Gaungan, Guncangan, dan Portofolio

Pameran Akhir Semester Seni Budaya Sekolah Tinggi Permata Bangsa biasanya ramai, tapi tahun ini, antrean di depan Ruang Instalasi 3 menarik perhatian khusus. Sebuah papan bertuliskan "THE UNSEEN ECHOES - Masuk sendiri. Dengarkan. Lihat." menggantung di pintu tertutup. Suasana misterius sengaja diciptakan.

Di dalam, ruangan itu gelap gulita, hanya diterangi lampu kecil yang sangat redup di lantai, menuntun pengunjung ke sebuah bangku tunggal. Begitu duduk, headphone nirkabel di samping bangku langsung terhubung secara otomatis. Suara yang tenang (suara Alyssa) membimbing: "Silakan tutup mata. Dengarkan suara mereka yang biasanya tak terdengar."

Lalu, bergantian, testimoni siswa-siswa "tak terlihat" Permata Bangsa mengalun di telinga pengunjung: suara Iwan yang getir tentang jadi "furnitur", suara gemetar siswi pendiam tentang gambarnya yang "tak cukup bagus", suara rendah anggota basket cadangan yang merasa "nanggung". Rekaman itu mentah, emosional, penuh kerentanan yang jujur. Durasi masing-masing hanya dua sampai tiga menit, tapi dampaknya terasa seperti pukulan.

Setelah suara terakhir selesai, lampu di dinding depan pelan-pelan menyala, menyoroti gugus foto besar di tengah ruangan. Bukan foto wajah utuh. Foto-foto itu terdistorsi secara fisik – dikelupas sebagian, digores, dilipat – menyisakan area "rusak" yang menunjukkan lapisan kertas kasar atau ekspresi wajah tersembunyi yang tertangkap kamera sebelum diedit. Di bawah setiap foto, hanya nama panggilan: "Si Kutu Buku", "Cadangan", "Sang Penggambar", "Si Hukuman" (foto Rei yang samar, dengan bagian dahi dikelupas memperlihatkan sketsa kecil cahaya di baliknya), dan "Sang Prisma" (foto Alyssa, dengan bagian pipi dikelupas, memperlihatkan bayangan kelelahan di matanya).

Kesunyian ruangan setelah audio selesai seringkali hanya dipenuhi oleh desahan, isakan, atau bahkan tangisan tersedu dari pengunjung. Banyak yang terdiam lama setelah melepas headphone, memandangi foto-foto yang rusak namun tetap indah itu, merasakan gaungan cerita yang baru saja mereka dengar. Beberapa siswa bahkan mencari narasumber yang mereka kenal setelah keluar, memeluk atau sekadar berkata, "Gue denger lo."

"The Unseen Echoes" menjadi sensasi. Bukan karena mewah atau mencolok mata, tapi karena menyentuh hati dan memantik refleksi. Bu Sari, dengan mata berkaca-kaca, menyatakan ini sebagai "karya visioner yang menggugah nurani sekolah" di depan semua peserta pameran. Guru-guru lain berbisik tentang kedewasaan konsepnya. Siswa-siswa yang bukan bagian dari klik elit mulai berani berdiskusi tentang perasaan "tak terlihat" mereka di koridor. Gaungan suara yang selama ini terabaikan akhirnya terdengar.

Alyssa dan Rei berdiri di samping pintu keluar ruang instalasi, menyaksikan reaksi orang. Kepuasan mendalam, hampir tak terlukiskan, mengisi dada Alyssa. Mereka berhasil. Bersama. Rei, meski wajahnya tetap tenang, matanya berbinar dengan kebanggaan dan kelegaan yang jarang terlihat. Saat jari mereka tidak sengaja bersentuhan saat memberi jalan pada pengunjung, keduanya tidak menariknya. Ada kehangatan yang terjalin di antara mereka, kuat dan nyata.

Namun, kesuksesan itu bagaikan pisau bermata dua bagi Clara. Dengki dan rasa tersaingi yang membara membutakan matanya. Ia melihat pujian untuk Alyssa dan Rei. Ia melihat karya yang ia coba sabatasi malah melambungkan mereka. Ia melihat Rei—si hukuman—dipandang dengan cara baru, bahkan di foto instalasi itu. Api amarah menghanguskan akal sehatnya.

Malam itu, setelah pameran resmi ditutup, saat sekolah sepi dan hanya petugas kebersihan yang masih berkeliaran, bayangan Clara menyusup masuk ke Ruang Instalasi 3. Wajahnya keruh, tangannya menggenggam cutter besar. Ia mendekati panel foto utama. Matanya menyasar foto "Sang Prisma" – foto Alyssa yang sudah terdistorsi. Dengan gerakan cepat dan penuh kebencian, ia mengayunkan cutter, merobek foto Alyssa dari atas hingga ke bawah! Kertas yang sudah dikelupas dengan susah payah oleh Rei sobek tak karuan. "Gak pantes dapet pujian!" geramnya lirih.

Lalu, ia beralih ke peralatan audio. Ia melihat recorder portabel kesayangan Rei yang terhubung ke sistem. Dengan kasar, ia mencabutnya dan menginjak-injaknya hingga casingnya retak. "Dasar budak!"

Ia tidak menyadari lampu merah kecil yang berkedip pelan di sudut ruangan tertinggi. CCTV. Dipasang Bu Sari secara diam-diam setelah kejadian sabotase file, untuk mengamankan karya siswa.

***

Keesokan paginya, kabar duka menyebar. Karya instalasi dirusak! Foto Alyssa robek, recorder hancur! Sekolah gempar. Bu Sari murka. Alyssa, yang datang penuh semangat untuk melihat lagi karyanya, langsung pucat pasi melihat kehancuran itu. Air mata mengalir deras. Bukan hanya karena karyanya rusak, tapi karena kebencian yang begitu keji dan personal.

"Clara... pasti Clara," bisik Alyssa gemetar pada Rei yang berdiri di sampingnya, wajahnya dingin membatu.

Rei tidak langsung menyahut. Matanya meneliti kerusakan, lalu naik ke sudut ruangan. Ia melihat lampu merah CCTV. "Mungkin bukan cuma kata-kata kita yang didenger," ujarnya, suaranya berisi.

Sebelum situasi memanas lebih jauh, sekretaris sekolah datang mendekati Bu Sari dan Kepala Sekolah yang sudah berada di lokasi. Ia berbisik sesuatu sambil menunjukkan tablet. Wajah Kepala Sekolah berubah masam. Bu Sari mengangguk, tatapannya tajam.

"Clara Wijaya, tolong temui Kepala Sekolah dan saya di ruang BK sekarang," ujar Bu Sari, suaranya memotong keriuhan. Suaranya tidak keras, tapi penuh wibawa dan kekecewaan. Semua mata tertuju ke Clara yang tiba-tiba pucat.

"Apa? Kenapa aku? Aku kan nggak—"

"Sekarang, Clara," sela Kepala Sekolah, suaranya tidak bisa ditawar.

Clara terpincut-pincut meninggalkan kerumunan, wajahnya campur aduk antara ketakutan dan kesombongan yang masih tersisa. Alyssa menarik napas dalam. Bukti CCTV. Akhirnya.

Tapi badai belum reda.

Saat Alyssa masih mencoba menenangkan diri di taman sekolah, mencerna penghancuran karya dan penahanan Clara, seorang staf tata usaha mendekatinya.

"Alyssa? Orang tuamu ada di ruang tunggu kepala sekolah. Mereka meminta untuk bertemu denganmu... dan Rei Fajar."

Dingin yang lebih dalam dari malam mana pun menyergap Alyssa. Ibu dan Ayah? Dan Rei? Ini tidak akan baik. Ia menatap Rei yang juga mendengar pesan itu. Rei mengangguk pelan, wajahnya tetap tenang, tapi Alyssa melihat kepalan tangannya di samping tubuh.

"Ayo," kata Rei. Satu kata. Tapi itu memberi Alyssa sedikit kekuatan untuk melangkah.

Di ruang tunggu kepala sekolah yang mewah, suasana tegang langsung terasa. Ibu Alyssa duduk tegang, tas bermerk di pangkuannya, wajahnya kaku dan tidak menyenangkan. Ayah Alyssa berdiri di dekat jendela, tangan disilang, wajahnya berkerut marah. Mereka baru saja berbicara dengan Kepala Sekolah tentang "insiden" instalasi dan "kekhawatiran" mereka.

"Alyssa Chandra!" sambut ibunya begitu Alyssa masuk. "Lihat kau! Berkeringat, mata sembap! Apa yang terjadi dengan prestasi dan penampilanmu? Dan ini semua gara-gara..." Tatapannya yang penuh cela beralih ke Rei yang masuk di belakang Alyssa, "...karena terlalu dekat dengan siswa yang bermasalah ini!"

"Bu, Rei tidak bermasalah!" bantah Alyssa, suaranya bergetar tapi berusaha tegas. "Dialah yang membantu aku membuat karya itu! Yang dirusak Clara karena iri!"

"Bantu?" Ayah Alyssa menyeringai, menatap Rei dari ujung kaki hingga ke kepala—kaos sederhana, celana jeans lama, sepatu kets usang. "Apa yang bisa dia bantu, Alyssa? Lihat dia! Nilainya biasa-biasa saja. Tidak punya prestasi menonjol. Popularitasnya minus! Sekarang karyamu ikut dirusak karena kau berurusan dengan orang seperti dia! Sudah jelas dia membawa masalah!"

Alyssa merasa terhantam. Kata-kata orang tuanya tajam dan merendahkan. Mereka tidak melihat usaha Rei, kejeniusannya yang tenang, kedalaman pikirannya. Mereka hanya melihat 'permukaan' yang tidak memenuhi standar elitis mereka. Air mata kembali menggenang. Ia merasa dikhianati oleh orang yang seharusnya mendukungnya.

"Kami minta kau dijauhkan dari siswa ini, Alyssa," ujar ibunya tegas. "Kepala Sekolah sudah kami minta untuk memindahkan kelompokmu, atau setidaknya memastikan tidak ada lagi kontak di luar akademis yang wajib. Ini demi masa depanmu! Kau punya nama besar untuk dijaga!"

"Tapi—"

"Tidak ada 'tapi'!" potong ayahnya. "Kau sudah membuat kami khawatir cukup lama dengan nilai-nilaimu yang turun dan pergaulanmu yang aneh belakangan ini! Ini batasnya!"

Alyssa membisu. Rasa bersalah karena mengecewakan orang tua bertempur dengan kemarahan karena ketidakadilan pada Rei. Ia ingin berteriak, membela Rei, menjelaskan semua hal baik yang Rei lakukan... tapi kata-katanya tercekat oleh tangisan dan kelelahan. Ia menunduk, bahunya turun, merasa sangat kecil.

Saat keheningan yang memalukan dan menyakitkan menyelimuti ruangan, suara yang tenang namun jelas terdengar.

"Permisi, Bu, Pak."

Semua mata tertuju ke Rei. Ia tidak mundur. Ia melangkah sedikit ke depan, berdiri sejajar dengan Alyssa yang tertunduk lesu. Di tangannya, bukan buku komik, tapi sebuah map folio hitam sederhana.

"Saya Rei Fajar. Dan saya ingin sedikit menjelaskan, kalau boleh." Suaranya tidak grogi, tidak membela diri, hanya tenang dan hormat.

Orang tua Alyssa terkejut, lalu mencibir. "Apa lagi yang mau kau jelaskan?" tanya ayah Alyssa sinis.

Rei membuka map folio-nya. Di dalamnya, bukan gambar komik,

melainkan lembaran-lembaran rapornya yang rapi, nilai-nilainya stabil di kisaran 7-8 (B-B+), tidak pernah merah. Di sampingnya, sertifikat penghargaan "Pelanggan Setia & Kontributor" dari Omah Komik Pak Didi. Lalu, print out email ucapan terima kasih dari seniman lokal yang menggunakan desain sampulnya. Dan yang paling mencolok: foto-foto detail proses pembuatan instalasi "The Unseen Echoes" – Rei yang sedang menyolder kabel, memanipulasi foto dengan hati-hati, mendengarkan rekaman testimoni dengan konsentrasi penuh, dan beberapa sketsa konsep asli instalasi itu di buku gambarnya, bertanggal sebelum pembagian kelompok.

"Saya mungkin tidak mencolok, Pak, Bu," ujar Rei, suaranya jernih. "Saya tidak juara olahraga atau pemimpin organisasi. Nilai saya memang biasa, tapi stabil. Saya tidak bermasalah secara akademik atau disiplin." Tangannya menunjuk dokumen-dokumen itu. "Tapi saya punya kemampuan lain. Saya mengerti seni visual, suara, dan cerita. Saya bisa bekerja keras dan tekun. Dan saya," ia menatap Alyssa yang sekarang menatapnya dengan mata berkaca-kaca penuh harapan dan terima kasih, "saya menghargai Alyssa bukan karena popularitas atau namanya. Tapi karena kerja kerasnya, ide-idenya yang cemerlang, dan... keberaniannya untuk melihat di balik permukaan. Seperti yang kami coba tunjukkan di instalasi itu."

Ia berhenti sejenak, menarik napas. "Saya tidak membawa masalah, Pak, Bu. Malah, saya berusaha membantu menyelesaikan masalah melalui proyek itu. Masalah tentang suara yang tidak didengar, tentang orang yang tidak dilihat." Ia menutup map folio-nya. "Saya hanya meminta kesempatan untuk dihakimi bukan dari penampilan atau rumor, tapi dari apa yang bisa saya lakukan dan kontribusikan. Seperti Alyssa yang memberi saya kesempatan itu."

Ruang tunggu sunyi. Keheningan kali ini berbeda. Bukan tegang, tapi terpaku. Orang tua Alyssa memandangi dokumen di map Rei, lalu memandangi Rei sendiri. Ekspresi kemarahan dan prasangka di wajah mereka perlahan mencair, digantikan keheranan dan... mungkin, secercah rasa malu? Mereka melihat bukti konkret. Mereka melihat ketenangan dan keberanian Rei yang sesungguhnya. Mereka melihat dedikasi. Dan yang paling penting, mereka melihat cara Rei memandang anak mereka – dengan respek dan pengakuan atas kemampuan Alyssa sendiri, bukan karena nama keluarganya.

Ibu Alyssa adalah yang pertama menelan ludah. "Kau... kau merancang instalasi itu juga?" tanyanya, suaranya jauh lebih kecil.

"Konsep utama Alyssa, Bu," jawab Rei jujur. "Saya membantu mewujudkannya secara teknis dan visual, dan sedikit memberi masukan. Itu kerja tim."

Ayah Alyssa menghela napas panjang, menatap Alyssa yang masih memandang Rei dengan mata berbinar penuh kekaguman dan dukungan. "Alyssa..."

Alyssa memanfaatkan kesempatan itu. "Ibu, Ayah, Rei itu... spesial. Dia melihat hal yang orang lain lewatkan. Dia membantuku melihat hal-hal baru... termasuk melihat diriku sendiri. Karyanya, integritasnya... itu jauh lebih berharga dari sekadar popularitas kosong." Air matanya akhirnya tumpah, tapi kali ini air mata kebanggaan dan keyakinan. "Jangan minta kami dipisahkan. Tolong."

Orang tuanya saling pandang. Pertengkaran dan tuntutan mereka tadi tiba-tiba terasa dangkal dan memalukan di hadapan ketenangan bukti Rei dan keteguhan anak mereka. Ibunya meraih tangan Alyssa, bukan dengan marah, tapi dengan pelukan. "Kami... kami perlu bicara lebih banyak, Sayang. Berempat mata."

Kepala Sekolah, yang diam-diam mengamati dari balik pintu, akhirnya memasuki ruangan. "Mungkin kita bisa lanjutkan diskusi ini di ruang saya, dengan kepala dingin? Saya juga punya rekaman CCTV terkait perusakan yang perlu ditindaklanjuti." Ia memberi isyarat ke orang tua Alyssa. "Dan untuk masalah kelompok, saya rasa prestasi 'The Unseen Echoes' berbicara sendiri. Memisahkan tim yang sudah terbukti sukses justru tidak adil, bukan?"

Orang tua Alyssa, meski masih terlihat kikuk, akhirnya mengangguk. Mereka mengikuti Kepala Sekolah, meninggalkan Alyssa dan Rei sendirian di ruang tunggu.

Alyssa segera menghampiri Rei. "Rei... tadi..." Ia tidak bisa melanjutkan. Terlalu banyak emosi.

Rei menutup map folio hitamnya. 'Mereka perlu lihat bukti. Bukan cuma dengar kata orang." Ia menatap Alyssa. "Dan kau... kau kuat tadi. Berani."

Alyssa tersenyum di balik air mata. "Karena ada cahaya terselubung yang kasih aku kaca pembesar buat liat jalan." Tanpa berpikir, ia meraih tangan Rei dan memegangnya erat. "Terima kasih. Untuk semuanya."

Rei tidak menarik tangannya. Ia membalas genggaman itu, lembut tapi pasti. Telinganya memerah, tapi senyum kecil yang tulus dan hangat—bukan sekadar kerutan—akhirnya muncul di wajahnya. Senyum yang sepenuhnya untuk Alyssa.

"Sama-sama. Alyssa."

Di luar ruangan, badai belum sepenuhnya berlalu. Clara masih harus menghadapi konsekuensi. Orang tua Alyssa masih perlu didamaikan. Tapi di ruang tunggu itu, dengan tangan yang saling terikat dan senyum pertama Rei yang sepenuhnya terbuka, sebuah lapisan baru dalam hubungan mereka mulai terbentuk. Lebih dalam. Lebih berani. Dan kali ini, dilihat dan diakui oleh cahaya yang bersinar dari keduanya.