Angin pegunungan meniup lembut rambut pirang Zenon yang kini lepek oleh lumpur dan darah kering. Jejaknya tertinggal samar di tanah bebatuan, satu-satunya bukti bahwa anak berusia sepuluh tahun pernah melintasi jalur sunyi itu. Tanpa pengawal. Tanpa peta. Tanpa arah yang pasti.
Hari pertama setelah kehancuran Alzareth adalah sunyi. Tidak ada suara lain kecuali napasnya dan desir angin. Zenon tidak bicara. Tidak merenung. Ia hanya berjalan. Di tangan kirinya, sebuah pedang tumpul yang ia ambil dari jasad prajurit di gerbang lorong. Di tangan kanannya, kantong air dari kulit kambing, yang tinggal setengah.
Ia tidak menangis.
Tidak lapar.
Tidak mengeluh.
Tapi tubuhnya mulai melemah. Kakinya luka. Perutnya kosong. Pada malam ketiga, ia nyaris pingsan di bawah akar pohon besar. Tapi justru di situlah sesuatu tumbuh.
Seekor serigala muda keluar dari semak. Matanya bersinar dalam gelap. Nafas Zenon tercekat. Tapi tangannya bergerak.
Tanpa suara, ia mengangkat batu besar dan melempar dengan kekuatan seluruh tubuhnya. Batu itu menghantam kepala serigala. Tidak mati, tapi cukup untuk membuatnya limbung. Zenon menubruknya dengan bahu dan menusukkan pedangnya ke perut binatang itu.
Darah membasahi tangan Zenon. Ia duduk di samping bangkai itu selama satu jam.
Kemudian ia mulai menguliti.
Malam itu, ia memanggang daging dengan api kecil dari ranting kering. Rasanya pahit dan amis. Tapi ia makan sampai habis. Di bawah langit berbintang yang terasa terlalu jauh, Zenon bergumam pelan:
“Kalau ini harga bertahan hidup... aku akan membayarnya.”
Hari demi hari berlalu. Bulan pertama dihabiskan dengan berjalan kaki tanpa tujuan tetap. Zenon tidur di bawah pohon, di dalam gua, bahkan di atas pohon ketika tanah terlalu basah. Ia berburu kelinci, burung liar, dan sekali waktu, babi hutan kecil.
Ia mulai melatih tubuhnya. Mendorong batu. Melompat dari akar ke akar. Menendang batang kayu. Ia tidak tahu teknik apa pun, tapi tubuhnya mulai menghafal irama gerakan. Otot-ototnya mulai terbentuk dari sisa makanan dan tidur yang buruk. Gerakannya menjadi lebih tenang, lebih dalam. Seperti binatang yang sedang menunggu saat tepat untuk menerkam.
Saat tubuhnya mulai terbiasa dengan rasa sakit, ia belajar mengendalikannya.
Pada malam ke-34, ia melihat cahaya.
Dari lereng sebuah bukit kecil, Zenon melihat lampu-lampu tergantung di atas atap bangunan. Api lentera. Suara riuh samar. Aroma roti dan daging panggang terbawa angin. Zenon bergumam,
"Manusia... apakah mereka dari kerajaan?, tunggu aku bisa memanfaatkan ini"
Sebuah desa.
Zenon berdiri mematung. Tubuhnya dekil. Rambutnya kotor. Bajunya compang-camping dan menempel karena keringat.
Tapi matanya bersinar. Bukan karena harapan. Tapi karena satu pikiran:
“Aku butuh tempat untuk menjadi manusia lagi... agar bisa menipu mereka seperti iblis.”
Langkah kakinya bergetar. Tapi kali ini, bukan karena lelah.
Melainkan karena sesuatu di dalam dirinya... mulai bangun.