“Mey?!”
Terdengar suara seorang wanita dari lantai bawah. Suaranya cukup nyaring, membuat jantung Mey berdebar.
“Kamu ini ya, disuruh bangun malah tidur balik?”
Dengan mata setengah terbuka dan rambut acak-acakan, Mey bangkit dari kasur sambil menguap kecil.
“Hush…” gumamnya pelan, mencoba menyadarkan diri.
Tak lama kemudian, kakaknya—Tania—muncul di depan pintu.
“Itu baju kamu udah kusut, tau!” tegur Tania sambil melipat tangan.
Mey hanya bisa nyengir. “Iya, iya, Mbak. Tapi aku ke sekolah dulu, nanti baru mampir ke tokoh ya?”
Sambil bicara, ia cepat-cepat membereskan buku-bukunya dan memasukkannya ke dalam tas.
Mey menyalami tangan kakaknya sebelum melangkah pergi.
“Assalamualaikum, Mbak!” katanya sambil berlari kecil, senyum nakalnya terselip di wajah yang masih ngantuk.
Tania hanya menggeleng sambil berkata pelan, “Anak bandel… tapi hatinya lembut.”
Pagi di kampung begitu biasa: suara ayam, ibu-ibu berbincang, dan motor tua yang meraung lewat. Mey menyusuri jalanan kecil sambil menyapa beberapa warga yang sudah dikenalnya sejak kecil.
“Eh Mey! Mau sekolah ya?”
“Iya, Pak!” jawabnya sambil tersenyum.
Langkahnya ringan, tapi entah kenapa hari itu terasa berbeda.
Saat kakinya menginjak papan kayu jembatan kecil di ujung kampung, matanya tertuju pada sosok yang tak asing—tapi jarang terlihat. Seorang remaja lelaki berdiri di seberang sana, membawa buku dan tas di tangannya. Di sampingnya, seorang wanita—mungkin ibunya—menemaninya.
Mey terdiam.
Mata mereka bertemu. Hanya sekejap, tapi terasa seperti selamanya.
Tidak ada kata. Tidak ada senyum.
Hanya tatapan. Hening.
Dan di saat itu… waktu seolah berhenti.
Angin yang tadi sejuk, mendadak tak terasa.
Langkah Mey pun melambat, seakan jantungnya lupa cara berdetak.
Lelaki itu… tidak pernah menyapa. Tidak pernah tersenyum. Tapi sejak hari itu, dia tinggal di dalam hati Mey.
Setelah waktu seolah berhenti di atas jembatan itu, Mey masih berdiri diam. Pandangannya tak bergeser dari wajah pria itu. Tatapannya dalam, penuh rasa ingin tahu, seolah mencoba membaca sesuatu di balik mata yang tenang dan dingin itu.
Cinta pandang pertama?
Atau hanya rasa penasaran yang tumbuh terlalu cepat?
Entahlah. Tapi satu hal yang pasti—sejak detik itu, wajah lelaki itu menempel di benaknya.
Siapa dia? Kenapa jarang kelihatan?
Apa dia tinggal di ujung kampung?
Atau memang… dia bukan tipe yang suka bersosial?
Mey menghembus napas perlahan. “Udahlah,” gumamnya pelan. “Jangan halu, Mey…”
Beberapa menit kemudian, mobil angkutan desa datang. Mey naik sambil masih menoleh ke belakang—menatap sekali lagi ke arah di mana lelaki itu berdiri tadi. Tapi… dia sudah tak ada.
⸻
Scene: Di Sekolah Dasar
Sekolah. Tempat yang bagi sebagian anak adalah dunia bermain, tapi bagi Mey waktu itu… lebih seperti kandang harimau.
Ia duduk lesu di bangkunya. Rambut sedikit berantakan, mata sayu, dan semangatnya entah tertinggal di rumah.
“Kenapa sih… ada yang namanya sekolah?” keluhnya sambil menatap langit-langit kelas.
Seketika, suara ceria menghampirinya.
“Mey!! Wah, tumben nggak kesiangan?”
Temannya, Sela, datang dengan senyum lebar dan nafas sedikit ngos-ngosan.
Mey nyengir kecil. “Iya nih… hari ini dipaksa bangun sama kakakku.”
Sela langsung duduk di sampingnya dan mencubit pipinya pelan. “Yuk main bentar sebelum guru datang!”
Mey mengangguk. Meski hatinya tidak begitu suka sekolah, tapi bersama teman seperti Sela… ia merasa lebih ringan. Setidaknya, sekolah jadi nggak seburuk itu.
Tapi di sudut hatinya, wajah lelaki di jembatan tadi masih terukir jelas.
Dan dia tidak tahu, bahwa pertemuan kecil di tahun 2019 itu… akan berubah jadi kisah yang lebih besar di masa depan.
– suasana sekolah SD
Di dalam kelas, suara kapur di papan tulis sesekali terdengar kasar. Suasana agak panas, kipas langit-langit berputar perlahan seperti malas.
Mey duduk di bangku kedua dari depan, menopang dagu. Matanya kosong menatap papan tulis, tapi pikirannya masih tertinggal di jembatan tadi pagi.
Tatapan itu… kenapa nggak bisa hilang sih dari otakku?
“MEY!”
Suara guru perempuan di depan kelas mengejutkannya.
“Eh! Iya, Bu?”
Mey kaget dan langsung tegak.
Bu Guru mengangkat alis. “Coba kamu ulangi penjelasan Ibu barusan. Tentang nilai pecahan.”
Mey terdiam. Semua mata memandang ke arahnya.
Dari belakang, temannya Sela berbisik sambil tahan tawa, “Duh… ketahuan melamun mikirin ‘abang jembatan’ tuh.”
Mey hampir ketawa, tapi buru-buru menahan. “Ehehe… maaf, Bu,” katanya malu.
Bu Guru hanya geleng kepala sambil tersenyum. “Lain kali, jangan melamun terus ya, Mey. Dunia nyata lebih butuh perhatian kamu.”
Tapi kalau dunia nyata malah isinya dia, gimana, Bu?
⸻
Pulang Sekolah –
Bunyi lonceng tanda pulang membuat suasana sekolah langsung riuh. Mey cepat-cepat keluar dari gerbang, jalan kaki menyusuri jalan kampung.
Sebelum balik ke rumah, dia singgah ke toko ubat seperti pesan kakaknya.
Toko kecil itu sederhana, dengan rak-rak kayu dan bau balsem yang khas. Di balik meja kasir, ada nenek tua yang ramah.
“Assalamualaikum, Nek!”
“Waalaikumsalam. Oh, Mey! Mau beli apa, sayang?”
“Obat untuk sendi ya, Nek. Yang biasa Kak Tania beli buat nenek aku tu…”
“Ah iya, ada. Tunggu ya.”
Saat menunggu, Mey duduk di bangku plastik sambil memandang keluar jendela.
Sela tiba-tiba lewat sambil naik basikal. Dia berhenti dan teriak,
“Meyyy! Nanti main ke rumahku ya! Aku punya cerita seram!”
Mey tertawa kecil. “Oke, nanti aku datang!”
Saat si nenek kembali dengan bungkus ubat di tangan, Mey mengucap terima kasih dan segera berjalan pulang. Tapi dalam hatinya…
Wajah lelaki itu tetap tak pergi.
Tatapan itu… masih mengganggunya. Tapi bukan dengan rasa takut—tapi rasa aneh yang hangat.
Sejak pertemuan di jembatan itu… semuanya berubah. Meski hanya Mey yang tahu.
-Di kampung
Matahari sudah mulai turun saat Mey sampai di rumah. Rumah kayu sederhana itu berdiri tenang di pinggir jalan kampung, dikelilingi pokok pisang dan semak belukar yang tumbuh liar.
Dia membuka pintu perlahan. Bunyi engsel tua menyambutnya seperti biasa.
Di ruang depan, neneknya sedang berbaring di atas tikar rotan, kipas angin kecil berdengung perlahan di sudut ruangan.
“Assalamualaikum, Nek… Ini obatnya,” ucap Mey pelan, sambil menyerahkan bungkusan kecil yang dia beli tadi.
Nenek membuka mata dan tersenyum.
“Waalaikumsalam, alhamdulillah… cucu nenek baik sekali hari ini.”
Mey hanya tersenyum dan duduk di samping nenek, mulai membuka plastik dan menyusun obat di atas meja kecil.
Tak lama kemudian, terdengar suara dari dapur.
“Mey! Udah balik ya?”
Itu suara Kak Tania, kakaknya. Ia keluar sambil mengelap tangan dengan kain.
“Cepat juga kau balik. Terima kasih ya, adik. Nenek dari tadi nanya obat dia.”
“Iya… tadi gak ramai orang di toko,” jawab Mey pelan.
Tania menatap Mey agak lama, lalu duduk di sebelahnya.
“Kau kenapa, ha? Dari tadi diam aja. Melamun ya?”
Mey cepat-cepat geleng.
“Nggak ah… cuma… capek sekolah aja.”
Tapi hatinya tahu, itu cuma alasan.
⸻
🌙 Malam Hari – Di Kamar Mey
Langit malam sudah gelap. Angin sepoi masuk dari jendela yang terbuka setengah. Suara cengkerik dari luar mengisi keheningan.
Mey berbaring di atas ranjang kecilnya. Di dinding ada poster kartun dan beberapa gambar yang ia lukis sendiri.
Tapi malam ini, matanya tak bisa lelap.
Tatapan itu…
Lelaki itu…
Kenapa rasanya nggak biasa?
Dia menoleh ke langit-langit.
“Kenapa cuma lihat sekali… tapi rasanya kayak… aku kenal dia?”
“Dan kenapa… dari semua orang di kampung ini, cuma dia yang nggak pernah senyum?”
“Tapi hari itu… dia lihat aku.”
Mey memejam mata perlahan, mencoba tidur…
Tapi jantungnya masih menyimpan satu rasa: penasaran yang manis.
Dan sejak hari itu—hari di jembatan itu—ia tak pernah melihat lelaki itu lagi.
———
Dua tahun pun berlalu.
Dan tidak seperti dulu, Mey tak lagi mencari bayangan itu.
Tak lagi berdiri di jembatan berharap ada tatapan yang kembali.
Karena dalam diam, dia sudah belajar satu hal:
Tidak semua yang muncul akan kembali.
Dan mungkin, itu memang pertemuan yang terakhir.
Sekarang, Mey duduk di bangku kelas 9 di sebuah SMP swasta.
Wajahnya lebih dewasa, langkahnya lebih tenang —
tapi jauh di dalam hatinya…
masih ada ruang kosong yang tidak pernah dia tanyakan, tidak pernah dia jawab.
⸻
Hari itu…
Cuaca mendung.
Angin yang masuk lewat jendela membuat kelas terasa hening.
Mey bersandar di meja, setengah mengantuk, setengah bosan.
Tiba-tiba, dua teman sekelas masuk dan berbisik di belakang:
“Eh, dengar nggak?”
“Katanya, hari ini ada guru baru…”
“Yang gantiin Bu Nisa itu…”
“Katanya… masih muda. Ganteng, lho.”
Mey hanya mendengar sekilas.
Dia tidak terlalu peduli — sudah biasa dengan guru pengganti.
Tapi entah kenapa,
ada sesuatu di dadanya yang bergetar tanpa alasan.
Perasaan yang seharusnya sudah hilang…
muncul kembali.
Dan sebelum dia sempat mengerti kenapa…
pintu kelas diketuk dari luar.
⸻
🕯️ TAMAT EPISODE 1