Bab 1:Api di Aethelgard

Aroma manis apel yang baru dipetik memenuhi udara sore itu di Desa Aethelgard, sebuah permata tersembunyi yang damai, dikelilingi oleh padang rumput subur di satu sisi dan hutan purba di sisi lain. Aethelgard adalah sebuah desa yang hidup dari tanahnya, para penduduknya dikenal memiliki ikatan kuat dengan bumi, jiwa mereka setangguh akar pohon yang menopang bukit. Zeriko, dengan kaus linennya yang longgar dan lutut yang selalu sedikit kotor, tertawa geli saat adiknya, Elara yang berusia tiga tahun, tersandung akar pohon apel tua dan jatuh di tumpukan daun kering.

"Dapat!" seru Zeriko, menirukan suara penjahat imajiner, lalu mengangkat Elara ke pelukannya. Elara, dengan pipi gembil dan rambut cokelat yang sama seperti Zeriko, memekik senang. Mereka berdua sering bermain petak umpet di antara barisan pohon apel, sesekali mencuri buah yang paling merah dan renyah. Aroma roti gandum yang baru dipanggang dari dapur umum desa, yang dibawa angin, adalah salah satu aroma kesukaan Zeriko. Dia mencintai desanya. Dia mencintai bau tanah setelah hujan, bisikan angin di antara dedaunan, dan terutama, dia mencintai Elara. Adiknya adalah seluruh dunianya.

Tawa dan kedamaian itu terenggut secara brutal.

Langit, yang tadinya biru cerah, kini berkedip-kedip aneh di cakrawala. Bukan kilat yang biasa mengiringi badai musim panas. Ada gema gemuruh yang datang dari barat, bukan suara petir, melainkan sesuatu yang lebih dalam, lebih mengancam, seperti deru gunung yang bergeser. Aroma manis apel yang damai digantikan oleh bau tajam belerang dan kayu yang terbakar. Udara mendadak terasa sesak, membebani paru-paru.

Seorang wanita dari kejauhan menjerit. Lalu satu lagi, lebih dekat, lebih putus asa.

Ledakan! Sebuah suara memekakkan telinga mengoyak ketenangan. Getarannya terasa hingga ke tanah, membuat pohon-pohon apel bergetar dan buah-buah jatuh. Zeriko melihat rumah-rumah, yang tadinya kokoh berdiri dengan atap jerami dan dinding kayu, kini runtuh seperti tumpukan balok mainan dihempas tangan raksasa. Jeritan warga desa semakin nyaring, bercampur dengan raungan asing yang tak pernah ia dengar sebelumnya, suara-suara yang membuat bulu kuduknya berdiri.

Kemudian mereka muncul dari balik bukit, seperti bayangan yang dimuntahkan neraka.

Sosok-sosok berjubah hitam legam, melayang atau bergerak dengan kecepatan mengerikan. Topeng aneh menutupi wajah mereka, hanya menyisakan celah mata yang dingin dan tak berperasaan. Di bahu atau dada jubah mereka, Zeriko melihat sebuah kode yang menyerupai pecahan cermin gelap, bersinar samar di bawah langit yang kini memerah. Mereka bukanlah manusia biasa. Mereka membawa perangkat logam aneh di tangan mereka, ukurannya sebesar lengan orang dewasa, memancarkan cahaya menyilaukan—biru es atau merah membara—yang berdenyut seperti jantung yang sakit. Setiap kali cahaya itu menyentuh sesuatu, entah itu sebuah rumah, pohon tua yang sudah berdiri berabad-abad, atau seorang warga desa yang mencoba melarikan diri, benda itu hancur menjadi debu dalam sekejap atau terbakar dalam kobaran api yang melahap segalanya.

"Kita harus lari, Elara!" Zeriko mencengkeram tangan adiknya erat-erat, menariknya sekuat tenaga menuju semak belukar lebat di belakang rumah mereka, tempat persembunyian rahasia mereka saat bermain. Mereka harus bersembunyi.

Namun, di tengah kepanikan itu, sebuah bayangan gelap melompat di hadapan mereka. Sosok berjubah itu menjulang tinggi, menjulang di atas Zeriko yang kecil. Matanya yang bersinar dingin di balik topeng menatap tajam, bukan pada Zeriko, melainkan ke arah Elara.

"Subjek potensial," gumam suara robotik dari balik topeng itu, tanpa emosi, seolah bicara tentang sebuah benda.

Sebelum Zeriko sempat bereaksi, tangan berjubah yang besar itu mencengkeram Elara. Adiknya menjerit, tangannya yang mungil meronta-ronta di udara, berusaha meraih Zeriko. "Kakak! Kakak!" panggilnya, suaranya putus asa, menggores hati Zeriko.

Zeriko melompat maju, memeluk kaki sosok itu sekuat tenaga. "Lepaskan dia! Lepaskan adikku!" Ia berteriak, air mata menganak sungai di pipinya, bercampur dengan debu dan kotoran.

Sosok itu hanya mendengus jijik. Sebuah energi aneh terpancar dari perangkat di tangannya, mendorong Zeriko dengan kekuatan tak terlihat. Ia terhempas, tubuh kecilnya melayang sebelum mendarat keras, kepalanya membentur bebatuan. Pandangannya berputar, dunia menjadi kabur dan miring, warna-warna menyatu menjadi kabut yang memuakkan. Dari sela-sela kelopak matanya yang memberat, ia melihat Elara masih meronta-ronta, tubuh mungilnya ditarik paksa, dibawa pergi oleh bayangan-bayangan itu. Mata adiknya, penuh ketakutan dan keputusasaan, bertemu dengan tatapannya sesaat—sebuah tatapan terakhir yang akan menghantuinya selamanya.

Lalu, asap tebal, hitam, dan pekat menelan segalanya. Suara jeritan, ledakan, dan raungan menghilang, digantikan oleh dengung kosong yang memekakkan di telinganya.

Zeriko tergeletak di antara puing-puing, napasnya memburu, tubuhnya gemetar. Bau hangus membakar hidungnya, memenuhi paru-parunya. Ia mencoba bangkit, tapi tubuhnya terasa lemah, kepalanya pening. Di atasnya, sebuah balok kayu besar yang terbakar, sisa dari rumah tetangga, mulai goyah, siap untuk menimpanya kapan saja, mengakhiri penderitaannya.

Sebuah bayangan lain melintas. Bukan bayangan gelap dari para penyerang, tapi sebuah jubah berwarna abu-abu gelap, warnanya hampir menyatu dengan asap dan senja yang berdarah. Sebuah tangan kuat, kulitnya kasar seperti kulit kayu namun terasa aneh—panas seperti bara api dan dingin seperti es secara bersamaan—meraihnya. Tanpa sepatah kata pun, tanpa suara, sosok tinggi itu mengangkat Zeriko yang kecil dan membawanya menjauh dari neraka yang melahap Aethelgard. Kyran.

Zeriko hanya bisa merasakan gerakan cepat, napas teratur sosok itu, lalu kegelapan yang menenangkan saat kesadarannya meredup. Ia tak tahu siapa penyelamatnya, atau ke mana ia dibawa. Yang ia tahu, Aethelgard telah tiada, dan Elara… Elara telah hilang.

"Kadang, kehancuran bukanlah akhir, melainkan bara pertama bagi takdir yang baru. Namun, luka dari api itu takkan pernah benar-benar padam."