echoes" (Gema Tak Terlihat). Ia membuat storyboard untuk ruang instalasi, daftar pertanyaan wawancara, konsep visual foto. Semuanya ia simpan rapi dalam folder digital di laptop dan cloud sekolah.

Clara dan Bima sengaja tidak kooperatif. Mereka "lupa" janji diskusi, "sibuk" dengan kegiatan lain. Rei, di sisi lain, diam-diam membantu. Suatu sore, di perpustakaan saat Alyssa hampir menyerah mencari referensi seni instalasi audio, sebuah buku tebal diletakkan di sampingnya.

"Sound Art: Beyond the Noise" oleh Michel Chion.

Alyssa menoleh. Rei sudah duduk di seberang, pura-pura membaca komik. Tapi senyum kecil Alyssa tidak ia lewatkan. Buku itu sempurna. Di dalamnya, beberapa halaman ditandai sticky note kuning kecil.

Bagian 3: The Power of Anonymous Testimony - Creating Empathy in the Dark.

Bagian 5: Visual Distortion & Focused Listening - Techniques to Amplify the Unheard Voice.

Rei tidak hanya memberinya buku. Ia menunjukkan bagian yang relevan. Gestur kecil, bermakna besar.

Keesokan harinya, Rei mengirimkan link via chat kelas (satu-satunya cara mereka berkomunikasi di luar tatap muka): sebuah artikel tentang seniman Jepang yang memanipulasi foto wajah untuk menyoroti emosi tersembunyi. Sangat cocok untuk konsep foto Alyssa.

Alyssa membalas singkat: "Makasih. Ini membantu banget."

Balasan Rei: "Oke."

Tapi Alyssa tahu, di balik "oke" itu ada dukungan nyata.

***

Dua hari sebelum deadline proposal, Alyssa merasa percaya diri. Konsepnya solid. Ia menyelesaikan slide presentasi terakhir di lab komputer sekolah, menyimpan file ke cloud dan mem-backup ke flashdisk. Saat ia berdiri untuk mencetak draft, ia melihat Clara masuk ke lab, diikuti Bima. Clara tersenyum manis.

"Lagi sibuk, Aly? Proposalnya udah jadi? Pasti keren ya!" ujarnya, mendekat ke komputer Alyssa.

Alyssa waspada. "Hampir. Mau cetak dulu."

"Oh, bagus! Bima, lo liatin printer ya? Gue mau nanya Bu Sari sesuatu bentar." Clara berbalik, tapi lengannya "tidak sengaja" tersangkut pada mousepad, menumpahkan gelas air mineral yang baru setengah diminum Alyssa langsung ke keyboard laptop Alyssa!

"ASTAGA! Maaf banget, Aly! Gue kagok banget!" teriak Clara dengan nada panik berlebihan, sambil berusaha mengelap keyboard dengan tisu basah yang justru memperparah! Air menyebar cepat.

Alyssa membeku, panik. "Jangan! Matikan!" Ia meraih laptop, memencet tombol power paksa. Tapi lampunya sudah padam. Bau hangus elektrik tipis tercium.

Bima bergegas "membantu" mengangkat laptop, membuat air yang menggenang di keyboard tumpah lebih banyak ke dalam casing. "Waduh, kayanya parah nih, Aly."

Clara masih membanjiri Alyssa dengan permintaan maaf palsu. "Aduh, gue bener-bener minta maaf! Gimana nih proposalnya? File-nya ilang? Oh, pasti ada di cloud, kan?"

Alyssa memegang laptop basah dan dingin, jantung berdegup kencang. Proposalnya! Berjam-jam kerja keras! Ia baru saja menyimpan, tapi... *cloud*? Ia mencoba mengingat. Ia lupa meng-*upload* versi terakhir setelah revisi akhir! File terbaru hanya ada di laptop ini dan... di flashdisk yang masih tertancap di port USB!

Ia mencabut flashdisk-nya. Kering. Masih ada harapan!

Namun saat ia mencoba memasangnya ke komputer lain di lab... flashdisk itu tidak terbaca. Lampu kecilnya bahkan tidak menyala. Air tumpahan Clara mungkin merusak port USB atau flashdisk itu sendiri saat masih tertancap.

"Tidak..." desis Alyssa, rasa putus asa mulai menyergap. Wajahnya pucat. Dua hari. Semua datanya... hilang. Proposal utuh hanya ada di laptop rusak dan flashdisk rusak ini. Clara dan Bima saling bertukar tatapan, sulit menyembunyikan kepuasan.

"Yah... gimana nih, Aly?" tanya Clara, pura-pura prihatin. "Mau minta perpanjangan waktu ke Bu Sari? Tapi katanya Bu Sari nggak tolerir kendala teknis, ya? Apalagi ini 'kecelakaan'." Kata "kecelakaan" diucapkan dengan penekanan.

Alyssa menatap laptop mati dan flashdisk tak berguna di tangannya. Air mata kepanikan dan kemarahan menggenang. Ini bukan kecelakaan. Ini sabotasi. Dan ia terjebak.

Saat keputusasaan hampir melumpuhkannya, sebuah suara datar terdengar dari belakangnya.

"Aku punya backup."

Semua orang menoleh. Rei berdiri di pintu lab, ransel di pundak, wajahnya tenang. Di tangannya, ada sebuah flashdisk kuno berwarna biru.

Alyssa ternganga. "Apa?"

Rei melangkah masuk, menghampiri komputer yang masih menyala. Ia memasukkan flashdisk birunya. "Aku lihat lo kerja di lab tadi sore. Sebelum pulang, lo lupa log out. Aku... takut ada masalah." Ia menghindari tatapan Alyssa. "Jadi aku *copy* folder proposal lo ke flashdiskku. Versi jam 4 sore. Mungkin belum final, tapi... sebagian besar ada."

Jari-jarinya menari di keyboard, membuka folder di flashdisknya. Dan di sana... tersimpan folder "Proposal_UnseenEchoes" dengan semua subfolder: konsep, storyboard, draft wawancara, referensi gambar! Versi beberapa jam sebelum Alyssa menyelesaikan revisi terakhir, tapi lebih dari 90% lengkap.

Clara dan Bima membeku, wajah mereka berubah dari puas menjadi bingung lalu marah. "Lo ngapain ngutak-ngatik file orang, Rey?" sergah Bima.

Rei tidak menjawab. Ia menatap Alyssa. "Aku kirim ke cloud lo sekarang. Atau mau langsung ambil file dari sini?"

Alyssa masih terpana, memandangi Rei, lalu ke folder yang terselamatkan di layar komputer. Rasa lega yang begitu besar menyergapnya, membuat lututnya lemas. Rei... diam-diam mem-backup kerjanya. Karena "takut ada masalah". Ia memperhatikan. Ia bertindak. Ia menyelamatkannya.

"Kirim... kirim ke cloud-ku," bisik Alyssa, suaranya serak. "Terima kasih, Rei. Terima kasih... banyak." Rasa haru hampir membuatnya menangis.

Rei mengangguk, mulai mengunggah file. "Oke."

Clara mendesis, tidak bisa menyembunyikan kegeramannya lagi. "Backup? Kebetulan banget ya? Kayaknya sengaja deh, jaga-jaga kecelakaan gitu?" Ia menatap Rei penuh kebencian. "Dasar kepo!"

Rei selesai mengunggah, lalu mencabut flashdisk birunya. Saat menoleh ke Clara, untuk pertama kalinya Alyssa melihat sesuatu yang tajam di mata Rei yang biasanya datar—bukan amarah, melainkan kekecewaan yang dalam dan dingin.

"Lebih baik kepo daripada sengaja nimbulin kecelakaan," ujar Rei, suaranya rendah tapi jelas, memotong seperti pisau. Ia tidak menunggu jawaban Clara. Ia melihat ke Alyssa. "File udah di cloud. Folder 'Backup_Rei'." Lalu, tanpa melihat ke arah Clara dan Bima lagi, ia berbalik dan meninggalkan lab.

Clara berdiri kaku, wajahnya merah padam karena marah dan malu. Bima hanya menggaruk-garuk kepala, tidak nyaman. Alyssa mengambil mouse, membuka cloud-nya. Folder "Backup_Rei" ada di sana. Berisi semua yang ia butuhkan. Nyata. Diselamatkan.

Ia menatap Clara. "Kecelakaan sudah terjadi, Clara. Tapi karyanya masih ada. Aku akan selesaikan proposal ini. Dan kita akan presentasikan konsep 'The Unseen Echoes'." Suaranya tegas, penuh keyakinan baru. "Kalian mau bantu? Atau mau lanjutin jadi penghalang?"

Clara menyeringai, lalu menarik lengan Bima. "Come on, Bim. Udah, kita keluar. Biarin aja si 'Ratu' dan 'Hukuman'-nya sibuk." Mereka pergi dengan langkah cepat, meninggalkan Alyssa sendirian di lab.

Alyssa tidak langsung bekerja. Ia memandangi pintu lab tempat Rei menghilang. Kata-kata Rei menggema di kepalanya: "Aku takut ada masalah." Ia tidak hanya mem-backup file. Ia memperhatikan Alyssa bekerja. Ia mengantisipasi masalah. Dan antisipasinya ternyata tepat.

Ia membuka folder 'Backup_Rei'. Di antara file proposal, ada satu file teks tambahan yang bukan buatannya: 'Notes_Rei.txt'

Dengan jantung berdebar, Alyssa membukanya.

- Catatan untuk Proposal "The Unseen Echoes":

- Untuk ruang gelap, coba pertimbangkan headphone nirkabel (kurang kabel = kurang distraksi).

- Pertanyaan wawancara no.3 mungkin terlalu langsung. Bisa diganti "Kapan terakhir kali kamu merasa benar-benar didengar di sekolah?".

- Untuk efek visual foto, filter high-contrast grayscale + sorot kecil di mata mungkin bisa lebih kuat dari blur total.

- Referensi tambahan: Artist: Sophie Calle (karya "Take Care of Yourself" tentang suara perempuan).

Air mata yang tadi ditahan akhirnya menetes. Bukan air mata putus asa, melainkan air mata haru dan terima kasih yang dalam. Rei tidak hanya menyelamatkan file-nya. Ia juga memberi masukan. Ia memikirkan konsepnya. Dengan serius. Dengan perhatian.

"Kenapa..." bisik Alyssa sendirian di lab yang kini sunyi. "Kenapa kau melakukan semua ini, Rei? Membantu aku seperti ini?"

Jawabannya tidak datang. Tapi saat ia akhirnya meninggalkan lab jauh malam itu, proposal terselamatkan dan siap dicetak, hatinya dipenuhi oleh pertanyaan lain, lebih hangat: Bagaimana cara membalas kebaikan diam-diamnya?

Dan untuk pertama kalinya sejak permusuhan dengan Clara dimulai, Alyssa merasa tidak sendirian. Ada cahaya terselubung yang bersinar untuknya di tengah gelap. Cahaya bernama Rei.