Sangkar Emas dan Tatapan Baja

Pagi setelah menandatangani perjanjian dengan iblis, Alina terbangun di kamar kosnya untuk terakhir kalinya. Udara terasa sama pengapnya, langit-langit masih sama bocornya, namun sesuatu di dalam diri Alina telah berubah secara fundamental. Keputusasaan yang kemarin mencengkeramnya telah menguap, digantikan oleh sebuah tekad yang dingin dan sekeras es. Ia bukan lagi korban takdir; ia adalah agen dari takdirnya sendiri.

Dengan gerakan metodis, ia mengemasi seluruh sisa hidupnya ke dalam sebuah tas ransel usang. Hanya ada beberapa setel pakaian pudar, sebuah novel tua, dan satu-satunya benda yang benar-benar berharga: foto kecil orang tuanya dalam sebuah bingkai perak yang mulai menghitam. Itu adalah seluruh dunianya, kini terbungkus dalam sebuah tas kanvas.

Sebelum waktu penjemputan yang ditentukan, ia mengetuk pintu kamar Bu Ratmi. Wanita pemilik kos itu membukakan pintu dengan wajah masam yang siap menagih utang. Tanpa banyak bicara, Alina menyerahkan sebuah amplop tebal berisi uang tunai—cukup untuk melunasi tunggakannya selama tiga bulan, ditambah bonus besar sebagai ucapan terima kasih sekaligus selamat tinggal.

Mata Bu Ratmi membelalak, mulutnya ternganga saat menghitung lembaran-lembaran uang itu. Kecurigaan dan kebingungan berperang di wajahnya. "Neng... ini... dari mana?"

"Saya mendapat pekerjaan baru, Bu," jawab Alina dengan tenang, saat sebuah sedan Mercedes hitam mengilap berhenti dengan anggun di mulut gang, membuat semua tetangga yang sedang lalu-lalang berhenti untuk menatap. Rendra melangkah keluar, menjadi pemandangan yang sangat kontras dengan lingkungan kumuh di sekitarnya. "Saya harus pergi sekarang. Terima kasih atas semuanya."

Alina berbalik, tidak memberikan penjelasan lebih lanjut, meninggalkan wanita itu dalam keterkejutannya. Ia melangkah masuk ke dalam mobil mewah itu, dan saat pintu ditutup dengan bunyi yang mantap, ia secara resmi meninggalkan dunia lamanya di belakang. Perjalanan menuju kediaman Damian Adhitama adalah sebuah transisi bisu melintasi jurang sosial ekonomi Jakarta. Gedung-gedung kumuh perlahan berganti menjadi butik-butik mewah, dan jalanan sempit berganti menjadi bulevar lebar yang dinaungi pepohonan.

Mansion Damian menjulang di hadapannya, sebuah mahakarya arsitektur modern yang terasa lebih seperti markas perusahaan yang futuristik daripada sebuah rumah. Dingin, megah, dan mengintimidasi. Saat melangkah masuk ke dalam lobi utama yang menggema, Alina disambut oleh seorang wanita paruh baya dengan postur sempurna dan sorot mata setajam baja.

"Selamat datang, Nona. Saya Marni, kepala pelayan di rumah ini," kata wanita itu, suaranya sopan namun tanpa kehangatan sedikit pun. Tatapannya menilainya sekilas, berhenti sepersekian detik pada ransel usang yang dibawa Alina, seolah benda itu adalah sebuah noda di atas lantai marmer yang sempurna.

Setelah Rendra pergi, Bu Marni mengambil alih. Ia memberi Alina tur singkat, menunjukkan ruangan-ruangan luas yang terasa kosong dan tak berjiwa. Ia melakukannya dengan efisiensi seorang penjaga penjara yang sedang menunjukkan sel baru pada narapidana.

"Dan area di ujung koridor itu," kata Bu Marni sambil menunjuk ke sebuah sayap bangunan yang terpisah, "adalah area pribadi Tuan Damian. Tidak ada seorang pun yang diizinkan masuk tanpa izin beliau. Termasuk Anda." Peringatan itu diucapkan dengan penekanan yang jelas.

Akhirnya, mereka tiba di depan kamar yang akan menjadi sangkar emas Alina. Sebuah suite yang lebih luas dari seluruh rumah petak, dengan tempat tidur raksasa, lemari pakaian berukuran sebuah kamar, dan balkon pribadi yang menghadap ke taman zen.

"Semoga Nona betah," kata Bu Marni, nadanya masih datar. "Biasanya... tamu seperti Nona tidak tinggal lama."

Itu adalah sebuah hinaan yang dibalut dengan kesopanan tipis. Sebuah pernyataan bahwa Bu Marni menganggapnya tak lebih dari seorang wanita simpanan sementara. Alina tahu, ini adalah ujian pertamanya. Jika ia menunjukkan rasa takut atau tersinggung, ia akan kalah.

Alih-alih bereaksi, Alina justru memainkan perannya sebagai seorang nyonya rumah yang baru, peran yang sebenarnya mengalir dalam darahnya. Ia berjalan pelan ke tengah ruangan, menyapu pandangannya dengan kritis namun tenang. Ia berhenti di dekat sebuah vas kristal yang berisi bunga lili putih segar.

"Terima kasih, Bu Marni," kata Alina dengan suara lembut namun tegas, tidak menatap wanita itu secara langsung melainkan pada bunga di hadapannya. "Semuanya tertata dengan baik. Hanya satu hal, tolong gantikan bunga lili ini dengan mawar putih segar setiap pagi. Saya kurang menyukai aroma lili."

Bu Marni terdiam. Permintaan itu sederhana, tetapi perintah di baliknya sangat jelas. Itu bukan permintaan seorang gadis miskin yang bersyukur. Itu adalah instruksi dari seorang nyonya rumah kepada stafnya. Sebuah penegasan status yang halus namun tak terbantahkan. Alina tidak meminta, ia memberi perintah. Untuk sesaat, Bu Marni tampak terkejut, sebelum akhirnya mengangguk kaku.

"Baik, Nona. Akan saya urus," jawabnya, dan Alina bisa merasakan pergeseran kecil dalam dinamika mereka. Perang dingin pertama baru saja dimenangkan.

Setelah Bu Marni pergi, Alina akhirnya sendirian. Ia meletakkan ranselnya yang terasa konyol di atas tempat tidur sutra itu. Ia mengeluarkan satu per satu isinya: beberapa helai pakaian yang ia letakkan di salah satu sudut lemari raksasa, dan bingkai foto orang tuanya yang ia letakkan dengan hati-hati di atas meja nakas. Benda kecil itu menjadi satu-satunya sumber kehangatan di ruangan yang dingin dan steril ini.

Rasa kesepian dan beratnya misi yang ia emban mulai menghimpitnya. Ia berada di jantung wilayah musuh, dikelilingi oleh kemewahan yang dibeli dengan darah dan air mata keluarganya. Ia merasa terperangkap, bukan hanya di dalam rumah ini, tetapi juga di dalam peran yang harus ia mainkan.

Malam harinya, ia tidak bisa tidur. Pikirannya terlalu aktif, merencanakan langkah selanjutnya. Merasa haus, ia memutuskan untuk memberanikan diri keluar dari kamarnya, menyusuri koridor yang remang-remang menuju dapur. Ia berasumsi seluruh rumah sudah terlelap.

Dapur itu sendiri adalah sebuah karya seni, dengan peralatan baja tahan karat yang berkilauan dan sebuah meja marmer besar di tengahnya. Saat ia melangkah masuk, jantungnya nyaris berhenti berdetak.

Ia tidak sendirian.

Damian Adhitama ada di sana, berdiri membelakanginya, hanya diterangi oleh cahaya remang dari kulkas yang terbuka. Ia tidak mengenakan setelan jasnya yang mengintimidasi. Ia hanya mengenakan kaus oblong hitam polos dan celana olahraga abu-abu. Tanpa baju zirah korporatnya, ia terlihat... berbeda. Lebih muda. Lebih manusiawi. Punggungnya yang lebar dan bahunya yang tegap tampak rileks.

Alina membeku di ambang pintu, tidak tahu harus berbuat apa. Mundur sekarang akan menimbulkan suara. Maju pun terasa canggung.

Damian sepertinya merasakan kehadirannya. Ia menutup pintu kulkas, membuat dapur menjadi sedikit lebih gelap, lalu berbalik. Di tangannya ada sebotol air mineral. Matanya menyipit saat melihat Alina berdiri di sana, tampak seperti seekor rusa yang tertangkap sorot lampu mobil.

Ini adalah pertemuan pertama mereka yang tidak direncanakan, tanpa agenda, tanpa sandiwara.

"Tidak bisa tidur?" tanya Damian, suaranya lebih rendah dan tidak sedingin biasanya. Mungkin karena lelah, atau karena terkejut.

"Hanya... haus," jawab Alina pelan, memainkan perannya sebagai gadis pemalu. Ia berjalan perlahan ke arah lemari gantung untuk mengambil gelas, berusaha bergerak senormal mungkin.

Saat ia mengulurkan tangan untuk mengambil sebuah gelas, Damian, yang masih berdiri di dekat konter, juga sedikit bergeser. Untuk sepersekian detik yang fatal, punggung tangan mereka bersentuhan.

Sebuah sengatan listrik yang kecil namun tajam menjalari lengan Alina. Ia menarik tangannya kembali seolah tersengat api. Damian pun melakukan hal yang sama, ekspresinya berubah menjadi keterkejutan yang tak bisa disembunyikan.

Keheningan yang canggung menyelimuti mereka. Di bawah cahaya temaram dapur, Damian menatapnya, benar-benar menatapnya untuk pertama kali. Bukan sebagai aset, bukan sebagai pion, tetapi sebagai seorang wanita yang berdiri hanya beberapa jengkal darinya. Ia mungkin melihat lingkaran samar di bawah mata Alina yang tidak bisa ditutupi oleh riasan, atau cara Alina secara refleks memeluk lengannya sendiri. Sesuatu yang nyata. Sesuatu yang manusiawi.

Momen itu pecah secepat ia dimulai. Damian seolah tersadar, dan topeng dinginnya kembali terpasang dengan sempurna. Ia berdeham, memutus kontak mata mereka. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi, ia berbalik dan berjalan keluar dari dapur, meninggalkan Alina sendirian dalam keheningan.

Alina masih berdiri mematung, jantungnya berdebar kencang. Bukan karena takut, tetapi karena sesuatu yang lain. Sesuatu yang membingungkan dan sama sekali tidak ia inginkan. Ia menatap tangannya, tempat kulit mereka bersentuhan.

Ia datang ke rumah ini untuk berperang melawan monster, untuk menghancurkan iblis berwujud manusia. Tetapi pria yang baru saja ia lihat, untuk satu detik yang singkat itu, bukanlah monster. Dia hanyalah seorang pria yang juga tidak bisa tidur di tengah malam di rumahnya yang besar dan sepi.

Perasaan baru yang aneh ini sebuah keraguan, sebuah kebingungan mulai merayap ke dalam hatinya. Dan itu jauh lebih menakutkan daripada kebencian murni yang selama ini menjadi pegangannya.