3. Dominia Yang Bernafas

Udara pagi di Distrik Tengah terasa lembap dan berat. Kabut tipis menggantung rendah, menyusup masuk ke lorong-lorong sempit. Setiap langkah terasa menggema di antara dinding logam tua yang penuh karat.

Di dalam apartemen kecil di lantai tiga, Evan Katz sedang mengikat tali sepatu, gerakan tangannya sedikit tergesa. Di meja, radio portabel berderak pelan, memancarkan suara statik bercampur dengungan samar.

Di seberang meja, Grant Katz—ayahnya—duduk dengan jaket militer setengah terpakai, memeriksa senjata lama di pangkuannya. Di dekatnya, Raincatch versi penjaga kota tergantung di sandaran kursi.

“Radio semalam sempat menangkap dengung aneh,” kata Grant, nada suaranya berat. “itu bukanlah gelombang biasa.”

Evan menengok singkat. “Pasti cuma pantulan sinyal. Bangunan tua di sekitar sini bisa memantulkan apa saja.” Ia berusaha terdengar santai, tapi matanya sempat melirik radio yang ada di sudut rumah.

Grant melirik anaknya, menghela napas pelan. “Dunia ini selalu penuh kejutan, Evan. Jangan terlalu percaya dengan teori yang ada di akademi.”

“Aku tahu,” balas Evan cepat, meski nadanya lebih seperti membela diri. Ia meraih tas kulit tua, memasukkan buku catatan dan beberapa alat. “Aku akan pergi ke dumpyard sebentar. Mau cari komponen.”

Grant hanya mengangguk, lalu menegakkan punggung. “Hati-hati. Jangan terlalu lama di sana. Kalau gerbang utara ditutup mendadak... kau bisa terjebak di sana.”

Evan mengangguk. “Baik.”

---

Keluar dari apartemen, udara pagi langsung menyambut—dingin, dengan aroma logam dan oli tua yang akrab. Evan menarik napas dalam, mengenakan Raincatch-nya. Langit di atas tetap abu-abu pucat.

Lorong-lorong mulai ramai. Di pasar, para pedagang berteriak menawarkan barang—kabel bekas, pelat baja tipis, sisa-sisa drone, botol air suling. Bau minyak, asap kayu, dan logam tua bercampur di udara.

Evan berjalan cepat, matanya bergerak kemana mana. Sesekali ia melirik ke arah sekelompok penjaga kota yang melintas—seragam mereka bersih, langkah tegap. Beberapa pemburu bayaran bersandar di pagar, wajah tertutup masker, Raincatch mereka penuh coretan pribadi. Evan menunduk sedikit saat lewat. Ada rasa... tertarik dan canggung.

Di perbatasan Old Block, suasana berubah lebih suram. Bangunan reyot berdiri rapat, cat mengelupas. Di kejauhan, suara logam berderak, suara anak-anak berteriak bermain di sela-sela puing.

Dumpyard sudah tak jauh lagi.

---

Dumpyard Dominia—tempat di mana semua barang rongsok kota dikumpulkan. Tumpukan besi, rangka mesin tua, serpihan drone, panel retak. Udara di sini lebih pengap, bau logam tajam menusuk.

Ada banyak cerita tentang dumpyard. Beberapa bilang tempat ini dihuni The Corrupted kecil. Yang lain bilang, kadang terdengar suara-suara aneh. Evan tak sepenuhnya percaya, tapi tetap... rasa was-was muncul juga.

Ia melangkah hati-hati, detektor arus lemah di tangannya. Rakitannya sendiri, sangat membantu dirinya mencari barang yang berguna. Setiap suara gesekan atau benda jatuh membuat dirinya berhenti sesaat.

Beberapa jam ia mengais, membongkar beberapa mesin tua. Jari-jarinya kotor, peluh membasahi pelipis. Sesekali, ia berhenti mencatat—membuat sketsa senjata hybrid: gabungan peluru dan energi. Mimpi... yang nampaknya masih jauh dari nyata.

Di tengah keasyikan, suara dentingan logam terdengar dari balik tumpukan besar. Evan langsung tegang. Tangan gemetar sedikit saat menggenggam linggis.

Langkah pelan mendekat. Evan menahan napas.

Suara itu perlana semakin dekat...

Bayangan bergerak.

Evan bersiap—jantungnya berhenti berdetak.

Dari balik tumpukan... seekor kucing kurus melompat, mengeong parau. Bulu kusut, satu mata buta.

Evan terdiam, lalu menghela napas panjang. “Sial... Hanya kucing tua ternyata,” gumamnya, senyum kecut muncul. Ia berjongkok, mengelus kepala kucing sebentar. Tangan nya masih menggenggam linggis dengan erat.

Ia melanjutkan pekerjaan, meski sedikit lebih sering melirik sekeliling.

---

Sore menjelang. Evan tiba di toko Pak Tua Welly, pintunya berderit ringan saat dibuka.

Di dalam, aroma minyak, kertas tua, dan logam memenuhi ruangan. Welly duduk di meja, membongkar modul dengan tenaga besar. Di samping, berbagai baterai drone, panel optik, dan chip memori tersusun rapi atau juga berantakan tergantung orang yang melihat.

“Ah, Evan! Bawa barang bagus?” serunya, tanpa melepas kacamata tebal di wajahnya.

Evan membuka tas. “Beberapa panel sirkuit... dan satu chip lama.”

Welly memeriksa, mengangguk. “Lumayan. Bisa kucoba pasang di modul ini.” Ia menunjuk modul. “Dulu... ini drone pengintai. Kalau hidup lagi, mungkin bisa dipakai buat penerangan keliling.”

Evan duduk, matanya berbinar. “Masih ada energi yang tersisa?”

“Sedikit. Tapi modul stabilisatornya soak. Harus kuakali biar nyala.” Welly terkekeh. “Seperti akalku yang makin tua.”

Evan tersenyum, lalu membuka buku catatan. “Aku... lagi coba konsep baru.” Ia memperlihatkan sketsa hybrid rifle.

Welly menyipitkan mata. “Kau memang keras kepala. Tapi... kadang keras kepala itu bisa menciptakan sesuatu yang luar biasa.”

Mereka berbincang cukup lama—tentang sirkuit, modul lama, ide-ide baru. Welly tampak senang, melihat semangat Evan yang meski canggung, tetap membara soal teknologi.

---

Malam mulai turun. Evan berjalan pulang, langkahnya ringan meski lelah. Lampu-lampu minyak menyala satu per satu, bayangan panjang tercipta di gang.

Di kejauhan, suara statik radio dari pos penjaga samar terdengar. Sinyal aneh masih... ada.

Evan menunduk, tas di punggung makin berat oleh temuan baru.

Dominia... masih hidup. Bernafas lewat mesin tua dan mimpi-mimpi kecil seperti miliknya.