Hari Ketiga: Api, Tulang, dan Kenyataan

Hari ketiga dimulai dengan suara ratapan. Bukan dari mereka yang sekarat, tapi dari mereka yang selamat. Rakyat Alzareth, yang kemarin masih menggenggam harapan, kini hanya menggenggam tanah. Tak ada yang mereka lindungi selain reruntuhan. Banyak dari mereka yang tidak lagi berteriak ketika kehilangan sesuatu—karena mereka sudah kehilangan segalanya.

Raja Kaedor hanya tidur satu jam semalam, duduk di anak tangga pelataran kuil yang kini penuh darah. Ketika ia bangun, ia tidak bicara, hanya mengangkat tombaknya dan kembali ke medan perang.

Pasukan musuh kini telah menguasai dua per tiga kota. Mereka bergerak dari jalan utama, menekan sisi barat dan selatan sekaligus. Di gang-gang yang dulu penuh aroma roti dan pasar, kini dipenuhi abu, besi, dan organ manusia.

Kaedor memimpin serangan balasan kecil di distrik barat. Bersama lima puluh prajurit tersisa, mereka menyerang balik unit pengepung. Ia menebas tanpa suara. Gerakannya tetap cepat, walau napasnya semakin pendek. Musuh mulai mengenalinya. Mereka menghindar, atau menyerang dalam kelompok besar.

Di antara serangan itu, seorang prajurit Alzareth bertanya, “Berapa lama lagi kita bisa bertahan?”

Kaedor menjawab sambil melempar tombak: “Cukup lama, agar ada yang lolos.”

Di ruang bawah tanah kastil, para pelayan memindahkan peralatan dan logistik ke lorong rahasia. Permaisuri Ellanora memimpin sendiri pengungsian dalam diam. Zenon membantu menghitung peta, makanan, dan senjata. Tangannya cekatan, matanya tak pernah lepas dari skema kota.

"Mereka akan masuk ke pusat dalam dua hari," katanya.

"Atau lebih cepat," balas ibunya. “Saat itu terjadi, kau harus pergi.”

Zenon menatap ibunya, lama.

"Kau tahu aku tidak suka perintah."

Ellanora tersenyum tipis. "Itu bukan perintah. Itu satu-satunya keputusan yang sudah dibuat dunia untukmu."

Zenon terdiam. Ia memandangi kuku jarinya yang ternoda tinta.

"Kalau begitu, biarkan aku memutuskan kapan waktunya tepat."

Di atas tanah, di tengah reruntuhan balai kota, Garn dan Taron bertarung bahu-membahu. Mereka mempertahankan gerbang kedua yang tersisa, tapi musuh sudah mulai merangsek dengan panah api dan ledakan kecil.

Mayat-mayat pasukan Alzareth mulai dibakar sendiri agar tidak menjadi alat sihir musuh.

Dan saat malam ketiga tiba, seluruh langit berubah merah gelap. Seolah dunia pun mulai lupa warna biru.

Hari ketiga belum usai. Tapi yang mati, sudah terlalu banyak untuk dihitung.