Pintu kamar kos yang tipis itu seakan menjadi satu-satunya penghalang antara dunia nyata Alina yang suram dan dunia sureal yang baru saja mengetuk pintunya. Di tangannya, kertas tebal bertuliskan "PROPOSAL PERNIKAHAN KONTRAK" terasa dingin dan berat, seolah terbuat dari timah, bukan kertas. Di hadapannya, Rendra, asisten pribadi Damian Adhitama, masih berdiri dengan kesabaran seorang pemburu yang menunggu mangsanya keluar dari persembunyian.
Alina akhirnya menemukan suaranya, meskipun keluar seperti desisan serak yang penuh ketidakpercayaan. "Ini pasti sebuah kesalahan. Atau semacam lelucon kejam."
"Tuan Damian Adhitama tidak punya waktu untuk lelucon, Nona Larasati," jawab Rendra dengan nada formal yang sama. "Dan ini bukan kesalahan."
"Bukan kesalahan?" Alina nyaris tertawa, sebuah tawa kering yang tersangkut di tenggorokannya. Ia menunjuk dirinya sendiri, lalu ke sekeliling kamarnya yang sempit dan menyedihkan. "Lihat saya. Lihat di mana saya tinggal. Mengapa saya? Dari semua wanita di kota ini, mengapa seorang CEO miliarder memilih saya?"
Ini adalah pertanyaan krusial. Jawaban dari pertanyaan ini akan menentukan apakah ini adalah jebakan yang disadari atau sebuah kebodohan takdir yang luar biasa dari pihak musuhnya.
Rendra tampak sudah mengantisipasi pertanyaan ini. Ekspresinya tetap tenang dan profesional, seolah sedang menjelaskan prosedur standar operasional.
"Prosesnya sangat rahasia dan impersonal, Nona," Rendra memulai penjelasannya. "Tuan Damian menggunakan jasa sebuah agensi pihak ketiga yang sangat diskrit untuk menyusun daftar kandidat potensial. Beliau memberikan serangkaian kriteria yang sangat spesifik dan tidak bisa ditawar."
Rendra berhenti sejenak, tatapannya bertemu dengan mata Alina. "Kriterianya sangat sederhana. Usia antara 22 hingga 25 tahun, status lajang, tidak memiliki catatan kriminal, dan yang terpenting, tidak memiliki ikatan keluarga dekat yang dapat menimbulkan komplikasi di masa depan. Dalam data kependudukan, status Anda sebagai yatim piatu... memenuhi syarat utama tersebut."
Ia melanjutkan, nadanya sedikit lebih hati-hati, seolah berjalan di atas lapisan es tipis. "Kriteria terakhir adalah... mohon maaf jika ini terdengar tidak sopan... kandidat harus berada dalam situasi finansial yang mendesak. Hal ini untuk memastikan komitmen penuh terhadap kontrak."
Alina merasakan darahnya mendingin. Jadi, di mata mereka, ia hanyalah sekumpulan data. Sebuah centang di dalam kotak-kotak kriteria. Yatim piatu, miskin, putus asa. Di mata mereka, ini membuatnya menjadi kandidat dengan "risiko terendah". Mereka melihatnya sebagai selembar kertas kosong yang bisa mereka tulis sesuka hati.
Mereka tidak tahu bahwa kertas itu sudah penuh dengan tulisan, ditulis dengan tinta kebencian.
"Nama Anda muncul sebagai salah satu dari tujuh kandidat di daftar final," lanjut Rendra. "Tuan Damian sendiri yang meninjau daftar pendek itu dan membuat pilihan akhir."
"Tapi dia bahkan tidak mengenal saya," bisik Alina, lebih pada dirinya sendiri.
"Pertemuan kita di depan lobi tadi pagi... itu murni kebetulan," kata Rendra, dan di sini Alina melihat kilat geli yang sangat tipis di matanya. "Namun, sepertinya kebetulan itu justru meyakinkan beliau untuk memilih Anda dari daftar. Mungkin beliau melihat sesuatu yang beliau anggap sebagai... kepatuhan."
Kepastian itu menghantam Alina seperti sambaran petir. Jadi begitu. Pertemuan singkat itu, di mana ia menyembunyikan kebenciannya di balik topeng gadis miskin yang terintimidasi, justru menjadi segel persetujuan. Damian mengira ia telah melihat seorang gadis penurut yang mudah dikendalikan.
Ya Tuhan. Mereka benar-benar tidak tahu apa-apa.
Kesadaran itu membuat Alina merasa pusing sekaligus luar biasa kuat. Ini bukan jebakan yang disengaja. Ini adalah kesalahan terbesar yang pernah dilakukan oleh keluarga Adhitama. Mereka, dalam keangkuhan mereka, secara acak telah memilih satu-satunya orang di dunia yang memiliki alasan paling kuat untuk menghancurkan mereka, dan mereka akan membayarnya untuk melakukannya. Alam semesta tidak hanya memberinya kesempatan; alam semesta telah memberinya undangan berlapis emas.
Rendra meletakkan sebuah kartu nama di atas map yang masih dipegang Alina. "Saya akan memberikan Anda waktu dua puluh empat jam untuk berpikir. Jika Anda memutuskan untuk menerima undangan pertemuan ini, hubungi nomor saya. Jika tidak, kami akan menghapus nama Anda dari daftar dan Anda tidak akan pernah mendengar kabar dari kami lagi."
Tanpa menunggu jawaban, Rendra mengangguk hormat, berbalik, dan pergi, meninggalkan Alina dalam keheningan yang kini terasa berbeda. Bukan lagi keheningan keputusasaan, melainkan keheningan sebelum badai.
Setelah Rendra pergi, Alina menutup pintu dan bersandar di baliknya, napasnya memburu. Ia menatap proposal di tangannya. Ini gila. Ini tidak mungkin. Tapi ini nyata.
Perang hebat kembali berkecamuk di dalam dirinya. Suara harga dirinya, suara ayahnya, menjerit agar ia menolak. Menolak untuk menjual namanya pada keluarga pembunuh.
Namun, suara lain, suara yang lebih dingin dan penuh perhitungan, kini tertawa penuh kemenangan. 'Mereka buta, Alina. Mereka buta! Mereka mengira kau adalah seekor domba, padahal kau adalah serigala yang mereka undang masuk ke dalam kandang. Kapan lagi kau akan mendapatkan kesempatan seperti ini?'
Ia berjalan ke arah kasurnya dan menatap surat pengusiran dari Bu Ratmi yang tergeletak di lantai. Ia memikirkan rasa lapar yang sering melilit perutnya, rasa sakit di punggungnya setiap malam, dan rasa malu karena harus menunduk di hadapan dunia. Cek lima ratus juta di dalam map itu adalah kebebasan. Bukan hanya kebebasan dari kemiskinan, tetapi kebebasan untuk bergerak, untuk merencanakan, untuk fokus pada satu-satunya hal yang penting.
Ini bukan menjual diri. Ini adalah membeli senjata. Senjata termahal dan paling mematikan yang bisa ia bayangkan.
Keputusannya sudah bulat, sekeras baja yang ditempa dalam api. Ia tidak akan membiarkan kesempatan takdir ini lewat begitu saja. Ia mengambil ponsel tuanya, mencari kartu nama Rendra, dan menekan nomornya. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena takut, tetapi karena antisipasi yang liar.
Saat suara Rendra yang efisien menjawab di seberang sana, suara Alina yang keluar terdengar mantap dan tanpa keraguan.
"Saya Alina Larasati," katanya. "Saya terima undangan pertemuan itu."
________________________________________
Satu jam kemudian, seperti yang dijanjikan, sebuah paket datang. Di dalamnya, ada sebuah gaun sederhana namun elegan, sepasang sepatu, dan sebuah tas tangan. Bersamanya ada secarik kertas dengan alamat sebuah penthouse suite di hotel paling mewah di kota dan waktu pertemuan: pukul tujuh malam ini.
Alina memegang gaun itu. Bahannya terasa lembut, sebuah kemewahan yang sudah lama tidak ia rasakan. Ini adalah kostum pertamanya. Seragam barunya.
Waktu berlalu dengan cepat. Pukul setengah tujuh malam, Alina telah selesai bersiap. Ia berdiri di depan cerminnya yang retak. Gaun biru malam itu mengubahnya. Gadis pembersih yang lelah dan pucat telah lenyap. Yang ada di sana adalah siluet seorang wanita anggun dengan postur yang tegak. Rambutnya yang ia biarkan tergerai membingkai wajahnya yang kini dirias tipis, cukup untuk memancarkan kembali cahaya yang pernah hilang.
Ia tidak terlihat seperti orang miskin yang baru saja mendapatkan durian runtuh. Ia terlihat seperti seorang ratu yang kembali dari pengasingan.
Gaun mewah itu menjadi kontras yang menyakitkan dengan latar belakang kamarnya yang berdinding kusam dan penuh noda. Namun, kontras itu justru menguatkan tekadnya. Ia tidak akan pernah kembali ke kehidupan ini. Ia akan mengambil semua yang ditawarkan Adhitama, dan kemudian, ia akan mengambil lebih banyak lagi.
Ia menatap bayangannya dalam-dalam. Matanya tidak lagi menunjukkan keputusasaan, melainkan nyala api yang dingin dan fokus. Nyala api seorang pejuang yang siap memasuki medan perang terbesarnya.
"Kalian mencari bidak catur yang polos, Tuan Adhitama," bisiknya pada bayangannya, sebuah senyum misterius tersungging di bibirnya. "Kalian tidak tahu, yang kalian dapatkan adalah sang ratu yang akan membalikkan papan permainan ini."