Umpan Emas

Fajar baru saja memecah kegelapan di atas langit Jakarta, namun di jantung distrik bisnis, denyut kehidupan sudah dimulai. Sebuah iring-iringan sedan hitam mengilap berhenti dengan presisi tanpa suara di depan lobi Menara Adhitama, sebuah monolit kaca dan baja yang angkuh. Pintu mobil tengah terbuka, dan sesosok pria melangkah keluar, membawa serta aura kekuasaan yang begitu pekat hingga seolah mampu membengkokkan udara di sekitarnya.

Itu adalah Damian Adhitama.

CEO dari korporasi raksasa itu bergerak dengan langkah lebar dan tergesa, diikuti oleh dua pengawal berbadan tegap. Wajahnya yang terpahat sempurna tampak dingin dan tidak sabar, matanya yang setajam elang lurus menatap ke depan, seolah dunia di sekelilingnya hanyalah pemandangan kabur yang tidak layak mendapat perhatiannya.

Saat itulah, embusan angin pagi yang tak terduga meniup beberapa lembar kertas dari map yang ia pegang. Sebagian besar berhasil ditahan oleh pengawalnya, tetapi selembar kertas berhasil lolos, menari-nari sejenak di udara sebelum mendarat dengan lembut di atas trotoar yang bersih.

Sebelum pengawalnya sempat bergerak, sesosok bayangan lain melesat maju. Seorang gadis berpenampilan sederhana dengan rambut diikat ekor kuda, yang tadinya berdiri diam di dekat pilar, membungkuk dengan gerakan refleks yang cepat dan memungut kertas itu.

Itu adalah Alina Larasati.

Untuk sepersekian detik yang terasa membeku dalam waktu, dunia mereka bersinggungan. Saat Alina menegakkan tubuh untuk menyerahkan kertas itu, mata mereka bertemu.

Bagi Damian, tatapan itu mungkin hanya berlangsung sekejap. Ia hanya melihat seorang gadis biasa, mungkin salah satu dari ribuan karyawan rendahan di gedungnya, yang kebetulan berada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat. Matanya dingin, tidak sabar, dengan kilat arogansi yang jelas menunjukkan bahwa ia merasa terganggu oleh penundaan kecil ini.

Namun bagi Alina, momen itu adalah sebuah ledakan kosmik. Inilah dia. Wajah yang menghantui mimpi buruknya selama lima tahun terakhir. Rahang yang tegas, bibir yang tipis, dan sepasang mata yang sama dinginnya dengan hari di mana dunianya runtuh. Gelombang kebencian yang begitu murni dan panas membakar dari perut hingga ke tenggorokannya, begitu kuat hingga ia nyaris terhuyung. Ia harus mengerahkan seluruh sisa kekuatannya untuk menekan tsunami emosi itu, memaksanya kembali ke dasar jiwanya, dan memasang topeng kerendahan hati yang kosong.

Tangannya sedikit gemetar saat ia mengulurkan kertas itu. Damian mengambilnya dengan sentakan cepat, jari mereka nyaris tidak bersentuhan, namun Alina bersumpah bisa merasakan hawa dingin yang menguar dari pria itu. Tanpa ucapan terima kasih, tanpa anggukan kecil sekalipun, Damian berbalik dan melangkah masuk ke dalam menara kerajaannya, menghilang di balik pintu kaca otomatis yang berkilauan.

Alina ditinggalkan sendirian di trotoar, jantungnya berdebar kencang memukul rusuknya. Aroma cologne mahal yang samar, campuran dari aroma kayu dan sitrus yang tajam, masih tertinggal di udara, mengejeknya. Ia mengepalkan tangannya begitu erat hingga kuku-kukunya menancap di telapak tangannya.

Ia tidak pergi. Sebaliknya, ia menarik napas dalam-dalam, menenangkan badai di dalam dirinya, lalu berbalik. Bukan menuju jalan raya, tetapi menuju pintu masuk lain yang lebih kecil dan tidak mencolok di sisi gedung—pintu masuk karyawan.

Di dalam ruang ganti yang berbau disinfektan, ia menanggalkan jaket tipis dan jins usangnya, lalu mengenakan seragam biru pudar yang tergantung di lokernya. Seragam seorang petugas kebersihan. Misteri mengapa ia berada di sana pada jam sepagi itu kini terjawab, namun misteri yang lebih dalam—mengapa tatapannya pada sang CEO penuh dengan api neraka—masih tersembunyi rapat-rapat.

Malam itu, di jam-jam paling sunyi saat gedung itu telah kosong, Alina memulai pekerjaannya. Suara mesin pemoles lantai berdengung rendah, menjadi satu-satunya temannya di lobi marmer yang luasnya bisa menelan lapangan basket. Setiap dorongan mesin terasa seperti sebuah penitensi, sebuah hukuman yang ia timpakan pada dirinya sendiri.

Ironis. Lima tahun lalu, ia adalah Alina Larasati, putri tunggal Hendra Larasati, pemilik Larasati Group yang jaya. Ia terbiasa berjalan di atas karpet Persia, bukan mendorong mesin pemoles di atas lantai marmer dingin. Ia terbiasa dengan aroma parfum Chanel milik ibunya, bukan bau tajam cairan pembersih amonia.

Ia berhenti di depan logo raksasa Adhitama Corp yang terpasang di dinding. Huruf 'A' yang angkuh dan tajam itu seolah mengejeknya. Kenangan melintas tanpa bisa dicegah, sejernih kristal dan sesakit tusukan belati.

Pesta ulang tahun ayahnya. Taman belakang mansion mereka yang bermandikan cahaya. Ayahnya yang tertawa lepas, tampak begitu kuat dan tak terkalahkan. Di pesta itu juga hadir Karta Adhitama, patriark licik dari keluarga Adhitama, yang mengangkat gelas sampanye sambil tersenyum pada ayahnya. Senyum seekor serigala sebelum menerkam.

Hanya dalam beberapa bulan, serigala itu menunjukkan taringnya. Tuduhan palsu, skandal media, saham yang anjlok, diikuti oleh pengambilalihan paksa dengan harga yang menghina. Semuanya bergerak begitu cepat, sebuah badai korporat yang dirancang dengan sempurna. Puncaknya, ayahnya ditemukan tewas di ruang kerjanya. Berita utama meneriakkan kata "bunuh diri," tetapi Alina tahu itu adalah pembunuhan. Mereka tidak hanya mengambil perusahaannya; mereka mengambil nyawanya.

Ibunya menyusul setahun kemudian, meninggal karena hati yang hancur. Alina kehilangan segalanya. Rumah, status, masa depan. Ia terlempar ke dasar jurang masyarakat. Pekerjaan sebagai petugas kebersihan di markas musuhnya ini adalah pilihannya sendiri. Sebuah cara untuk menjaga api dendamnya tetap menyala. Setiap hari ia melihat kemegahan yang dibangun di atas reruntuhan keluarganya. Setiap hari ia mengingatkan dirinya sendiri mengapa ia harus bertahan hidup.

Pertemuannya dengan Damian tadi pagi adalah yang terdekat yang pernah ia capai. Berdiri begitu dekat hingga ia bisa melihat detail tenunan kain pada jas mahalnya. Momen itu kembali memicu apinya yang nyaris padam oleh keputusasaan.

Setelah menyelesaikan sifnya yang melelahkan, Alina berjalan pulang menuju dunia nyatanya. Sebuah gang sempit dan becek di sudut kota yang terlupakan. Kamar kosnya yang sempit dan pengap menyambutnya dengan dingin. Di pintunya yang terbuat dari triplek, secarik kertas tagihan tertempel.

‘ALINA! UANG SEWA 3 BULAN BELUM DIBAYAR! LUNASI MINGGU INI ATAU ANGKAT KAKI!’

Tulisan tangan Bu Ratmi, si pemilik kos, yang penuh amarah. Alina meremas kertas itu. Seluruh rencana balas dendamnya yang besar dan megah terasa konyol saat dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa ia bahkan tidak bisa membayar sewa tempat tinggalnya. Keputusasaan mulai merayapinya seperti tanaman rambat yang mencekik.

Ia menjatuhkan dirinya ke kasur tipis, menatap langit-langit yang bocor. Mungkin ini akhirnya. Mungkin ia memang ditakdirkan untuk kalah.

Saat ia berada di titik terendahnya, suara mesin mobil yang berhenti di mulut gang terdengar sangat tidak pada tempatnya. Bukan suara gerobak bakso atau motor butut. Penasaran, ia mengintip dari celah jendela.

Sebuah sedan hitam yang asing, berkilauan di bawah cahaya lampu jalan yang redup. Seorang pria berpenampilan necis dengan setelan jas mahal melangkah keluar. Pria itu tampak canggung berjalan di gang becek itu, matanya mencari-cari nomor rumah.

Jantung Alina berdebar kencang. Siapa dia? Apa yang dilakukan orang seperti itu di tempat seperti ini?

Pria itu berhenti tepat di depan pintu kamarnya. Ia mengetuk tiga kali, ketukan yang sopan namun tegas. Dengan tangan gemetar, Alina membuka pintu.

"Selamat pagi. Apakah saya berbicara dengan Nona Alina Larasati?" tanya pria itu, nadanya formal dan efisien.

"I-iya, saya sendiri," jawab Alina terbata-bata.

Pria itu, yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Rendra, asisten pribadi Damian Adhitama, tersenyum tipis. "Tuan Damian Adhitama ingin bertemu dengan Anda. Ini menyangkut sebuah proposal yang akan mengubah hidup Anda."

Alina membeku. Damian Adhitama? Pria yang ia temui tadi pagi? Bagaimana mungkin?

Rendra menyodorkan sebuah map tebal berwarna krem. Tangan Alina gemetar saat menerimanya. Dengan perasaan campur aduk antara takut, bingung, dan curiga, ia membukanya.

Di dalamnya, ada dua benda yang membuat napasnya tercekat.

Yang pertama, selembar cek. Mata Alina membelalak ngeri saat melihat deretan angka nol di sana. Lima ratus juta rupiah.

Yang kedua, selembar kertas tebal. Di bagian atasnya, tertulis dengan huruf kapital yang tegas dan mengerikan:

PROPOSAL PERNIKAHAN KONTRAK.

Alina mengangkat kepalanya, menatap Rendra dengan mata terbelalak, dunianya seakan dijungkirbalikkan untuk kedua kalinya. Jebakan macam apa ini?