buk... brak... buk...
Kilau merah itu bergerak dalam lorong yang gelap.
Mata — tajam, haus darah, berkilat — perlahan mendekat, disertai derap berat yang menggema di lantai beton retak.
Di atas kepala makhluk-makhluk itu, sulur-sulur tipis — tentakel sensorik — bergerak pelan di udara, seolah meraba gelombang yang tak terlihat.
Kellen berdiri paling depan, tubuh sedikit condong ke depan, laras senjata AT-314 milikinya stabil di bahu. Rodrigo di sisi kiri, keringat mengalir di pelipis, jemarinya melingkar erat di gagang senjata.
Evan... Bertiarap di balik tiang beton, hampir menahan napas, tangan gemetar di atas pistol tua yang terselip di sabuk.
Empat sosok gelap itu makin dekat.
Makhluk-makhluk rendah — hewan hasil mutasi — bergerak lincah. Tubuh mereka mirip anjing pemburu, namun kulit dan bulu terkelupas di banyak bagian, digantikan bercak-bercak logam kasar. Cakar besar mencakar lantai, menghasilkan suara seret tajam.
Taring mereka... panjang, runcing, keperakan.
“Empat,” bisik Kellen, suara tenang.
Rodrigo mengangguk pelan, meneguk ludah. “Huh...pertama kalinya dapat empat,” ucapnya pelan, mencoba terdengar santai.
Tak butuh aba-aba.
Salah satu Scout — makhluk terdepan — melesat tiba-tiba, gerakan hampir kabur.
Dor!!
Letusan AT-314 membelah udara pengap. Peluru menghantam dada makhluk, meledakkan percikan darah kental dan serpihan logam. Tubuh itu terguling keras, menabrak puing.
Tiga lainnya langsung menyebar — gerakan mereka cepat, hampir seperti kabut hitam di lantai.
Rodrigo menarik pelatuk, tembakan pertama meleset — makhluk kedua melompat — Rodrigo mundur setengah langkah, lalu brak! — peluru kedua mengenai bahu makhluk.
Scout itu meraung, berdarah — tapi tetap menerjang. Rodrigo mengumpat pendek — namun tembakan ketiga akhirnya menghentikannya.
Evan masih berjongkok, tubuh menempel ke dinding. Tangan di pistol, namun tak terangkat.
Napasku… jangan panik… pikirnya, mencoba menahan gemetar tubuhnya.
Scout ketiga meluncur ke arah Kellen dari sisi.
Tanpa ragu — dor! — peluru menembus kepala makhluk itu, tentakel sensoriknya mengibas liar sebelum tubuhnya tumbang.
Scout terakhir... cerdik. Ia tak langsung menerjang — melainkan menyelinap di tepi lorong, nyaris menghilang di balik bayangan.
Kellen bergerak setengah langkah. “Kanan bawah,” bisiknya.
Rodrigo mengarahkan senter — mata merah itu tampak! Segera peluru Kellen menembus tubuh makhluk, darah hitam pekat mengalir di lantai.
Keheningan turun mendadak.
Bau darah, besi, dan daging terbakar memenuhi udara.
Rodrigo menarik napas panjang. “Heh… selesai,” gumamnya lega.
Evan baru saja berani berdiri. Wajahnya pucat. Tangannya pun masih gemetar.
“...Maaf. Aku tak sempat…” katanya lirih.
Kellen menoleh sebentar. Suaranya datar, “Lebih baik kau tetap seperti itu, ketimbang tembakanmu malah keliru dan mengenai kami.”
Rodrigo tertawa kecil, menepuk bahu Evan. “Santai, bro. Lain kali kita latih tembakan dulu.”
Evan mengangguk pelan, mencoba menarik napas dalam-dalam.
Kellen membungkuk, memeriksa bangkai Scout. “Tipe ringan... tentakel masih aktif sebelum kena. Tapi kecepatan mereka meningkat.”
Rodrigo melirik sekeliling. “Cepat selesaikan. Kita cari barangnya lalu pergi. Aku tak mau ada yang lebih besar datang.”
Kellen berdiri. “Ruang utama ada di bawah. Ayo.”
Mereka bertiga melangkah kembali, Kellen di depan.
Evan mengatur napas, berusaha mengembalikan fokus... dan mengikuti mereka lebih dalam.
Lorong makin dalam. Di sisi-sisinya, kabel tua menggantung kusut. Debu tebal terbang pelan setiap langkah mereka.
Tak ada suara selain derap kaki mereka sendiri... dan dengungan mesin tua di kejauhan, entah dari mana.
Tangga besi tua mengarah ke ruang bawah. Dinding dipenuhi bekas hitam... mungkin kebakaran lama, atau sesuatu yang lebih buruk.
Di ruang bawah... lebih luas dari dugaan Evan. Puluhan mesin besar teronggok di sudut, panel pengatur daya tua berjajar sepanjang dinding — sebagian terbuka, sebagian roboh.
Di tengah ruangan... satu rak besar berisi peti logam dan wadah transportasi kuno.
Kellen mendekat. Memeriksa label tua yang nyaris tak terbaca. “Di sini. Komponen pengatur daya... unit lama, model C4-B,” gumamnya.
Rodrigo mengelap keringat. “Akhirnya.” Ia membuka tas besar di punggung, membantu Kellen menurunkan satu peti kecil.
Evan ikut maju, rasa penasaran mengalahkan rasa takut. Tangannya menyentuh bagian luar casing logam.
“Masih utuh... lumayan,” katanya, matanya berbinar.
Kellen mengangguk. “Ambil. Kita keluar sebelum ada yang... tertarik.”
Rodrigo mengikat peti itu dengan tali baja, siap diangkut. “Setelah ini... kita makan enak!” katanya, berusaha mencairkan suasana.
Tiba-tiba...
chzzzz.... kkkrrrr....
Suara samar... seperti dengungan.
Semua terdiam.
chzzzz....kkrrrrkk... — lebih jelas. Frekuensi radio... noise.
Evan langsung menoleh ke Raincatch-nya.
“Radio... frekuensinya... seperti yang kudengar di kota...” gumamnya.
Kellen menatap lurus. “Dari dekat.”
Rodrigo mengernyit. “Serius? Di tempat beginian?”
Kellen mengarahkan telinga.
“Di lantai atas... sekitar dua lorong ke kiri.”
Tanpa banyak bicara, mereka bergerak cepat. Kellen di depan, senjatanya sudah siap. Rodrigo di tengah, Evan di belakang.
Lorong gelap. Lantai beton lembap. Bau logam makin kuat.
kkrrrz.... zzzchhhh...
Makin dekat.
Salah satu pintu tua terbuka setengah. Di dalam... suara makin keras.
Kellen memberi isyarat: hati-hati.
Mereka mengendap. Perlahan mengintip ke dalam.
Cahaya redup dari lampu portable...
Di tengah ruangan... seorang pria — kurus, jaket usang, Raincatch tua, sedang menatap panel radio tua. Ia diam saja, seolah menatap hal yang menarik. Di lantai tergeletak senjata.
Di lantai... beberapa perangkat aneh tersambung ke radio.
Suara itu... berasal dari panel radio didepannya.
Rodrigo menahan napas. “Siapa... itu?” bisiknya.
Kellen mengangkat tangan: jangan gegabah. Evan melirik... matanya membelalak. Wajah samping pria itu... pucat.
Pria itu tiba-tiba bergerak. Kepala sedikit menoleh — seolah merasakan kehadiran.
Semua menahan napas. Tangan Rodrigo perlahan ke arah senjata. Pria itu berdiri... berbalik perlahan...