Transaksi di Puncak

Hotel Mahameru adalah sebuah simbol kekuasaan yang tak tersentuh bagi rakyat biasa. Lobi marmernya yang berkilauan, lampu kristal yang menggantung seperti galaksi beku, dan aroma bunga lili segar yang menguar di udara—semuanya dirancang untuk menegaskan satu hal: Anda berada di dunia yang berbeda. Bagi Alina, ini adalah dunia yang pernah ia kenal, dan perasaan familier itu memberinya fondasi kekuatan saat ia melangkah keluar dari lift pribadi yang membawanya ke penthouse suite.

Rendra, asisten yang efisien itu, menyambutnya dengan anggukan singkat dan membukakan pintu ke sarang singa. Ruangan yang terbentang di hadapannya begitu luas dan minimalis, didominasi oleh jendela raksasa dari lantai ke langit-langit yang menyajikan seluruh kota Jakarta sebagai permadani cahaya di bawahnya. Ini adalah pemandangan seorang raja yang menatap kerajaannya.

Dan di sanalah sang raja.

Damian Adhitama berdiri membelakangi pintu, menatap keluar jendela dengan tangan tersimpan di saku celananya yang mahal. Punggungnya yang tegap dan lebar memancarkan aura arogansi dan kontrol mutlak. Alina menarik napas dalam-dalam, memerintahkan jantungnya untuk tenang, dan mulai memainkan perannya. Ia sengaja membuat langkah kakinya sedikit ragu saat masuk, membiarkan keheningan yang canggung menggantung selama beberapa detik sebelum Damian akhirnya berbalik.

Saat mata mereka bertemu, Alina dengan cepat menundukkan pandangannya, seolah tidak berani menahan tatapan tajam itu. Damian menilainya dari atas ke bawah, namun kali ini tatapannya berbeda dari pertemuan mereka sebelumnya. Tidak ada lagi kecurigaan, yang ada hanyalah tatapan seorang direktur yang sedang mengevaluasi aset barunya. Dingin, berjarak, dan penuh keyakinan. Ia puas dengan pilihannya. Gadis ini tampak persis seperti yang ia butuhkan: sederhana, penurut, dan mudah terintimidasi.

"Selamat malam, Nona Larasati. Silakan duduk," kata Damian, suaranya dalam dan datar. Ia menunjuk ke arah sofa kulit berwarna gading yang tampak lebih mahal dari total pendapatan Alina selama sepuluh tahun ke depan.

Alina berjalan dengan langkah yang dibuat sedikit kaku, lalu duduk dengan hati-hati di ujung sofa, tidak berani bersandar. Ia sengaja membiarkan matanya menjelajah ruangan dengan ekspresi kagum yang tertahan, persis seperti reaksi yang diharapkan dari seseorang yang baru pertama kali melihat kemewahan seperti ini. Ia memeluk tas tangan kecil yang diberikan padanya seolah itu adalah pelampung di tengah lautan yang luas.

Damian duduk di kursi tunggal di seberangnya, menyilangkan kakinya dengan santai. Ia adalah predator yang nyaman di wilayahnya.

"Saya anggap kedatangan Anda ke sini berarti Anda tertarik dengan proposal saya," Damian memulai tanpa basa-basi. "Saya tidak suka membuang waktu, jadi saya akan langsung ke intinya."

Alina hanya mengangguk kecil, membiarkan Damian mendominasi percakapan.

"Seperti yang Rendra mungkin sudah jelaskan, saya membutuhkan seorang istri untuk tujuan bisnis. Durasi kontrak ini adalah tepat satu tahun," katanya, matanya menatap Alina lekat-lekat, mengukur setiap reaksinya. "Selama satu tahun itu, Anda akan menyandang nama Adhitama. Anda akan tinggal di rumah saya. Anda akan menemani saya ke setiap acara publik dan keluarga yang saya perintahkan. Di depan semua orang, Anda akan memerankan istri yang patuh dan mencintai suaminya."

Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap. "Namun, di balik pintu tertutup, kita adalah dua orang asing. Tidak akan ada hubungan emosional. Tidak akan ada hubungan fisik. Anda akan memiliki kamar Anda sendiri, saya akan memiliki kamar saya. Anda tidak akan mencampuri urusan pribadi saya, dan saya tidak akan tertarik dengan urusan Anda. Ini adalah transaksi bisnis murni. Apakah itu jelas?"

"J-jelas, Tuan," jawab Alina, ia sengaja membuat suaranya sedikit bergetar.

"Bagus," kata Damian, tampak puas dengan kepatuhan itu. "Sekarang bagian yang paling menarik bagi Anda. Kompensasi."

Ia mengamati wajah Alina dengan saksama. "Cek yang sudah Anda terima adalah uang muka. Selama masa kontrak, Anda akan menerima tunjangan bulanan sebesar seratus juta rupiah untuk semua kebutuhan pribadi Anda, dari pakaian hingga perawatan, untuk memastikan Anda selalu tampil representatif. Setelah kontrak satu tahun berakhir—dengan catatan Anda berhasil menjalankan peran Anda tanpa satu pun skandal—Anda akan menerima pembayaran final sebesar sepuluh miliar rupiah."

Alina membiarkan matanya membelalak dan napasnya tercekat. Ia memainkan perannya dengan sempurna. Ekspresi syok dan ketidakpercayaan total terpampang jelas di wajahnya, persis seperti yang diharapkan Damian. Ia melihat kilat kepuasan di mata dingin pria itu. Damian yakin ia telah menemukan tombol yang tepat. Dengan uang sebanyak itu, gadis miskin ini akan melakukan apa pun yang ia perintahkan.

Di dalam hatinya, Alina merasakan gelombang kemenangan yang dingin. Uang itu bukan hadiah. Itu adalah dana perang. Angsuran pertama dari harga yang harus dibayar oleh keluarga Adhitama atas semua dosa mereka.

Setelah membiarkan Alina "tercengang" oleh jumlah uang itu selama beberapa saat, Damian melanjutkan. "Tentu saja, ada syaratnya. Anda harus menandatangani perjanjian kerahasiaan yang sangat ketat. Jika Anda membocorkan detail apa pun dari perjanjian ini, kontrak akan langsung batal, semua pembayaran berhenti, dan tim hukum saya akan memastikan Anda menyesalinya seumur hidup."

Ancaman itu diucapkan dengan nada yang sama datarnya seperti saat ia membahas cuaca, yang justru membuatnya terdengar lebih mengerikan.

Alina menelan ludah, sebuah gestur ketakutan yang ia buat-buat. Ia menatap Damian dengan mata yang kini berkaca-kaca, sebuah mahakarya akting dari kerapuhan dan kepasrahan.

"Tuan Adhitama," ia memulai dengan suara kecil, "s-saya... saya hanya punya satu pertanyaan. A-atau permintaan."

Damian mengangkat alisnya, sedikit tidak sabar. "Apa itu?"

"Setelah... setelah kontrak ini selesai," kata Alina, menatap tangannya yang terkepal di pangkuan. "Anda... Anda akan membiarkan saya pergi, kan? Maksud saya, sepenuhnya pergi. Anda tidak akan... mencari saya atau mengganggu hidup saya lagi? Saya tidak punya apa-apa, Tuan. Saya hanya ingin... setelah semua ini, saya bisa kembali ke kehidupan saya yang tenang."

Permintaan itu begitu sempurna dalam kepolosannya. Itu adalah jeritan ketakutan dari seekor mangsa kecil di hadapan pemangsa puncaknya. Itu adalah permintaan yang sama sekali tidak menimbulkan kecurigaan. Sebaliknya, itu justru memuaskan ego Damian. Gadis ini begitu takut padanya hingga ia sudah mengkhawatirkan hidupnya setahun dari sekarang.

Sebuah senyum tipis yang penuh dengan superioritas tersungging di bibir Damian. "Tentu saja, Nona Larasati," jawabnya dengan nada merendahkan. "Anda terlalu melebih-lebihkan kepentingan Anda. Setelah saya tidak lagi membutuhkan Anda, saya tidak akan punya satu alasan pun untuk memikirkan Anda lagi. Anda akan bebas mengambil uang Anda dan menghilang."

"Terima kasih, Tuan," bisik Alina, menundukkan kepalanya dalam-dalam untuk menyembunyikan kilat kemenangan di matanya. Permintaannya yang terdengar menyedihkan itu baru saja memberinya jaminan keamanan untuk masa depannya, kebebasan untuk bergerak setelah misinya selesai.

"Rendra," panggil Damian.

Asistennya itu melangkah maju dengan sebuah tablet dan pena digital, seolah muncul dari bayang-bayang. Draf kontrak lengkap sudah terpampang di layar.

"Baca dan tandatangani," perintah Damian.

Alina berpura-pura membaca beberapa klausul dengan gugup, sebelum akhirnya menggoreskan tanda tangannya. Tangannya ia buat sedikit gemetar, baik karena akting maupun karena signifikansi dari momen itu. Di samping namanya, Damian menandatangani dengan goresan yang cepat dan penuh percaya diri.

Transaksi telah selesai.

Damian bangkit berdiri, menjulang di hadapan Alina yang masih duduk. "Selamat, Nona Larasati," katanya, nadanya dingin dan posesif. "Mulai besok, hidup Anda bukan lagi milik Anda sendiri. Mulai sekarang, Anda adalah milikku."

Alina hanya bisa mengangguk pasrah. Ia bangkit, siap untuk diantar pergi, perannya untuk malam ini telah selesai.

Ia berjalan menuju pintu, punggungnya terasa seperti ditusuk oleh tatapan Damian. Ia telah berhasil. Ia telah mengelabui sang iblis. Ia menatap tanda tangannya di tablet yang masih dipegang Rendra, bersebelahan dengan tanda tangan Damian yang angkuh.

Di dalam benaknya, sebuah suara yang dingin dan penuh kemenangan berbisik.

Dia mengira telah membeli kepatuhanku. Dia tidak tahu, dia baru saja menandatangani surat kehancuran keluarganya sendiri.