Udara pagi di Dominia selalu dingin. Tidak menusuk... hanya dingin yang meresap ke tulang. Di lorong-lorong sempit distrik bawah, kabut tipis belum sepenuhnya menghilang. Dinding-dinding logam, karatan di sudut-sudutnya, memantulkan cahaya samar dari lampu minyak yang menggantung di sepanjang jalan.
Langkah Evan Katz menggema ringan. Sepatu tuanya, diperbaiki berkali-kali di bengkel Paman Gallo, masih mengeluarkan decit halus setiap tiga langkah.
Di punggung, tas kulit tua — penuh buku catatan, komponen logam, dan sisa-sisa masa lalu yang ia kumpulkan. Artefak, begitu cara ia menyebutnya. Potongan dunia lama.
Di kepalanya terpasang Raincatch — tudung logam tipis berlapis serat karbon. Selalu dipakai saat keluar rumah, meski hujan logam kini jarang turun di distrik dalam. Kebiasaan yang melekat, ditanamkan sejak kecil. Siapa pun tahu: lebih baik berjaga-jaga.
Lorong mulai ramai. Pedagang-pedagang membuka kios. Warga membawa ember atau troli, bersiap berburu barang di pasar pagi. Di kejauhan, suara dentang-denting besi dari workshop tua milik Gallo terdengar samar.
"Sudah pagi, Evan!" seru suara berat dari arah kios. Pak Tua Welly, dengan kacamata tebal dan jaket bulu usang, melambaikan tangan.
Evan mengangguk pelan. "Pagi, Pak."
Langkahnya terus menuju Akademi. Hari pertamanya sebagai lulusan.
Melewati pasar, Evan mencium bau khas Dominia: minyak mesin, besi tua, kain lembap, asap kayu. Aroma dunia yang hidup dari sisa-sisa.
Di antara kerumunan, beberapa Penjaga Kota melintas. Seragam mereka rapi, senjata tua tergantung di pinggang. Di helm mereka — versi canggih Raincatch, lengkap dengan filter udara. Sebagian menyapa warga dengan anggukan singkat. Sebagian... berjalan dengan dada tegak.
Tak jauh di belakang, sekelompok pemburu bayaran bersandar di pagar baja. Raincatch mereka penuh goresan, dicat pribadi. Wajah tertutup masker respirator berat — tanda mereka baru keluar patroli.
Evan melirik mereka sekilas. Ada rasa ingin tahu... dan sedikit iri. Tapi itu bukanlah jalannya. Ia punya rencana sendiri.
Lorong menuju Akademi makin sepi. Dinding beton bekas gedung lama, bercat pudar. Di atas pintu utama, plakat logam:
"Akademi Dominia" — hurufnya nampak mulai terhapus usia.
Evan menarik napas. Melangkah masuk.
Di dalam aula, suasana hening. Beberapa siswa sudah duduk di bangku panjang. Di depan, berdiri sosok jangkung bertongkat: Pak Remon. Matanya — seperti biasa — tajam, seolah melihat lebih dalam dari sekadar wajah.
"Anak besi tua itu datang juga," gumam Pak Remon, senyum samar.
Evan menahan tawa. Ia tahu, Pak Remon sering menyebutnya begitu. Tidak semua orang paham obsesinya pada teknologi lama.
Di sudut aula, Darius Paleon sudah duduk, punggung tegak. Seragam rapi. Mata birunya dingin, mengamati sekeliling. Rodrigo Palaz duduk tak jauh, mengutak-atik senjata latihan. Cecilia Vira belum tampak.
Evan duduk. Meletakkan tas di samping. Di dalam... buku catatan penuh sketsa artefak. Mesin tua. Potongan logam yang mungkin... suatu hari, bisa berbicara tentang masa lalu.
Kota ini — Dominia — berdiri di atas tulang-tulang dunia lama. Dan ia... ingin tahu lebih banyak.
Pak Remon mengetukkan tongkat ke lantai. Suara berat memantul di dinding aula.
“Selamat pagi, kalian yang masih bertahan,” ujarnya, nada datar. “Yang lain... entah ke mana. Mungkin sudah bosan dengan dunia ini.”
Beberapa siswa tersenyum kaku. Evan hanya menghela napas. Di sebelahnya, Rodrigo menunduk, berbisik, “Lagi-lagi dia... awas saja kalau mulai tebak-tebakan soal ledakan.”
Dari depan aula, Darius menoleh. Tatapannya dingin, tapi bukan permusuhan — lebih pada ketidaksukaan pada sikap santai Evan dan Rodrigo. Ia mengangguk singkat.
Pak Remon melanjutkan. “Hari ini bukan pelajaran biasa. Kalian sudah lulus. Tapi ingat... Dominia bukan kota yang ramah bagi pemuda yang terlalu yakin diri. Dunia di luar tembok kejam... tak peduli seberapa tinggi nilai kalian.”
Ia melangkah perlahan di depan bangku. Tongkatnya berderit di lantai.
“Dunia di luar... hanya peduli satu hal: siapa yang bisa bertahan.”
Kata-kata itu menggantung di udara. Tak ada yang membantah. Semua di ruangan tahu itu benar.
---
Beberapa jam kemudian.
Di luar Akademi, Evan berjalan santai bersama Rodrigo.
“Jadi... apa rencanamu setelah ini?” tanya Rodrigo, bahu lebar sedikit naik-turun di balik jaket tebal. Raincatch-nya disampirkan ke punggung — langit hari ini cerah, meski tetap abu-abu.
Evan menghela napas. “Meneliti. Mungkin membantu Pak Tua Welly. Ada beberapa artefak baru yang menarik...”
Rodrigo tertawa kecil. “Kau dan besi tuamu. Kenapa tidak coba daftar di pasukan kota saja? Lumayan, dapat senjata, makan juga terjamin.”
Evan menggeleng. “Aku... bukan orang yang cocok memegang senjata.”
Di kejauhan, deru mesin tua terdengar — konvoi kecil kendaraan rakitan, lewat menuju gerbang timur. Penjaga kota mengawasi dari menara.
Rodrigo memperhatikan sejenak, lalu menepuk bahu Evan. “Kalau kau berubah pikiran, bilang saja. Aku serius mau mencoba jadi pemburu bayaran. Lebih... hidup, kurasa.”
Di distrik tua, dekat pasar logam, toko kecil Pak Tua Welly berdiri di antara deretan bangunan reyot. Di atas pintu, terdapat plakat tua yang nyaris tak terbaca: “Koleksi Teknologi Lama”.
Evan masuk. Bau logam tua, kertas tua, dan minyak mesin langsung menyergap.
Di dalam, Pak Tua Welly sibuk di meja kerja. “Ah, Evan! Ada temuan baru?”
Evan membuka tas, mengeluarkan beberapa potongan kecil: rangkaian sirkuit usang, panel logam dengan huruf tak dikenal.
“Kukira ini bagian dari modul data lama. Mungkin... dari drone,” kata Evan, matanya berbinar.
Pak Welly mengamati. “Menarik... Mungkin masih ada yang bisa kita hidupkan.”
Di rak-rak toko, ratusan benda masa lalu tertata: lensa optik, komponen robot, chip memori, fragmen casing senjata.
Di tempat inilah Evan merasa... tenang. Ia merasa hidup jika berada diantara sisa-sisa dunia yang hilang ini.
---
Evan pulang ke rumah — apartemen kecil di distrik tengah. Ayahnya, Grant Katz, sudah di meja makan. Wajah keras, berjanggut, bekas luka di sisi kiri masih tampak.
“Bagaimana di Akademi?” tanya Grant, suara berat.
Evan duduk. “Hari pertama setelah lulus. Tidak ada yang istimewa.”
Grant mengangguk. Memotong roti keras di piring. “Kau harus memikirkan apa yang akan kau lakukan, Evan. Bila keluar dari tembok, maka hati hatilah."
Evan diam. Sudah biasa mendengar kata-kata itu. Namun di dalam hatinya... rasa ingin tahu tetap menyala.
Bagaimana sebenarnya dunia di luar tembok?
Apa yang tersisa... di balik kabut, di antara reruntuhan yang kini jarang disentuh?
Mungkin suatu hari... ia akan tahu.