chapter 1

Suara pecutan cambuk terdengar memekakkan telinga di ruangan lembap dan minim pencahayaan itu.

Sean duduk santai, menopangkan kaki sambil menyesap nikotin favoritnya. Matanya menatap dingin pada sang korban yang terus berteriak meminta ampun.

"Aku tanya sekali lagi. Di mana kau sembunyikan narkoba itu?"

Ia bangkit, membuang puntung rokok lalu menginjaknya dengan perlahan. Tangan kekarnya menjambak rambut pria itu, yang sudah berlumuran darah hingga kepala korban mendongak menatapnya.

"KATAKAN DI MANA BARANG MILIKKU KAU SEMBUNYIKAN, PENGKHIANAT!"

Sean menggertakkan giginya. Sorot matanya tajam menembus pertahanan terakhir pria itu.

"Di... di gudang pendingin..." jawab korban tercekat. Ia tak sanggup lagi menerima siksaan, dua puluh cambukan sudah mendarat ke tubuhnya.

"Bagus." Sean menepuk-nepuk wajah pria itu, seolah menghargai kejujurannya. "Dulu kau anak buahku. Sayang, sekarang hanya sampah."

Lalu ia berbalik, menatap semua anak buahnya yang menunduk patuh.

"Dengar baik-baik. Jika ada di antara kalian yang coba-coba bermain api denganku... maka bersiaplah menanggung akibatnya."

"Singkirkan dia!" perintahnya lantang. Suara baritonnya menggema dalam ruangan.

Semua langsung bergerak. Mereka tahu siapa Sean Rajendra tuan muda kejam yang tak pernah memberi ampun pada pengkhianat.

~~~

Pria itu menghirup udara dalam-dalam. Setelah sekian lama di luar negeri, akhirnya ia kembali ke tanah air.

Enam mobil mewah berwarna hitam pekat berhenti di depan sebuah gedung pencakar langit. Di sana tertulis:

"RAJENDRA COMPANY"

Sean turun dari mobil, melepas kacamata hitamnya. Ia menyunggingkan senyum singkat menatap megahnya perusahaan itu, harta warisan dan bukti kejayaannya.

Seluruh ruangan berubah mencekam. Para karyawan menunduk hormat ketika Sean berjalan melewati lorong-lorong. Wajahnya dingin, auranya menakutkan.

Ia memasuki ruang CEO, duduk santai di kursi kebesarannya. Tangannya mengusap lencana nama dan meletakkannya kembali di atas meja berdesain mewah itu.

Namun ketenangannya tak berlangsung lama.

Tok! Tok!

"Masuk," titahnya datar.

Seorang wanita modis masuk membawa tumpukan laporan. Ia menunduk tanpa berani menatap sang CEO.

Sean mengambil laporan itu, lalu melemparnya hingga kertas-kertas berserakan di lantai.

"Singkirkan semuanya. Panggil penanggung jawabnya atau kau ku pecat," ucapnya tajam.

Wanita itu menahan air mata. Tangannya gemetar saat memunguti berkas-berkas. Andai saja gajinya tak besar, ia sudah resign sejak lama.

~~~~

Sean menatap keluar jendela gedung lantai 58 itu. Kota terlihat kecil di bawah sana, seolah semua orang bisa ia injak kapan saja.

Kecuali orang-orang yang berguna baginya. Sisanya? Hanya sampah yang bisa dibuang kapan saja.

Tak lama, dua orang anak buahnya menyeret masuk seorang pria.

Sean berbalik. Matanya menyipit, senyum sinis merekah.

"Mark Davidson... kau rupanya?"

Ia jongkok, mencengkeram pipi pria itu dengan keras. Mata elangnya menatap tajam hingga Mark hampir menangis.

"Aku tak suka sampah mengotori perusahaan ku. Berlutut. Minta maaf... jika kau masih ingin hidup."

Crash!

Sebuah vas bunga dihantamkan ke lantai, pecah tepat di samping kaki Mark.

Tanpa pikir panjang, Mark langsung berlutut, menangis dan memohon ampun. Ia mengakui telah menggelapkan dana perusahaan. Tak pernah menyangka perbuatannya begitu cepat tercium Sean, padahal pria itu baru sehari kembali ke kantor.

Sean Rajendra bukan pewaris bodoh. Ia bukan hanya punya harta, tapi juga pengawasan dan kekuasaan.

"Pungut semua pecahan kaca itu dengan mulutmu," ucap Sean seraya menodongkan pistol ke kepala Mark.

"Atau... pilih kepalamu berlubang?"

Mark gemetar. Ia memilih luka di lidah daripada kematian. Dengan tubuh gemetar dan air mata bercucuran, ia mulai memunguti pecahan kaca satu per satu dengan mulut.

"Awasi dia sampai selesai," perintah Sean, lalu meraih jas hitamnya dan pergi.

~~~~

Ia masuk ke dalam mobil mewah, lalu rombongan enam kendaraan itu melaju kencang membelah kota. Tujuan mereka yaitu sebuah pantai dengan pasir putih dan kerikil kecil.

Sean turun. Ia membuka jas, melepas dasi, lalu berkata datar

"Tinggalkan aku sendiri."

Ia melangkah ke tepi pantai, tempat kenangan lamanya terkubur.

Di sinilah dulu ia melarikan diri dari ocehan orang tuanya, tekanan masa remaja, kenakalan di sekolah. Semua kembali diingatkan.

Ia membuang puntung rokok ke pasir. Langit mulai berwarna jingga.

Terkadang ia bertanya dalam hati, Apakah aku masih punya nurani?

Jika di saat seperti ini... ia hampir menangis. Mengingat Kematian kedua orang tuanya dalam kecelakaan tragis bertahun-tahun lalu.

~~~

"Bos kita kenapa ya?"

Bisik salah satu penjaga dari kejauhan.

"Lagi galau mungkin," celetuk yang lain.

"Shut! Diam. Mau ketahuan?!

Apa kalian udah bosan hidup?"

"Tapi gue kayak bisa nyium bau tanah dari kalian berdua nih."

"Sialan lo!"

Mereka semua diam ketika Sean menoleh ke arah mereka. Tatapannya seperti bisa membaca pikiran dan tahu apa yang sedang mereka bicarakan.

~~~

Flashback

Sean duduk di pasir, lutut ditekuk, kepalanya tertunduk. Ia menangis dalam diam.

Seragam putih abu-abu penuh darah. Ia baru saja menyaksikan mobil orang tuanya terguling dan terbakar.

Ia berhasil menarik sang mama keluar dengan tubuh penuh luka dan wajah berlumuran darah. Tapi sang papa tak sempat tertolong. Mobil meledak sebelum siapa pun bisa menolong.

Sean trauma. Hampir setiap hari, ia kembali ke pantai ini.

Suatu hari, seorang gadis datang. Rambutnya panjang, mendorong sepeda kecil. Ia duduk di samping Sean dan tersenyum manis.

Sean menoleh sebentar, lalu buang muka.

Gadis itu menyodorkan sapu tangan pink-nya.

"Hidup memang nggak mudah. Kadang dunia nggak ngizinin kita bahagia, meski udah berusaha. Tapi... kebahagiaan itu tetap ada, asal kita masih bisa bernapas. Bukan?"

Ia bangkit, meninggalkan sapu tangan di sebelah Sean. Pergi dengan sepeda dan bunga di keranjangnya.

Sean menatap punggung gadis itu lama.

"Dasar sok tahu," gumamnya singkat.

Lalu mengambil sapu tangan dan melihat tulisan di sudutnya.

Alana Seika

Ia tersenyum kecil.

"Nama yang cantik..."

(Luka masa lalu tak pernah benar-benar hilang. Mereka hanya menunggu waktu untuk menyapa kembali)