1.Prolog

“Dulu, dunia ini bernafas lewat mesin.”

Aku tahu — anak-anak sekarang mungkin tak akan percaya hal itu. Di kota ini, apa yang tersisa? Tembok tinggi, senjata tua, mesin-mesin berkarat yang sulit untuk dinyalakan. Mereka tumbuh di dunia yang terluka, dan bagi mereka... inilah satu-satunya dunia yang pernah ada. Mereka tak tahu... seperti apa dunia sebelum langit pecah.

Aku ada di sana. Di Ostera Pusat, saat itu. Kota terbesar manusia. Kaca, baja, menara yang menusuk awan. Jalan-jalan luas yang selalu bersih. Di bawah tanah — superkomputer yang mengendalikan iklim. Robot-robot asisten yang berjalan di trotoar. Terapi umur panjang, yang membuat umur enam puluh terasa seperti tiga puluh. Semua itu... normal bagi kami. Rutin. Seolah dunia tak akan pernah berhenti.

Hingga hari itu. Hari yang sekarang dipanggil... Hari Retakan.

Tidak ada peringatan. Tidak ada kilat. Tidak ada dentuman.

Tidak ada yang terbakar. Tidak ada puing yang beterbangan. Hanya seolah terjadi ledakan senyap.

Kami semua hanya merasa... tekanan. Di dada, di kepala. Seperti napas yang ditahan paksa. Seperti ruangan yang semakin sempit... padahal udara tetap di sana. Suara aneh — tak terdengar, tapi terasa. Gema bisu yang menggetarkan tulang.

Lalu... retakan di langit.

Seperti luka yang perlahan membuka, bercahaya samar. Urat-urat perak yang menjalar di antara awan, seolah-olah langit itu sendiri mulai sobek.

Di minggu-minggu pertama, lampu-lampu mulai padam. Tidak semua. Bukan ledakan, bukan kehancuran seketika... hanya bagian demi bagian yang berhenti bekerja. Listrik tersendat. Koneksi hilang. Superkomputer kehilangan kendali.

Jaringan energi terputus perlahan.

Transportasi otomatis — mati di tengah jalan. Mobil-mobil tanpa pengemudi terhenti begitu saja di tengah arteri kota. Robot-robot asisten berhenti di trotoar. Berdiri seperti patung. Mayat besi yang dulunya tersenyum.

Terapi umur panjang? Kami yang bergantung padanya... mulai menua dalam hitungan minggu.

Kulit yang semula halus mulai mengeriput. Rambut yang hitam legam memutih. Sendi-sendi mulai nyeri.

Tubuh yang dulu ringan... terasa berat. Seolah dunia menarik kami kembali ke tanah.

Aku masih ingat... pemerintah menghilang. Tidak ada pengumuman. Tidak ada berita. Komunikasi terputus. Terminal informasi kosong. Di layar-layar yang dulu penuh berita... hanya muncul satu pesan yang sama:

<"ERROR"

Pasokan makanan otomatis berhenti. Pabrik-pabrik hening. Di rak-rak toko, hanya udara kosong yang tersisa.

Orang-orang mulai... menghilang.

Beberapa mati. Kelaparan. Putus asa.

Beberapa... berubah. Aku melihatnya sendiri. Mata yang dulu ramah, berubah dingin. Gerakan yang dulu manusiawi... menjadi aneh.

Enam bulan setelah itu, hujan logam mulai jatuh. Awalnya hanya kabut tipis. Partikel halus yang mengambang di udara. Mengilap di cahaya redup.

Lalu tetes-tetes cairan perak mulai turun. Dingin. Menyengat. Menempel di kulit, di pakaian, di daun-daun yang sudah rapuh.

Mereka yang terlalu lama terpapar...

Hewan-hewan berubah.

Manusia pun berubah.

Aku ingat, malam-malam pertama saat jeritan terdengar di jalan-jalan. Pintu-pintu yang digedor. Suara langkah yang bukan manusia di balik dinding tipis apartemen.

Kami kabur. Tidak semua sempat.

Banyak yang terjebak. Banyak yang jatuh... atau lebih buruk.

Di perjalanan menuju Dominia, aku melihat... kota-kota besar jadi kuburan besi.

Pusat perbelanjaan otomatis yang kini kosong. Lantai mengkilap yang dulu penuh manusia... kini hanya terdengar gema langkah sendiri.

Robot yang dulu menyambut pengunjung... berdiri diam. Kepala tertunduk. Matanya gelap.

Di sinilah aku sekarang. Tiga puluh tahun kemudian. Tinggal di balik tembok yang dibangun dari rasa takut.

Anak-anak baru lahir yang tak pernah tahu dunia lain. Mereka tumbuh di antara tembok karat dan mesin tua. Mereka mengira beginilah hidup seharusnya. Tapi aku ingat. Aku ingat... dunia yang bisa mengubah gen, membangun kota di langit, memperpanjang hidup hingga ratusan tahun.

Sekarang? Kita hidup dari besi tua dan sisa-sisa masa lalu, mencoba bertahan hidup.

Setiap napas... Seolah menjadi hutang pada masa lampau.

Dan siapa pun yang bilang mimpi buruk ini sudah berakhir...

Mereka belum melihat Redzone yang tumbuh. Juga belum mendengar lolongan di balik kabut malam.

Aku tahu. Dunia ini... belum selesai runtuh.