Suara ketukan di pintu kelas terdengar.
Tok. Tok.
Semua kepala refleks menoleh ke depan.
Suasana jadi senyap, seolah waktu ikut menahan napas.
Pintu terbuka perlahan.
Dan seorang lelaki muda melangkah masuk.
Langkahnya tenang. Pasti.
Kemeja biru muda terlipat kemas hingga siku, rambut tersisir rapi, dan sorot mata… tajam, tapi tak menakutkan. Ada sesuatu di situ.
Tenang. Dalam. Tapi… asing.
Di tangannya cuma satu file. Di wajahnya hanya senyum kecil. Tapi cukup untuk membuat seluruh kelas terdiam sejenak.
Kecuali Mey.
Karena dunia Mey—langsung berhenti.
Itu dia.
Lelaki itu.
Yang pernah berdiri di seberang jembatan. Tahun 2019.
Tatapan itu—yang hanya sekali, tapi tinggal selamanya.
Mey terkunci dalam diam.
Matanya menatap, tapi tubuhnya membeku.
Seperti tubuhnya ada di kelas… tapi jiwanya tersedot ke masa lalu.
“Kenapa dia ada di sini?”
“Kenapa sekarang?”
“Kenapa… masih sama?”
Suara lelaki itu memecah hening.
“Assalamualaikum.”
Tenang. Dalam. Seperti air sungai yang tak pernah lupa mengalir.
“Saya Enzi. Guru praktikal yang akan menggantikan Bu Nisa untuk beberapa minggu ke depan.”
Sela, di samping Mey, langsung terkekeh kecil.
“Ya Allah, ganteng! Macam oppa Korea mix kampung!”
Tapi Mey tak menyahut. Tak juga senyum.
Tangannya menggenggam meja erat. Telapak berpeluh dingin.
Matanya tak berkedip.
Bukan mimpi.
Dia benar-benar ada di sini.
Dan yang lebih menakutkan… dia menatap balik.
Sesaat. Sekilas.
Pandangan mereka bersilang.
Dan dalam satu detik yang seperti seabad itu—
hati Mey rebah.
Tapi hanya dia yang merasa.
Hanya dia yang mengingat.
Karena setelah itu, lelaki itu—guru bernama Enzi—langsung mengalihkan pandangan.
Sekilas. Lalu hilang.
Seolah tak terjadi apa-apa. Seolah Mey hanyalah siswi biasa. Seolah… dia tidak pernah ada di dalam fragmen hidup Enzi yang manapun.
“Baik, kita langsung mulai,” ucap Enzi dengan suara datar tapi jelas.
Tanpa basa-basi. Tanpa perkenalan panjang.
Ia melangkah ke papan tulis, lalu menuliskan “Fungsi Kuadrat & Grafik” dengan kapur putih. Tulisan tangannya rapi, sedikit miring ke kanan.
Sela mendengus pelan di sebelah.
“Guru baru tapi seriusnya kayak mau ngisi seminar nasional.”
Tapi nggak ada yang berani banyak bicara.
Kelas itu… diam terpaku.
Mungkin karena auranya. Atau cara dia mengajar—tenang tapi tegas. Nggak ada basa-basi, nggak ada canda berlebihan.
Fokus. Itu dia.
Guru yang mengajar dengan sepenuh hati dan otak—bukan sekadar ikut modul.
Setiap contoh yang dia berikan tepat. Setiap pertanyaan dijawab dengan penjelasan yang masuk akal. Bahkan murid yang biasanya kabur soal matematika, tiba-tiba bisa mengangguk mengerti.
Dan yang aneh…
Nggak sekalipun matanya mengarah ke Mey.
Seolah Mey itu dinding. Atau kosong.
Padahal Mey, diam-diam, terus memperhatikan.
Kenapa kamu nggak lihat aku?
Kenapa… kamu nggak ingat apapun?
Di belakang kelas, suasana mulai bergerak.
Beberapa siswi berbisik soal betapa tampannya guru baru itu.
Yang cowok-cowok juga mulai kagum—karena Enzi berhasil bikin satu kelas diam hanya dalam 10 menit pertama.
“Gila, bro. Dia kayak karakter anime. Diam, cool, tapi jenius.”
“Dulu kita ribut, guru marah. Sekarang dia diam aja, tapi semua takut ribut. Auranya beda, bro!”
Mey masih duduk di bangkunya, tubuhnya seolah ikut arus pelajaran… tapi pikirannya nggak.
Setiap gerakan Enzi terasa lambat di matanya.
Cara dia memegang penghapus. Cara dia menulis angka.
Cara dia diam sejenak sebelum menjawab, lalu menjelaskan dengan suara rendah yang dalam tapi jelas.
Dan yang paling bikin dada Mey sesak—
Tatapan itu nggak datang lagi.
Sekali. Itu saja.
Setelah itu, tidak ada lagi.
Dia benar-benar… tidak mengenal aku.
⸻
Ketika bel akhirnya berbunyi, seluruh kelas seperti menghela napas lega.
Tapi Mey tetap diam.
“Oke, kita lanjut besok. Pastikan latihan ini dikerjakan,” kata Enzi, sambil menuliskan nomor soal di papan.
Ia menutup file, mengangguk sopan, lalu keluar dari kelas.
Tanpa menoleh. Tanpa satu tatapan pun.
Para siswa mulai bergerak. Suasana kembali ramai.
Tapi Mey masih terpaku.
Sela menoleh padanya, dahi mengernyit.
“Weh… lo nggak apa-apa?”
Mey tidak menjawab.
Di luar jendela, awan perlahan bergerak.
Langit biru mulai kelabu. Seolah tahu—ada rasa yang tumbuh kembali di dalam dada seseorang… tapi hanya satu pihak yang merasakannya.
———
Bel pulang berdentang.
Langit sore mulai menguning, suara langkah kaki memenuhi lorong sekolah. Suasana jadi riuh tapi damai—seperti ritual harian yang sudah biasa.
Satu per satu siswa keluar dari kelas.
Beberapa dari mereka, terutama murid-murid yang lebih muda, dengan sopan berjalan ke arah guru-guru yang berdiri di koridor…
Menyalami tangan mereka dengan hormat.
“Terima kasih, Pak…”
“Assalamualaikum, Bu…”
Tradisi yang hangat.
Yang kecil menyalami yang besar. Yang baru belajar menghormati yang lebih tahu.
Mey berjalan pelan bersama temannya, menyusuri koridor yang panjang.
Kakinya ringan, tapi hatinya berat.
Pandangan matanya—sebenarnya—mencari seseorang.
Dan saat dia melihat barisan guru berdiri di bawah payung langit senja…
Dia ada di sana.
Enzi.
Berdiri di antara dua guru senior, tangannya disalami beberapa siswa.
Ia membalas dengan anggukan ringan. Senyumnya tipis. Tidak banyak bicara. Tapi tetap sopan. Tetap… ada wibawanya.
Mey berhenti sejenak.
Matanya terkunci ke arah lelaki itu.
Sangat sebentar. Sangat diam.
Tapi jantungnya—berdebar seperti genderang perang.
Dan sebelum pandangannya terlalu lama… dia cepat-cepat mengalihkan wajah.
Takut. Bukan takut pada Enzi. Tapi takut… ketahuan.
Ketahuan bahwa tatapannya bukan tatapan biasa.
Bukan seperti teman-temannya yang cuma terpana karena ketampanan guru baru.
Tapi lebih dari itu.
Tatapan seorang gadis… yang menyimpan cerita sendiri.
Temannya melambai kecil.
“Mey, aku duluan ya! Mau bareng adik gue!”
“Oh… iya, hati-hati ya,” jawab Mey singkat.
Sekarang dia sendirian.
Langkahnya lambat menyusuri lorong yang sepi.
Tiba-tiba—
Dia melihat Enzi berjalan menjauh. Di lorong yang sama.
Cuma beberapa meter di depan.
Tubuhnya tegap, langkahnya tenang.
Dia tidak sadar ada Mey di belakang.
Tapi Mey melihatnya dengan mata yang…
penuh pertanyaan.
“Dia masih tinggal di kampung yang sama, kan?”
“Kenapa aku nggak pernah lihat dia sejak tahun itu?”
“Atau… selama ini dia memang di sini, tapi aku yang nggak sadar?”
Bayangan Enzi semakin menjauh.
Menyeberangi halaman sekolah yang sekarang mulai sunyi.
Dan anehnya, meski dia tidak menoleh sedikit pun ke belakang…
Mey merasa seolah dia tahu.
Tahu bahwa ada mata yang menatapnya. Tapi memilih untuk tak menoleh.
Dan Mey… memilih untuk tak memanggil.
Angin sore meniup halus anak rambut di wajah Mey.
Dia berdiri di tengah lorong, memandangi punggung seseorang yang pernah hadir di masa lalu… dan sekarang kembali, tapi seperti orang asing..
——
Rumah kecil di pinggir kampung.
Lantai semen dingin, dinding papan yang sudah lapuk usia. Tapi tetap terasa hangat.
Mey duduk bersila di depan seorang nenek tua yang terbaring lemah.
Dia menyuapkan bubur perlahan ke mulut sang nenek yang sudah tak sekuat dulu.
“Nenek, ayo makan sedikit lagi ya… buat tambah tenaga.”
Neneknya tersenyum lemah.
Mata yang berkedip perlahan, menatap cucu perempuannya itu dengan kasih.
“Mey… udah capek sekolah, ya?”
“Nggak, Nek. Masih kuat kok. Lagian Mey senang jagain Nenek.”
(Suara lembut. Tapi ada sedikit getar. Hatinya masih terbawa wajah tadi… wajah guru yang datang dari masa lalu.)
Dari belakang, terdengar suara langkah kaki.
“Kak Mey, gantian ya… Kakak suapin sekarang.”
Kakaknya muncul, membawa kain basah dan termos kecil.
Mey menyerahkan mangkuk.
Tersenyum kecil.
“Iya, Kak. Aku mau bersihin buku dulu di kamar.”
Sebelum masuk ke bilik kecilnya, dia sempat menoleh ke neneknya sekali lagi.
Matanya melunak. Tapi hatinya tetap gelisah.
Wajah itu… belum hilang. Tatapan itu… masih ada.
⸻
📘 POV Enzi – Malam Hari
Rumah sederhana yang jauh dari bising.
Lampu temaram menggantung di tengah ruang makan.
Ada dua adik laki-laki yang sedang ribut kecil rebutan remote TV.
“Abang Enzi! Aku duluan nonton!”
“Tapi abang baru pulang, ya nggak adil lah!”
Mereka saling dorong pelan, tertawa.
Suasana rumah penuh kehidupan kecil yang hangat.
Enzi hanya duduk diam di meja makan.
Tangannya memutar gelas kosong perlahan.
Introvert. Tapi bukan dingin.
Lebih ke… tak tahu bagaimana caranya membaur seperti mereka.
Dari dapur, muncul ibunya, membawa piring berisi lauk sederhana.
“Enzi… gimana hari pertama di sekolah baru?”
Enzi mendongak sebentar.
Mata yang teduh, tapi sulit dibaca.
“Lumayan, Mak. Siswanya sopan. Lingkungannya juga tenang.”
Ibunya duduk di seberangnya. Tersenyum pelan.
“Ada murid yang nakal-nakal gak? Cantik-cantik?”
(Sambil menggoda ringan, seperti ibu pada umumnya.)
Enzi menghela napas. Tak langsung menjawab.
“Muridnya banyak. Tapi aku nggak terlalu ingat wajah-wajah mereka. Aku cuma… fokus ngajar aja.”
Ibunya tertawa kecil.
“Iya iya, anakku memang begitu. Dingin banget sih. Tapi pasti semua orang sekolah tuh bakal suka sama kamu. Kamu tuh kalau ngajar, serius. Itu bagus.”
Adik bungsunya menyelutuk dari ruang tamu:
“Abang Enzi keliatan kayak guru-guru di film! Serius terus! Tapi… serem juga, ya.”
Enzi hanya tersenyum tipis. Tak menyangkal. Tak mengiyakan.
Tapi malam itu…
Saat dia menatap gelas kosong di depannya…
Ada satu bayangan yang terlintas.
Mata.
Mata seorang murid perempuan.
Tak menatap terlalu lama, tapi cukup lama untuk terasa.
“Kenapa aku merasa… aku pernah lihat dia?”
“Atau mungkin cuma perasaan?”
Dan seperti biasa, dia menutup pikirannya.
Disimpannya rasa itu dalam-dalam.
Dia tak ingin membuka masa lalu.
Tapi…
mungkin masa lalu yang akan membukanya lebih dulu.