Hari kedua dimulai lebih cepat dari yang pertama. Bahkan sebelum matahari menyentuh puncak tembok benteng, bunyi seruling perang dari pihak musuh terdengar memekakkan telinga. Tidak ada waktu untuk tidur. Tidak ada waktu untuk merawat luka. Alzareth belum sempat berkabung, tapi peperangan sudah menuntut babak berikutnya.
Kabut pagi masih bergelantungan rendah saat pasukan musuh menyusup dari tiga titik: lorong pedagang, pelataran kuil tua, dan selokan bawah tanah yang mereka dobrak diam-diam semalaman. Taktik mereka berubah—dari kekuatan frontal menjadi infeksi lambat, menyusup dan mematikan dari dalam.
Rakyat yang masih hidup tetap bertahan di tempat-tempat perlindungan seadanya. Di sebuah rumah pemotong kayu, empat keluarga tinggal berimpit, bersama anak-anak dan dua kakek yang tidak bisa berjalan. Di gang belakang penginapan, anak-anak yatim piatu berdoa dalam bisikan.
"Ibu bilang dewa tinggal di kuil itu," bisik seorang bocah.
"Tapi kuilnya sekarang dibakar... jadi di mana dewanya sekarang?" balas yang lain.
Tak ada yang menjawab.
Di pelataran kuil tua, Raja Kaedor Alzareth berdiri sendiri. Darah menetes dari lengan kirinya yang terluka. Sekujur tubuhnya ditutupi noda kering: tanah, debu, darah, dan abu.
Empat puluh musuh menghadangnya. Mereka mengira raja sudah kelelahan. Mereka salah.
Kaedor menyerang lebih dulu. Ia berlari menuruni tangga kuil seperti petir yang menyambar. Tombaknya memecah barisan depan. Ia menebas dengan presisi, lalu berputar memukul kepala musuh ke dinding batu. Satu tentara mencoba menusuk dari belakang—Kaedor menginjak lututnya dan menghantam dadanya dengan siku.
Tubuh-tubuh berserakan. Tanah kuil berubah warna. Doa-doa di lantai batu dipenuhi darah.
Di distrik utara, Garn memimpin pasukan di antara gang-gang sempit. Mereka bertempur dengan senjata seadanya. Pedang bengkok. Perisai kayu. Pisau dapur.
Rakyat ikut bertarung. Seorang ibu menusuk perut musuh dengan garpu besi saat anaknya hampir dibawa pergi. Seorang pandai besi menghantam helm lawan dengan palu panas, bahkan setelah dirinya tertikam.
Teriakan bercampur bau besi dan api. Tapi mereka bertahan.
Zenon menatap dari balkon tinggi kastil. Api membakar horizon, dan suara perang terdengar seperti nyanyian sunyi.
Ia menulis sesuatu di atas buku catatan kecil. Diagram. Panah. Angka-angka.
"Mereka tidak tahu bahwa semuanya bisa dipetakan. Bahkan kematian," bisiknya.
Ibunya berdiri di belakangnya, memegang secangkir air.
"Kau terlalu tenang, Zenon."
"Kalau aku menangis sekarang, siapa yang akan ingat semuanya nanti?"
Ia tersenyum. Matanya tidak.
Hari kedua selesai. Dan sebagian dari kota sudah tidak ada lagi.