Proposal "The Unseen Echoes" mendapat sambutan tak terduga dari Bu Sari. Guru seni yang biasanya kritis itu memeluk konsepnya dengan antusias. "Ini brilian, Alyssa!" ujarnya setelah presentasi singkat, mengabaikan wajah masam Clara dan Bima. "Provokatif tapi penuh empati. Menyoroti akar masalah tanpa menjatuhkan. Dan penggunaan multi medianya sangat matang. Kerjakan segera! Sumber daya lab seni dan peralatan rekam tersedia untuk kalian."
Kemenangan kecil itu terasa manis bagi Alyssa, meski kelompoknya tetap penuh racun. Clara dan Bima memilih strategi baru: pasif-agresif dan menghilang. Mereka "sibuk" dengan kegiatan OSIS atau les saat jadwal kerja kelompok. Tapi Alyssa tidak lagi merasa sendirian. Ada Rei.
Pengerjaan proyek pun akhirnya sepenuhnya di tangan Alyssa dan Rei. Mereka menghabiskan jam-jam panjang di lab seni yang berantakan penuh kanvas dan kabel, atau di taman belakang perpustakaan yang sepi saat cuaca cerah. Dinamika mereka berubah. Keheningan yang dulu canggung kini berubah menjadi kesenyapan produktif yang nyaman, sesekali dipotong diskusi kreatif yang semakin intens.
"Untuk efek distorsi foto," ujar Alyssa suatu sore di lab seni, menunjuk sketsa di tabletnya, "kita bisa pake filter digital atau beneran manipulasi cetakan fisik?"
Rei, yang sedang merapikan kabel mikrofon, menoleh. "Fisik lebih berasa 'rusak'-nya. Kayak... lapisan yang dikupas paksa." Ia mengambil selembar foto percobaan wajahnya sendiri yang sudah dicetak. Dengan cutter, ia menggores dan mengelupas sebagian permukaan foto itu secara acak, menyisakan lapisan dasar kertas yang kasar dan tidak sempurna di beberapa bagian. "Gini. Bagian yang 'terabaikan' keliatan lebih mentah."
Alyssa terpana—hasilnya sangat kuat dan menyentuh. "Iya! Bagus banget!" Ia tersenyum lebar, spontan menepuk lengan Rei. "Lo emang jago liat esensi, Rei!"
Rei tersentak kecil pada sentuhan itu, telinganya memerah. "Cuma eksperimen," gumamnya, kembali fokus ke kabel, tapi sudut bibirnya naik sangat tipis. Senyum kecil pertama Rei yang nyaris terlihat jelas.
Di taman, saat merekam draft pertanyaan wawancara, Alyssa kesulitan membuat narasumber bayangan (diri sendiri) terdengar natural. "'Pernah ngerasa nggak diliat?'" ia mencoba, tapi suaranya kaku. "Kedengeran kayak interogasi."
Rei, yang memegang recorder portabel, mempertimbangkan. "Coba ganti jadi... 'Kalo lagi sendiri di kantin atau koridor, apa yang biasanya lo pikirin?'" sarananya. "Lebih membuka cerita pribadi."
Alyssa mencoba. "Kalo lagi sendiri di kantin... kadang aku mikir, apa ada yang ngeh kalo aku nggak dateng sekalian?" Suaranya lebih alami, lebih rentan. Ia terkejut dengan kejujuran yang keluar dari pertanyaan Rei.
"Nah, gitu," Rei mengangguk, matanya tertuju pada level suara di recorder. "Kejujuran kedengeran."
Momen-momen seperti itu menjadi katalis kedekatan tak terucap. Alyssa sering tertawa melihat sketsa kasar Rei untuk background instalasi. Rei mulai menawarkan cemilan kecil tanpa diminta – sebungkus permen jahe "buat ngusir dingin" saat mereka kerja larut. Mereka belajar ritme masing-masing: Alyssa yang cerewet saat excited, Rei yang diam tapi observatif. Sebuah kepercayaan dan keakraban baru tumbuh di antara tumpukan kabel audio dan foto terdistorsi.
***
Tapi keharmonisan itu tidak luput dari pengawasan bermusuhan. Clara.
Diam-diam, dari balik tiang taman atau jendela lab seni, Clara mengintip. Ia melihat Alyssa tertawa bahagia melihat coretan Rei. Ia melihat Rei yang biasanya kaku, sesekali menunjukkan senyum kecil atau anggukan antusias saat Alyssa menjelaskan ide. Ia melihat kedekatan fisik yang tidak disengaja – bahu yang bersentuhan saat melihat layar laptop, tangan yang hampir bersenggolan saat mengambil cutter. Setiap momen itu direkam dengan lensa zoom ponselnya, disimpan sebagai amunisi.
Suatu malam, ketika grup chat sekolah sedang ramai membahas ujian, sebuah gambar tiba-tiba muncul. Sebuah meme.
Foto itu diambil dari sudut rendah di taman. Alyssa sedang menunjuk sesuatu di buku sketsa Rei, wajahnya terbelak tawa yang sangat lepas, bahagia, dan authentic – sesuatu yang jarang terlihat dari "Alyssa Chandra" yang biasanya terkontrol. Rei duduk di sebelahnya, menatapnya. Dan di foto itu, dengan jelas terlihat senyum kecil tapi nyata di wajah Rei. Bukan kerutan bibir samar, tapi senyum sungguhan yang membuat matanya berbinar.
Foto aslinya sebenarnya menangkap momen hangat. Tapi editan Clara jahat. Di atas kepala Alyssa, tertulis huruf kapital tebal: "RATU" dengan emoticon mahkota. Di atas kepala Rei yang tersenyum, tertulis: "B U D A K - N Y A" dengan emoticon rantai. Backgroundnya di-blur, membuat mereka terisolasi. Caption bawahnya: "SERVICES INCLUDED: Backup File, Ngerjain Tugas, Ketawain Jokes Garing... Bayarannya? STATUS SOSIAL PALSU! #CallaggeReverse #DramaKantin #PBScandal"
Gambar itu meledak.
Dalam hitungan menit, grup sekolah yang berisi ratusan siswa gemuruh. Komentar berdatangan:
* "WKWKWKWK BUDANYA SENYUM BANGGA GITU!"
* "Sampe Aly turun tahta dan ngerjain Rey?"
* "Ternyata harga status sosial palsu cuma segitu? Murah banget Rey jual diri!"
* "Jokes garing Rey emang layak dibayar sih, tapi pake reputasi? Gile banget."
* "Jadi ini alesan Aly ngumpet2 ma si nerd? Demen diperhatiin sama budaknya?"
Alyssa melihat meme itu saat sedang mempersiapkan pertanyaan wawancara di kamarnya. Darahnya mendidih. Rasa malu yang membakar dan kemarahan yang tajam menyergapnya. Bukan hanya karena gambarnya yang direkam diam-diam dan diedit jahat, tapi karena mereka menodai momen jujur yang mulai ia bangun dengan Rei. Mereka menyederhanakan kedekatan yang pelan-pelan ia hargai menjadi lelucon kotor dan transaksi menyedihkan. Tangannya gemetar memegang ponsel. Air mata kemarahan dan rasa sakit membasahi pipinya. Ia ingin berteriak. Ingin menghancurkan sesuatu. Ingin konfrontasi langsung dengan Clara.
Ia mengetik pesan kasar ke grup, jarinya menari cepat di atas layar... tapi tiba-tiba dihentikan oleh bunyi ping dari chat pribadi.
Rei.
Hanya satu baris: "Masih di lab. Besok rekam testimoni jam 3 sore. Narasumber pertama: Iwan."
Tenang. Biasa saja. Seolah badai meme tidak terjadi.
Alyssa terpana. Air matanya berhenti. Bagaimana bisa Rei begitu... normal? Tidakkah dia melihat? Tidakkah dia terluka? Ia membalas, jarinya masih gemetar: "Lo liat grup? Mereka... mereka editan foto kita. Bilang lo budak aku! Jelas2 fitnah jahat Clara!"
Beberapa detik berlalu. Lalu balasan Rei masuk:
"Liat. Biarin. Mereka cuma buktiin konsep kita bener: suara kebencian & iri selalu paling keras & pertama kedengeran. Tapi bukan yang paling penting."
Alyssa membaca pesan itu berulang kali. Kesederhanaan dan ketenangannya menusuk kabut kemarahan di benaknya. Rei tidak menyangkal. Tidak marah. Dia mengakui kekejian itu, tapi menolak memberi kekuatan padanya. Dia mengaitkannya dengan inti proyek mereka: suara-suara yang memecah belah selalu terdengar paling keras, menenggelamkan suara lain yang lebih penting. Dan Rei memilih untuk tidak memberi panggung pada suara kebencian itu.
"Lo... lo nggak marah?" Alyssa membalas, masih tidak percaya.
"Marah buang energi. Kita punya testimoni buat direkam besok. Fokus ke suara yang emang perlu didenger. Itu yang bikin beda."
Pesan itu seperti air dingin di bara amarah. Alyssa menarik napas dalam. Rei benar. Meladeni Clara dan meme-nya hanya akan memberi mereka lebih banyak kekuatan, lebih banyak perhatian. Itulah yang Clara inginkan. Rei menawarkan jalan lain: melanjutkan pekerjaan mereka. Memperkuat suara-suara yang selama ini tak didengar. Itu adalah bentuk perlawanan yang lebih elegan dan bermakna.
Alyssa menghapus pesan kasar yang nyaris ia kirim ke grup. Sebagai gantinya, ia tidak membalas meme itu sama sekali. Ia hanya membalas Rei: "Oke. Jam 3. Lab. Aku bawa recorder baru."
***
Keesokan harinya, di lab seni yang sunyi (Clara dan Bima tentu saja "berhalangan"), Alyssa dan Rei menyambut Iwan, satu-satunya teman yang bisa dibilang dekat dengan Rei. Iwan terlihat gugup, memainkan ujung bajunya.
"Seriusan direkam?" tanyanya, ragu. "Gue kan nggak bisa ngomong bagus-bagus kayak anak debat."
"Justru itu yang kita mau, Wan," ujar Alyssa, menyiapkan recorder. "Suara asli. Cerita asli. Nggak perlu bagus, yang penting jujur."
Rei mengangguk, memberikan headphone pada Iwan. "Kita mulai pelan-pelan. Pertanyaan pertama: Kapan terakhir kali kamu merasa benar-benar didengar di sekolah? Bukan cuma dengerin, tapi beneran didengerin."
Iwan terdiam lama, matanya menatap lantai. Lalu, pelan-pelan, ia bercerita. Tentang ide kelompok sainsnya yang selalu diabaikan. Tentang saat ia jatuh dari sepeda di parkiran sekolah dan tidak ada yang menolong atau menanyainya, padahal banyak yang lihat. Tentang perasaan "nanggung" – tidak cukup populer untuk dianggap, tidak cukup "nyeleneh" untuk jadi bahan perhatian seperti Rei. "Kadang... kayak jadi furnitur," ujarnya, suaranya lirih tapi menyakitkan. "Ada. Dipake kalo perlu. Tapi nggak pernah beneran diliat."
Alyssa mendengarkan dengan seksama, perhatiannya total. Ia tidak menyela. Tidak menghakimi. Hanya merekam. Saat Iwan selesai, ada keheningan yang berat di lab. Mata Iwan berkaca-kaca.
"Makasih, Wan," ucap Rei, suaranya hangat. "Ceritamu penting."
Alyssa mematikan recorder. "Beneran penting," ia menegaskan, menyentuh lengan Iwan. "Dan kami dengerin."
Iwan mengusap matanya dengan cepat, mencoba tersenyum. "Gara-gara diceritain, jadi agak malu sih. Tapi... anehnya, agak lega."
Pengalaman merekam Iwan menjadi titik balik bagi Alyssa. Ia merasakan kekuatan dari proses ini. Kekuatan untuk memberi ruang. Kekuatan untuk mendengarkan dengan empati. Kekuatan untuk mengakui bahwa setiap orang, bahkan yang "biasa-biasa saja" seperti Iwan (atau Rei), punya cerita dan rasa sakit yang layak didengar. Itu jauh lebih berarti, jauh lebih membebaskan, daripada memikirkan meme jahat Clara atau cibiran di grup.
Mereka merekam beberapa siswa lain dalam beberapa hari berikutnya: seorang kutu buku penyendiri, seorang anggota klub basket cadangan yang jarang main, seorang siswi pendiam yang jago menggambar tapi takut menunjukkan karyanya. Setiap cerita unik, setiap rasa sakit berbeda, tapi benang merahnya sama: perasaan tidak terlihat, tidak cukup, tidak didengar dalam hierarki sosial Permata Bangsa.
Setiap kali rekaman selesai, Alyssa merasakan sesuatu yang baru tumbuh di dalam dirinya: ketahanan. Clara masih melempar tatapan sinis. Meme itu masih tersebar. Bisik-bisik masih ada. Tapi Alyssa tidak lagi merasa terombang-ambing atau malu. Ia memiliki misi yang lebih besar. Ia memiliki suara-suara yang perlu ia perjuangkan. Dan ia memiliki Rei di sebelahnya, diam tapi kokoh, mengingatkannya dengan ketenangannya bahwa kebisingan kebencian itu hanya sekadar kebisingan.
Suatu sore, setelah merekam testimoni yang sangat emosional dari siswi pendiam itu, Alyssa dan Rei duduk di tangga belakang sekolah, menikmati senja. Keheningan kali ini nyaman, penuh rasa pencapaian.
"Tadi... siswi itu," Alyssa memecah kesunyian, "dia bilang merasa karyanya nggak cukup bagus buat diliat orang. Kayak... aku dulu."
Rei memandangi langit jingga. "Tapi lo udah mulai berani retak. Berani tunjukin warna dalem." Ia menoleh ke Alyssa. "Kayak di komik 'Layers'. Topengnya udah mulai retak. Cahayanya mulai keliatan."
Pujian itu, disampaikan dengan lugas oleh Rei, membuat hati Alyssa berdebar kencang. "Karena ada Cahaya Terselubung yang bantuin nerangin gimana caranya," balasnya, tersenyum kecil, menatap Rei penuh arti.
Rei menunduk, tapi Alyssa bisa melihat ujung telinganya yang memerah. "Cahayanya emang dari dalem. Aku cuma... ngasih kaca pembesar."
Alyssa tertawa kecil, hangat. "Kaca pembesar yang penting banget."
Mereka duduk diam lagi, menatap matahari terbenam. Kebisingan meme, tatapan sinis, dan suara-suara kebencian Clara terasa jauh, kalah oleh keheningan penuh pengertian di antara mereka dan gemanya suara-suara "tak terlihat" yang kini mereka simpan di dalam recorder. Perlawanan mereka bukan dengan teriakan, tapi dengan mendengarkan. Dan dalam proses itu, Alyssa menemukan bukan hanya kekuatan untuk proyeknya, tapi juga suara barunya sendiri – lebih jujur, lebih berani, lebih… cukup.