chapter 3

"Ini informasi yang Tuan minta,"

Ben meletakkan sebuah amplop cokelat di atas meja.

Sean menaruh gelas wine yang sudah tinggal setengah, lalu langsung menyambar amplop itu dan membukanya dengan hati-hati.

"Gadis itu tinggal bersama orang tua angkatnya sejak diadopsi pada usia 10 tahun. Nama orang tuanya, Gaston dan Adeline. Setelah saya selidiki lebih dalam, ternyata kedua orang itu dulu pernah menjual beberapa gadis kepada pria-pria kaya."

Sean membenarkan letak kacamatanya. Matanya tajam menyisir biodata Alana.

"Tidak ada riwayat penyakit apa pun?" tanyanya, mengernyit heran.

"Benar, Tuan. Tidak ada penyakit serius. Hanya saja, menurut warga sekitar, Alana adalah gadis bisu yang menggunakan bahasa isyarat sebagai sarana komunikasi. Dan yang saya dengar... setelah dia berusia 18 tahun, kedua orang tua angkatnya mencoba menjualnya juga."

Rahang Sean mengeras. Urat-urat di lehernya tampak jelas, menandakan kemarahan yang mulai mendidih.

"Jaga dia untuk sementara waktu. Aku akan membawanya ke sisiku di waktu yang tepat."

Ben mengangguk. Dalam hati, ia bertanya-tanya. Tuan mudanya yang selama ini tak pernah peduli pada cinta atau wanita, tiba-tiba menginginkan seorang gadis bisu? Tapi ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh.

~~~

ALANA

Alana meremas ujung roknya, menahan suara agar tak keluar.

Yang bisa ia lakukan hanyalah meneteskan air mata ketika sabetan ikat pinggang kembali mendarat di punggungnya. Entah sudah berapa banyak bekas merah yang menggores kulitnya. Luka lama belum sembuh, luka baru kembali ditambahkan.

Gaston kerap melakukannya setiap kali Alana tak berhasil membawa uang lebih. Uang itu pun hanya digunakan pria paruh baya itu untuk minuman dan judi.

Sementara Adeline hanya berdiri di sisi ruangan, berkacak pinggang, menatap tajam.

"Seharusnya kau tahu diri. Kami tak bisa menjual mu karena kau bisu! Para pria kaya tak mau gadis cacat sepertimu. Jadi setidaknya balas budi dengan hasilkan lebih banyak uang!"

Setelah puas, Adeline menyeret Alana ke gudang dan menguncinya hingga pagi. Tempat itu lembap, penuh debu dan tikus.

Alana sudah lama ingin kabur, namun selalu tertangkap dan disiksa lebih parah. Ia sudah terbiasa tidur beralaskan lantai dingin dan bertemankan tikus.

ALANA POV

“Aku memarkirkan sepeda miniku di tempat biasa dan masuk ke toko bunga, tempatku bekerja.”

“Luka di punggungku perih sekali saat bergesekan dengan bajuku. Shh...” aku mendesis pelan.

Di dalam, kulihat dua rekan kerjaku dan Nyonya Joanna, pemilik toko. Aku menyapa mereka dengan gerakan isyarat yang telah ku pelajari dari buku pemberian Kak Dirgantara. Aku tidak tahu bagaimana kabarnya sekarang, tapi aku rindu.

"Alana, kau pasti belum sarapan, kan? Ini, makanlah."

Nyonya Joanna menyodorkan roti dan susu hangat.

Aku tersenyum dan mengangguk, bersyukur karena masih dikelilingi orang-orang baik.

"Makanlah pelan-pelan. Donna, Arini, ayo cepat, sepertinya ada pelanggan di luar."

Di depan, enam mobil hitam mewah parkir rapi. Sean keluar dengan kacamata hitam dan jas mahal. Di belakangnya, Ben dan anak buahnya mengikuti.

Nyonya Joanna agak panik tapi berusaha tenang. Ia menyambut Sean dengan sopan.

"Selamat datang, Tuan. Apakah Anda mencari bunga untuk pernikahan? Kekasih? Atau... "

Sean tak langsung menjawabnya melainkan menatap kesekitar, bukan bunga yang ia cari melainkan Alana.

"Maaf, tuan... "

"Saya beli semua yang ada di sini."

Jawab Sean, dingin dan kharismatik. Mereka semua melongo.

"Saya beli semuanya. Itu kurang jelas?"

Tanpa banyak tanya, pegawai toko langsung bekerja dengan semangat. Nyonya Joanna bersorak dalam hati, pelanggan sekaya ini baru pertama kalinya.

Sean mulai bosan. Ia memutar tubuh hendak keluar, namun berhenti saat mendengar nama itu disebut.

"Alana, selesaikan dulu sarapanmu. Kau kelihatan tak sehat. Apa Pak Gaston menyakitimu lagi?" tanya Arini.

Aku mengisyaratkan bahwa aku baik-baik saja. Tapi noda darah di bajuku mengkhianati ku.

"Punggungmu berdarah, Alana!"

Dari balik dekorasi bunga, Sean mengintip. Mata elangnya membelalak saat melihat bekas luka di tubuh Alana. Tangannya mengepal, rahangnya menegang.

~~~

Lima mobil penuh dengan bunga kini menuju kediaman Sean.

"Baru kali ini bos mafia menyuruh kita nanam bunga."

"Mungkin bos pengen ganti suasana, kali,"

"Nggak masalah yang penting apa?"

"gaji kita makin gede, bro!"

~~~

"Ada apa, Tuan memanggil saya?"

Ben berdiri di hadapan Sean.

Sean melempar foto Gaston ke meja.

"Bawa dia ke tempat biasa. Aku ingin bermain-main sebentar."

Tak butuh dua jam. Gaston sudah terikat di ruang gelap penuh bau darah dan besi.

Ben menyiram air ke wajahnya. Gaston terbangun, ia mengumpat.

"Siapa kalian?! Aku tak ada urusan dengan kalian!"

Sean berdiri tenang, menatapnya dari balik kegelapan.

"Gastonio Hendrick. Penjudi, pecandu alkohol, tinggal bersama istri dan anak angkat dari Panti Asuhan Sinar Mentari... Betul, kan?"

Gaston terdiam. Matanya membulat.

"Siapa kau?!"

Sean mendekat, lalu berbisik.

"Aku? Malaikat. Malaikat yang akan mencabut nyawamu."

Tawanya menggema, dingin dan menyeramkan.

"Terima kasih telah 'merawat' Alana. Tapi menyakitinya... Itu kesalahan fatal."

Sean melangkah mundur. "Cambuk dia seperti dia mencambuk Alana ku."

"Berikan bubuk itu sebanyak yang kau inginkan, Ben. Biar dia merasakannya sekali sebelum mati."

Tak lama kemudian, Gaston kejang-kejang. Busa keluar dari mulutnya. Tubuhnya menegang akibat overdosis heroin.

"Bersihkan lalu Buang ke laut. Ikan-ikan suka daging yang alot akhir-akhir ini," ujar Ben, datar.

~~~

ALANA

“Aku membuka pintu perlahan, memastikan ayah tak ada di ruang tamu. Hari ini, aku bisa beli obat untuk luka-luka di punggungku. Nyonya Joanna memberiku gaji dua kali lipat. Aku sangat bersyukur.”

“Tapi... sakit sekali. Bagaimana aku mandi? Aku takut infeksi.”

Sebagian uangnya aku sembunyikan sebelum mereka tahu.

Keesokan harinya, Adeline resah. Ponsel suaminya tak aktif.

"Kemana dia pergi? Jangan-jangan tidur di tempat judi lagi!"

Wanita itu pun pergi dengan langkah tergesa-gesa.

Sementara itu, aku menyiapkan koper. Aku akan kabur hari ini. Semoga berhasil...

Namun harapan itu pupus saat kulihat empat anak buah Adeline berjaga di luar.

“Tunggu... mereka siapa?”

Dua mobil hitam berhenti. Orang-orang bertopeng turun, melumpuhkan penjaga dengan mudah.

Aku terkejut, menutup mulut agar tak menjerit.

Tiba-tiba... bau menyengat menusuk hidungku. Seseorang menutup mulutku dengan sapu tangan berisi obat bius.

---

Sean menatap wajah cantik Alana penuh kagum. Ia mendekat dan mengangkat tubuh mungil gadis itu ke dalam gendongannya.

"Bahkan saat terpejam pun, kau terlihat sangat cantik, Alana,"

Saat di mobil, Sean teringat akan luka di punggung Alana.

"Ben, kita ke rumah sakit sekarang," titahnya tegas tanpa memberi kesempatan siapa pun untuk membantah.