(第一章 - 九時ちょうど)
Musim gugur di Mizukagami selalu datang diam-diam.
Tanpa peringatan, hanya sisa embun yang lebih dingin di kaca jendela, dan suara kaki-kaki berlari kecil di atas daun yang gugur.
Pagi itu pun demikian.
Di gerbang Shinmeikan Kōkō (神明館高校), angin membawa aroma logam samar. Langit biru pucat, seolah menunggu sesuatu yang tak kasat mata. Jam masih menunjuk 08:37 saat Hirose Toyonobu melangkah masuk, menapaki lantai batu tua sekolah itu seperti hari-hari biasanya. Tak ada yang spesial.
Tapi ia tahu. Sesuatu terasa... tidak sinkron.
Murid-murid bertebaran di lorong Hōnkan (本館)—bangunan utama yang dinding kayunya sudah mulai retak, menyimpan suara bisikan masa lalu. Suara sepatu, tawa lepas, denting loker. Hiruk pikuk SMA yang begitu familiar, tapi pagi itu... semuanya seperti terdengar dari balik kaca.
Toyonobu mendaki tangga ke lantai tiga. Kelas 3-A.
Tempat duduknya di dekat jendela, paling belakang. Selalu di situ.
Dunia baginya cukup diamati dari sisi ini. Dunia... dan langit.
“Hirose.”
Suara itu datang dari Yano, yang sudah bersandar setengah tidur di bangkunya.
“Katanya kelas 3-B mulai sok aneh lagi. Kayak ada yang disembunyikan.”
“Biasa.” Hirose menjawab datar, menatap langit luar. “Mereka selalu seperti itu setelah... kejadian itu.”
Yano tak menanggapi. Ia tahu batas.
Mereka semua tahu batas. Tidak ada yang membicarakan insiden tahun lalu secara langsung. Kematian. Tapi entah kenapa, bayangannya terus membekas di balik kaca jendela kelas ini.
Jam digital di layar proyektor berganti. 08:59.
Wali kelas, Fujimoto-sensei, tengah menjelaskan tentang Restorasi Meiji. Suaranya serak, monoton. Kelas mulai terasa hampa.
Toyonobu menoleh ke luar.
Langit... retak.
Bukan sekadar mendung. Tapi gelap. Seperti seseorang menumpahkan tinta hitam ke atas dunia. Lalu merah—mendalam, seperti luka terbuka di langit.
Detik berikutnya... Mizukagami menghilang.
Gedung, jalanan, pepohonan—semuanya lenyap di balik kabut kelam.
Yang tersisa hanya sekolah. Shinmeikan berdiri sendiri di tengah kehampaan. Langit di atasnya membara merah.
Seolah mereka tersisa di dunia yang tak lagi sama.
“Woi... apaan itu...?”
“Ini... gak masuk akal...”
“Kota... hilang?!”
Kepanikan menjalar pelan seperti jamur. Murid-murid berdiri. Beberapa mencoba membuka pintu kelas. Terkunci.
Ponsel... mati.
Internet... nihil.
Jam dinding retak. 09:00.
Lalu, suara itu datang.
Krrkk... krrrk...
Speaker tua di pojok kelas, yang tak pernah menyala sejak festival budaya dua tahun lalu, mendadak berbicara. Suaranya seperti dari bawah tanah.
–「第二の輪が始まる。ようこそ。」–
Putaran kedua telah dimulai. Selamat datang kembali.
Sunyi.
Sunyi yang menyesakkan.
Fujimoto-sensei menjatuhkan spidol. Matanya membelalak. Mulutnya bergerak-gerak, seperti ingin bicara...
Lalu tubuhnya roboh, menghantam lantai dengan suara “thud” yang terlalu nyata.
Satu detik. Dua detik. Tidak ada yang berani bergerak.
Toyonobu perlahan berdiri. Matanya menatap langit merah dari balik kaca.
Langit itu... mengingatkannya pada sesuatu. Pada mimpi buruk yang dulu ia kira sudah lama berakhir.
“Ini bukan awal... Ini kelanjutan.”