chapter 2

Keringat membasahi tubuh kekar Sean Rajendra setelah tiga puluh menit lebih berolahraga. Ia mengusap wajahnya dengan handuk kecil, lalu meneguk air mineral hingga habis.

Sosoknya mencolok, tubuh tinggi atletis, otot menonjol, alis tebal, dan sorot mata tajam bagai elang pemburu. Rahangnya tegas, bibirnya tipis, dan jarang sekali tersenyum kecuali setelah menuntaskan urusan kotor tanpa harus mengotori tangannya sendiri.

Namun semua itu belum cukup menggambarkan siapa Sean Rajendra sebenarnya.

Dingin. Dingin seperti es yang membeku di ujung dunia.

Ia memiliki kemampuan luar biasa dalam membaca ekspresi lawan bicara hanya dalam hitungan detik. Ia tahu, apakah orang itu sedang jujur... atau penuh tipu daya.

Tak hanya cerdas dalam strategi dan bisnis, Sean juga dikenal sebagai pria tanpa hati. Bukan karena ia kejam, tapi karena hatinya memang telah lama mati.

Tak ada yang bisa menyentuhnya.

Kecuali satu.

Gadis kecil yang pernah memberinya sapu tangan berwarna pink dan senyum tulus yang membekas hingga kini.

Pintu terbuka tiba-tiba. Ben, tangan kanan sekaligus orang kepercayaannya, masuk dengan tergesa.

"Ada masalah," ujar Ben, napasnya sedikit terengah.

Sean hanya menoleh singkat, lalu menyodorkan botol air mineral pada pria bernama lengkap Benedict Zhang berdarah Indo-Taiwan itu.

“Mr. Gozaev dari Rusia menipu kita. Bubuk yang dikirim bukan kualitas premium seperti permintaan Tuan. Nilainya jauh di bawah standar.”

Wajah Sean mengeras. Ia meremas botol air hingga hancur di tangannya.

“Kerugian?”

“Lima belas juta dolar,” jawab Ben. “Orang-orang kita sedang memburunya. Info terakhir, ia kabur ke Vladivostok bersama istri dan anaknya.”

Sean mengepalkan tangan. "Siapkan semuanya. Kita terbang malam ini."

~~~~

ALANA SEIKA

Di halaman panti asuhan, seorang gadis kecil berambut sebahu tengah memainkan boneka lusuh kesayangannya. Senyumnya merekah saat ibu panti datang bersama sepasang suami-istri yang memandangi dirinya dari kejauhan.

“Cantik sekali anak itu. Namanya siapa?” tanya sang wanita berambut pendek.

“Namanya Alana. Baru sepuluh tahun. Dia penurut dan rajin.”

“Apakah Anda berminat mengadopsinya?” Ibu panti tersenyum, lalu menyiratkan makna di balik gerakan dua jarinya.

“Semua bisa dipermudah... asal biayanya sesuai.”

Pasangan itu saling bertukar pandang dan mengangguk.

Tapi Alana yang mengendap-endap hendak menyapa, terhenti ketika mendengar percakapan mengejutkan.

“Anak itu cantik. Saat dewasa nanti, kita bisa menjualnya ke pria-pria kaya.”

“Betul. Aset masa depan. Harus kita rawat baik-baik.”

Mata hazel kecil itu membulat. Ia menutup mulut dan lari secepat mungkin, bersembunyi di gudang belakang. Di sana, Dirgantara, anak laki-laki yang lebih tua setahun darinya, menemukannya menangis tersedu.

“Ada apa, Lana? Aku dengar mereka mau mengadopsi mu, tapi kenapa kau malah menangis?”

“Aku dengar... mereka mau menjual ku saat dewasa...” isaknya.

Dirgantara langsung memeluknya. “Tenang. Kakak punya ide.”

Alana menghapus air mata dan menatap Dirgantara penuh harap.

“Berpura-pura lah jadi bisu. Kalau mereka pikir kamu tidak bisa bicara, mereka pasti kehilangan minat, aku pernah membaca sebuah novel tentang itu.”

Dirgantara memberinya buku bahasa isyarat. Dari mana anak 11 tahun itu mendapatnya, Alana tak tahu.

Dan sejak saat itu, Alana memulai misinya.

Ia tetap diam saat diajak bicara, bahkan ketika telah sampai di rumah orang tua angkatnya. Hari demi hari berlalu, dan ia masih tak mengucapkan sepatah kata pun.

Adeline, sang ibu angkat, mulai frustrasi.

“Heh! Lihat ke sini! Kenapa kau diam saja?!”

“Dia... jangan-jangan bisu?” gumam Gaston.

“Tidak mungkin! Kita bayar mahal, Pa!” teriak Adeline.

"Bagaimana jika dia mengadu?" ucap Gaston mulai gusar.

"Mengadu bagaimana? Dia saja bisu!" Sergah Adeline dengan cepat.

Gaston bangkit dengan amarah. “Kau pikir dia tidak bisa menulis? Ah, sudahlah aku pusing!" Gaston beranjak pergi keluar.

~~~

Tahun demi tahun berlalu. Saat usianya menginjak 18 tahun, Alana berkali-kali dijual secara diam-diam pada pria-pria kaya. Tapi tak satu pun yang menginginkannya.

“Aku ingin gadis yang bisa bicara! Yang sempurna!”

“Gadis bisu? Menjijikkan! Bawa dia pergi!”

"Bawa dia pergi, dasar kalian penipu!"

Akhirnya, Alana ‘gagal’ dijual. Tapi ia harus menebusnya dengan bekerja keras setiap hari. Membersihkan rumah, mencuci, melayani kebutuhan kedua orang tua angkatnya dan mencari uang.

Tiap malam, ia berdoa agar bisa bebas... dan suatu hari bertemu kembali dengan Dirgantara.

~~~

Hari itu, Alana pulang dari bekerja membersihkan rumah sepasang lansia yang tinggal sendiri. Mereka baik hati, dan sang nenek mengerti bahasa isyarat.

(“Oma, Alana boleh minta bunga di taman depan?”)

“Tentu, ambil saja yang kau suka, sayang.”

Senyum Alana merekah. Ia mengayuh sepeda mininya menuju pantai terdekat. Di sana, ia melihat pria yang sudah beberapa kali ia temui, duduk diam menatap lautan.

Ia menghampiri dan duduk di sampingnya. Pria itu tampak murung. Alana menyodorkan sapu tangan pink miliknya. Tapi pria itu diam saja.

Alana berpikir, mungkin tak apa jika ia bicara sekarang, orang ini kan tidak mengenalnya.

~~~

Di Rusia

"Mr. Gozaev dan keluarganya ada di dalam, Tuan."

Sean masuk ke gudang kosong. Pria tua itu bersama istri dan putranya yang masih kecil telah diikat.

“Tuan... ampunilah kami... anak kami masih kecil... dia tak tahu apa-apa...” ratap istrinya.

Sean menatap anak itu, lalu kembali pada Gozaev. "Kau tahu kenapa aku repot-repot terbang ke sini?"

“Maafkan saya... ambil nyawa saya saja... jangan sakiti mereka...”

"Bukankah dia anak yang kalian nantikan kehadirannya setelah 11 tahun?"

"Tuan, ampuni kami, jangan sakiti putra kami! Raung wanita itu berderai-derai air mata.

Sean mengangguk pada anak buahnya. Ikatan istri dan anak itu dilepaskan.

Wanita itu berlutut, berterima kasih. Tapi Sean justru menyodorkan pistol.

“Jika kau ingin anakmu hidup... tembak suamimu.”

Tangan wanita itu gemetar hebat. Ben membius anak kecil itu hingga pingsan, agar tak melihat ayahnya mati.

Dor!

Peluru melesat. Gozaev tumbang seketika. Wanita itu menangis histeris.

“Cukup. Bawa anakmu pergi. Lupakan semua ini. Dan... jangan pernah lapor polisi.”

~~~

Keesokan harinya, Sean kembali ke Indonesia.

“Wajah Anda pucat, Tuan,” kata Ben.

“Cari obat sakit kepala,” ujar Sean sambil memijat pelipis.

Saat Ben pergi, seorang gadis tiba-tiba mengetuk kaca mobil.

Sean menurunkan kaca setengah, dan melihat gadis itu menggunakan bahasa isyarat, meminta bantuan. Tanpa banyak pikir, Sean membuka pintu dan mempersilakannya masuk.

Ben kembali dan terkejut.

“Nona, Anda tak bisa masuk sembarangan!”

Tapi gadis itu hanya memohon, lalu menunduk ketika beberapa pria berbadan besar berlarian mencarinya.

“Jalan saja,” titah Sean.

“Baik, Tuan.”

Alana akhirnya selamat. Ia memberi isyarat terima kasih dan minta turun. Sean menatap ekspresi wajahnya... dan hatinya seolah di hentak sesuatu.

Senyuman itu...

Setelah gadis itu pergi menuju toko bunga, Sean bergumam pelan

“Alana Seika... akhirnya, kita bertemu lagi.”

Dalam hati, Sean bersumpah ia akan mencari tahu... dan membawa gadis itu kembali ke sisinya.

Dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun... senyuman kembali menghiasi bibir dinginnya.