Buk... brak... buk...
Suara langkah perlahan di lantai retak menggema di dalam ruangan yang remang.
Sosok pria kurus itu—atau... apa pun ia sekarang—berdiri membelakangi mereka. Raincatch lusuh di kepalanya, jaket robek, kulit pucat tampak di tengkuk yang terbuka.
Di atas panel radio tua, suara dengungan aneh bercampur desis statis terus terdengar:
kkrrrrzzzzzz… bzzzzkkkrrhh...
Rodrigo menahan napas. Jemari di pelatuk.
Kellen di depan, setengah berjongkok, mata tajam mengawasi pergerakan sosok itu. Evan—sedikit di belakang—berdiri kaku, tangan di pistol tua, namun belum berani mengangkatnya.
Sosok itu tiba-tiba bergerak. Kepala perlahan menoleh ke samping—gerakan kaku... aneh... seperti bukan sepenuhnya manusia lagi.
Sebagian wajah tampak: kulit pucat, retak, urat-urat kehitaman menjalar ke pelipis. Matanya... gelap, namun di pupil ada kilau samar merah redup.
Kellen menegang. Bibirnya bergerak pelan.
“...Wraithborn,” bisiknya lirih.
Evan tertegun. “...apa...?”
Rodrigo berdesis pelan. “Mutasi... bukan Wraithborn biasa.”
Sosok itu kini berbalik sepenuhnya.
Wajahnya nyaris seperti patung batu yang rusak, mulut kaku sedikit terbuka... dari sela gigi retak, suara berat nyaris tak manusiawi meluncur, bercampur bunyi statis radio:
“...ssssskrrhhhh... ada... suara... suara... gelombang... datang...”
Kellen menajamkan mata.
“Ini... bukan mutasi biasa. Ada... kesadaran.”
Tiba-tiba—
Sosok itu melangkah maju satu langkah. Gerakannya makin kaku, namun tubuhnya seperti lebih berat... ada logam samar tampak menonjol dari tulang lengan.
Rodrigo makin tegang. “Apa kita—”
Seketika—jeritan keras membelah udara:
RAAAAAAARGHHHH!!
Sosok itu berteriak... suara serak bercampur gema logam.
Jeritan itu menggema ke lorong-lorong di seluruh gedung.
Kellen langsung bergerak:
“—Keluar! Sekarang!”
Rodrigo berbalik. “Sialan! Lari!”
Evan masih terpaku sesaat—namun suara derap kaki Kellen dan Rodrigo yang melesat membuatnya sadar. Ia membalik tubuh, mengejar.
Jeritan itu belum berhenti—bahkan kini disambut suara lain... dari jauh...
Suara geraman, derap, cakaran besi... banyak... dari berbagai arah.
Mereka bertiga melesat di lorong sempit. Kellen di depan, langkah cepat terlatih. Rodrigo setengah panik di tengah. Evan di belakang, napas terengah, namun berusaha menjaga jarak.
Di belakang mereka...
Suara geraman makin keras.
Rodrigo mengumpat keras. “Sial! Dia memanggil yang lainnya...!”
Evan berlari sekuat tenaga. Di pikirannya:
Jangan jatuh... jangan terpisah... jangan mati di sini!
Tangga besi di ujung lorong muncul di depan. Kellen melesat menaiki dua anak tangga sekaligus. Rodrigo mengekor. Evan memaksakan kaki—paru-parunya hampir terbakar.
Saat mereka mencapai lantai utama—
RRRRAAAAAGGHHHH!!
Suara derap puluhan kaki menggema di lorong belakang mereka.
Bayangan bergerak cepat—kilatan mata merah... banyak... puluhan makhluk The Corrupted mulai menyerbu!
“Keluar!!” teriak Kellen.
Mereka meluncur menuju lubang tembok tempat mereka masuk. Rodrigo setengah mengangkat peti komponen di punggungnya. Evan hampir tersandung di puing, namun Rodrigo menariknya.
Saat mereka meloncat keluar dari celah beton—
RAAAAAARGHHHH!!
Di balik mereka, The Corrupted merangsek ke ruangan utama—hewan dan sosok-sosok aneh, tubuh cacat, tentakel dan cakar logam mengerikan—berlari mengejar.
Udara pagi di luar gedung terasa menusuk.
Mereka berlari di antara puing dan besi tua, kabut tipis masih menggantung.
Namun...
chzzzz....kkrrrrrhhh....
Suara radio itu... terdengar lagi.
Kellen berhenti sejenak—menoleh cepat ke sisi kiri.
Di balik tumpukan kontainer logam... sosok itu... pria Wraithborn tadi... berdiri di atas puing, tangan satu menggenggam radio portabel tua. Matanya merah redup... menatap lurus ke arah mereka.
Rodrigo melotot. “Apa—?!”
Sosok itu mengangkat radio di tangannya—
“sssskkkkrrrrhhh... datang... semua... datang...”
Jeritan panjang menyusul—RAAAAARGHHHH!!
Dan dari sisi kiri, kanan... bayangan The Corrupted lain mulai berdatangan dari reruntuhan sekitar.
Kellen menarik keras lengan Rodrigo.
“Lari!!”
Mereka bertiga kembali melesat—melalui jalur puing, menembus kabut.
Langkah mereka berpacu dengan detak jantung.
Udara di luar lebih dingin, kabut tipis tak membantu penglihatan. Di belakang, suara derap dan raungan The Corrupted makin dekat. Dari segala penjuru... mereka mengepung.
Rodrigo terengah, memanggul peti logam di punggungnya. Nafas berat, namun ia tetap memaksa maju.
Evan—wajah pucat, napas nyaris putus—berusaha keras tak terpisah. Keringat dingin membasahi Raincatch-nya.
Kellen di depan, ia tetap tenang. Langkah mantap, senjata siap di tangan. Sesekali ia menoleh, memantau jarak. Matanya tajam menilai arah pelarian.
“Belok kanan! Jalur terbuka!” serunya pendek.
Mereka berbelok cepat, melewati rangka truk tua yang setengah ambruk.
Di sisi kiri, bayangan makhluk melesat—tentakel sensorik mengibas liar di udara.
Dor!!
Satu peluru Kellen menembus kepala Scout yang datang.
Tubuh Scout itu terguling, namun suara raungan makin ramai. Lebih banyak yang datang.
Rodrigo menggertakkan gigi. “Dari mana mereka semua?!”
Evan berlari nyaris tersandung. “Wraithborn itu... memanggil mereka... radio itu...!”
Kellen hanya mengangguk singkat. Wajahnya serius, fokus penuh.
Ia menunjuk ke depan. “Gerbang lama. Kalau sampai sana... kita bisa lepas dari mereka.”
Rodrigo menoleh cepat. “Masih jauh?!”
“Dua ratus meter.”
Ratusan meter itu terasa seperti mil panjang.
Di sisi mereka, suara cakaran di logam.
Seekor Corrupted melompat dari tumpukan besi. Mulut menganga, taring logam berkilat.
Rodrigo spontan menarik pelatuk—
DOR! DOR! DOR!
Peluru menghantam dada makhluk. Tubuh itu jatuh berguling, menghantam dinding tua.
Tapi di belakang...
Suara derap... makin ramai.
Evan melirik ke bahu—matanya membelalak. “Mereka— makin dekat!!”
Dari celah reruntuhan, makin banyak Corrupted yang bermunculan.
Ada yang melompat di atas puing, ada yang merayap cepat di lantai retak.
Langkah mereka makin cepat—nyaris lari penuh. Rodrigo mengumpat. “Kellen!!”
“Lurus—jangan berhenti!” Kellen membalas, tak melambat.
Gerbang lama yang dimaksud perlahan terlihat—sepasang pilar beton, bekas pagar pengaman kawasan industri.
Namun... di depannya... tumpukan besi tua menghalangi sebagian jalur.
Jalur sempit di kanan satu-satunya celah.
Rodrigo mendengus. “Sempit banget...”
“Masih cukup!” Kellen melesat duluan, tubuh rampingnya menyelinap.
Rodrigo mengekor, memaksakan tubuhnya melewati celah dengan peti di punggung.
Evan nyaris tergelincir di puing basah—tapi dengan sisa tenaga miliknya ia menyeret dirinya melewati celah.
Begitu keluar dari celah sempit—
RAAAARGGHHHH!!
Seekor Scout—besar, mirip anjing hutan, kulit penuh logam retak—menerjang dari kanan.
Kellen bergerak refleks—senjatanya terangkat—
Dor!! Dor!!
Dua tembakan menghantam kepala Scout itu. Tubuh itu terpental ke dinding.
Rodrigo terengah. “Hahh— sial... makin banyak...”
Dari kejauhan—jeritan... puluhan.
Suara kaki... lantai bergetar... seperti gelombang hitam mendekat.
Kellen menoleh cepat. “Tidak bisa terus lari begini. Kita butuh jalur lebih terbuka.”
Rodrigo melirik ke arah kanan. “Ada jalan tua... ke parkiran lama...”
Kellen mengangguk. “Arahkan ke sana.”
Mereka bergerak lagi—kaki nyaris tak berhenti.
Jalanan makin retak, ditumbuhi tanaman liar. Sisa-sisa papan petunjuk tua nyaris tumbang.
Di belakang—bayangan The Corrupted makin banyak.
Salah satu makhluk melesat cepat—dari belakang Evan!
“AWAS!!” Rodrigo berteriak.
Evan reflek membungkuk—makhluk itu melompat, cakar menggores udara kosong.
Kellen berbalik cepat—tembakan presisi—makhluk itu jatuh berdebam.
Evan nyaris tersungkur. Wajahnya pucat pasi. “...T-t-terima kasih...”
Kellen singkat. “Terus maju.”
Akhirnya... area parkir tua terlihat.
Lapangan luas, penuh kendaraan lapuk, sebagian tumbang.
Kellen menunjuk. “Tempat terbuka—mereka akan melambat di sana.”
Rodrigo menarik napas berat. “Cepat!”
Mereka bertiga melesat menembus celah pagar, masuk ke lapangan tua.
Di belakang—derap kaki tak terhenti... namun mulai melambat di area terbuka.
Namun... bahaya belum berlalu.
Di sisi kiri—bayangan tinggi...
Sosok Wraithborn tadi—yang memanggil lewat radio—muncul lagi, berdiri di atas kontainer tua.
Mata merah menyala... tangan masih memegang radio.
Suara serak terdengar:
“...datang... datang.. sskrrrzzz. semua... HANCURKAN... mereka...”
Kata kata itu di balas dengan cerita dari puluhan corrupted. Jeritan itu menggetarkan udara.
Di balik reruntuhan parkiran... semakin banyak The Corrupted yang mulai berkumpul. Dari segala arah.
Kellen menarik nafas dalam.
“Kita harus keluar dari zona ini... secepat mungkin.”
----
Kabut pagi di luar tembok mulai menipis.
Dari menara pengawas gerbang timur, seorang penjaga memicingkan mata ke arah reruntuhan di kejauhan.
“...Ada gerakan?” gumamnya pada rekannya.
Penjaga kedua, lebih tua, menyesuaikan lensa teleskop.
Dahinya mengernyit. “...Gerakan besar... cepat sekali.”
Lalu matanya membelalak.
“—Corrupted! Banyak!”
Ia segera mengangkat radio, berteriak,
“Gerbang timur, siaga! Puluhan Corrupted menuju arah gerbang! Koordinasi tembakan!”
"Apa-apaan! Ini bukan waktu untuk sebuah gelombang datang."
Sirene pendek meraung—suara nyaring menggema di sepanjang tembok timur.
Di balik pagar baja, penjaga bersenjata mulai berkumpul.
Senapan otomatis disiapkan. Senter diarahkan ke kabut yang mulai tersibak.
Dari kejauhan—tiga sosok berlari sekuat tenaga.
“—Itu... orang!”
“—Ada orang dari luar!!”
Rodrigo terengah, matanya melebar saat melihat tembok kota makin dekat.
“—Kita hampir sampai!!” teriaknya.
Evan nyaris tersandung, kakinya berat seakan memikul batu.
Napasnya memburu, dada sakit.
Di belakang, raungan Corrupted makin dekat... makin beringas.
Kellen tetap paling depan.
Pandangannya tetap tajam walau nafas kini tidak teratur.
Di puncak menara—komandan penjaga meneriakkan perintah.
“Jangan tembak sebelum mereka melewati gerbang luar! Fokus pada Corrupted di belakang!”
Deru tembakan pertama meletus.
Senapan berat mulai menyalak—
BRAKKK!! BRAK BRAK!!
Peluru kaliber besar menghantam makhluk-makhluk terdepan, tubuh mereka terpental ke belakang.
Rodrigo berseru, wajah lega bercampur tegang,
“—Mereka lihat kita!! CEPAT!!”
Gerbang luar mulai terbuka perlahan—cukup bagi mereka bertiga menyelinap masuk.
Evan, nyaris tanpa tenaga, diseret Rodrigo melewati celah gerbang. Kellen menoleh ke belakang, melepaskan satu-dua tembakan presisi, melindungi mundur.
Begitu mereka bertiga berhasil masuk—
BRAK!!! Gerbang luar ditutup keras.
Kunci baja dikencangkan.
Di luar, puluhan Corrupted menyerbu, mengamuk—tapi peluru para penjaga menghujani mereka dari atas.
Suara raungan, letusan senjata, dan jeritan liar memenuhi udara pagi.
Evan jatuh terduduk di balik pagar dalam.
Napas terputus-putus, tubuh gemetar, wajah pucat.
Pistol tua di pinggangnya nyaris terjatuh.
Rodrigo menjatuhkan diri di sebelahnya, tertawa getir,
“—Hah... hah... gila... nyaris mampus kita...”
Kellen berdiri dengan bantuan senjatanya. Nafas nya juga sudah tidak teratur, mata tetap waspada memandang ke luar pagar.
Beberapa penjaga berlari mendekat.
“—Apa yang terjadi?!”
“—Kenapa bisa sebanyak itu keluar dari zona timur?!”
Rodrigo menggeleng. “—Cerita panjang... tapi percaya padaku ... itu tadi bukan serangan biasa.”
Salah satu penjaga membantu Evan bangkit.
“—Kalian benar-benar beruntung masih hidup,” katanya pelan.
Dari atas menara, komandan penjaga berteriak, “—Pertahanan tetap siaga! Pastikan tidak ada yang berhasil menembus!”
Tembakan terus menggema—tapi gelombang pertama Corrupted mulai melambat, banyak yang roboh diterjang peluru.
Kabut tipis pagi tercabik oleh bau mesiu dan darah.
Kellen akhirnya selesai menarik nafas.
Ia menoleh ke Rodrigo dan Evan.
“—Kita berhasil membawa barangnya... sudah cukup untuk hari ini.”
Rodrigo mengangguk. Wajahnya masih lelah, namun matanya bersinar.
“—Heh... nanti akan kuceritakan ke Gallo dan Cecilia... Misi ini nyaris jadi misi bunuh diri.”
Ia melirik Evan—yang masih terengah, wajah pucat tapi perlahan mencoba berdiri tegak.
“—Dan kau, Evan...” Rodrigo tersenyum tipis.
“...pertama kali keluar tembok—langsung lari dikejar puluhan Corrupted. Lumayan kan pengalaman pertamamu?”
Evan menelan ludah.
“...A-aku... b-bukan itu yang kupikirkan tentang ‘misi pengambilan’...”
Rodrigo tertawa kecil.
Kellen, seperti biasa, hanya berkata singkat.
“—Kami bertahan. Itu yang penting.”
Suara tembakan di luar mulai reda—gelombang serangan perlahan surut.
Namun... di benak ketiganya, terutama Evan...
...gambar sosok Wraithborn di atas kontainer—memanggil The Corrupted lewat radio—masih membekas jelas.
Dan suara seraknya... masih bergema... di telinga mereka.