Dunia Zeriko terasa seperti pecahan cermin yang direkatkan paksa, setiap kepingnya memantulkan kengerian yang sama. Ia tidak tahu berapa lama ia terbaring di dalam gua yang dingin dan lembap itu. Sejak ia dibawa ke sini, sosok berjubah abu-abu gelap itu nyaris tak bersuara, hanya bergerak dalam keheningan yang menakutkan. Aroma tanah basah dan lumut bercampur dengan bau samar abu, yang tak bisa ia lepaskan dari hidungnya.
Pria itu adalah misteri yang bergerak. Zeriko mengamatinya dari balik selimut usang yang menyelimutinya. Posturnya tinggi dan tegap, bahunya lebar, seolah mampu menanggung beban dunia. Ketika ia bergerak, ada keheningan aneh yang menyertainya, seolah langkahnya tidak mengganggu dedaunan kering atau kerikil kecil di lantai gua. Sesekali, ia akan menyalakan api kecil tanpa korek api, hanya dengan jentikan jari, memunculkan bara oranye yang hangat dari udara tipis untuk memasak daging kering. Atau ia akan mengalirkan air jernih dari retakan batu di dinding gua, membentuk tetesan bening yang kemudian ia gunakan untuk mencuci luka-luka Zeriko dengan gerakan yang lembut namun efisien. Sentuhan tangannya selalu sama: satu sisi terasa hangat seperti api yang membara, sisi lain dingin seperti es yang mencair. Itu bukan sihir yang pernah Zeriko lihat di desa Aethelgard, di mana kekuatan elemen terasa lebih kasar, lebih nyata. Ini terasa lebih halus, lebih purba.
Pria itu memberinya makan buah-buahan hutan yang ia kenali dan daging panggang yang rasanya tawar. Ia tidak memaksa Zeriko berbicara, hanya menatapnya dengan mata yang dalam, seolah melihat sesuatu yang lebih dari sekadar anak kecil yang ketakutan. Ada kesedihan yang sama dalam tatapan itu, yang Zeriko tidak mengerti, namun terasa familiar di tengah trauma yang melingkupinya.
Malam-malam di gua adalah neraka bagi Zeriko. Ia sering terbangun oleh mimpi buruk. Kobaran api menjilat-jilat, teriakan warga desa bergema, dan yang terburuk, mata ketakutan Elara yang terus-menerus muncul di benang-benang tidurnya. Ia menjerit, napasnya tersengal-sengal, tubuhnya gemetar. Pria berjubah itu segera ada di sisinya. Untuk pertama kalinya, ia berbicara.
"Sudah... hilang," suaranya serak, berat, seperti bebatuan yang bergeser di dasar sungai yang dalam. "Kau selamat. Itu yang penting."
Zeriko mencengkeram erat jubah pria itu, mencari perlindungan. "Adikku… Elara… Mereka mengambilnya." Suaranya pecah.
Pria itu menghela napas panjang, sebuah suara berat yang mengisi ruang gua. "Beberapa hal… tidak bisa kita hentikan. Namun kita bisa memastikan hal itu tidak terulang." Ia tidak menjanjikan hal yang Zeriko inginkan—menemukan Elara sekarang. Ia berbicara dengan nada yang dingin dan realistis, yang membuat Zeriko merasa semakin kecil dan tak berdaya di hadapan kekuatan yang tak terlihat itu.
Sejak saat itu, Zeriko mulai memanggil pria itu dengan sebutan 'Guru', meskipun ia tak tahu nama aslinya. Guru tak pernah mengoreksinya, seolah nama itu memang dimaksudkan untuknya. Guru mulai melatih Zeriko hal-hal dasar bertahan hidup di hutan: cara mencari makanan yang aman, membedakan jamur beracun dari yang bisa dimakan, mendirikan tempat berlindung sederhana dari ranting dan dedaunan, dan yang paling penting, mendengar suara-suara hutan yang tak terdengar oleh telinga biasa—bisikan angin yang berubah, gemerisik dedaunan yang aneh, atau bahkan keheningan yang terlalu dalam. Itu semua adalah pelajaran yang dulu tidak pernah Zeriko bayangkan akan dibutuhkan dalam hidupnya. Guru tidak berbicara tentang elemen, atau sihir, atau apapun yang Zeriko lihat di Aethelgard. Ia hanya berbicara tentang bertahan hidup di dunia yang kini menjadi lebih berbahaya.
Kadang-kadang, saat Guru mengira Zeriko tertidur, Zeriko melihatnya membuka sebuah gulungan perkamen tua yang sudah lusuh dan berwarna kecoklatan karena usia. Di atasnya, ada gambar-gambar aneh, simbol-simbol yang belum pernah Zeriko lihat, seperti bahasa rahasia. Beberapa di antaranya tampak familiar: lambang api yang membara, air yang mengalir, tanah yang kokoh, udara yang berputar… tapi ada satu yang berbeda. Sebuah simbol yang aneh, kosong, seolah belum terisi, dikelilingi oleh lambang elemen lainnya. Guru akan menatap simbol itu lama, jari-jarinya menelusuri garis-garis usang itu dengan kerutan dalam di dahinya, ekspresinya kompleks, campuran dari keprihatinan dan pemahaman yang mendalam. Zeriko tidak mengerti arti semua itu, namun ia merasa gulungan itu menyimpan rahasia besar.
Minggu-minggu berlalu, lalu bulan-bulan. Gua itu menjadi rumah sementara Zeriko. Trauma itu sedikit mereda, digantikan oleh kesadaran yang dingin bahwa dunianya telah berubah selamanya. Namun, suatu pagi, Guru mengemasi barang-barang mereka yang minim—beberapa pakaian, pisau kecil, dan kantung kulit berisi makanan kering.
"Kita harus bergerak," kata Guru, suaranya tenang namun ada urgensi yang tersirat. "Mereka... mencarimu. Dan juga... yang lainnya. Bayangan tidak pernah berdiam terlalu lama di satu tempat."
Zeriko tidak mengerti siapa 'mereka' atau 'yang lainnya'. Ia hanya mengekor Gurunya, melangkah keluar dari gua menuju hutan yang lebih dalam, meninggalkan bayangan Aethelgard di belakang. Ia hanya seorang anak yang selamat, dengan ingatan api yang membakar jiwa dan nama Elara terukir dalam hati kecilnya. Ia tahu, di balik setiap langkah itu, ada alasan yang jauh lebih besar dari sekadar mencari tempat aman.
Mereka berjalan selama berhari-hari, lalu minggu-minggu. Melewati pepohonan raksasa yang belum terjamah yang dahan-dahannya menjulang tinggi menutupi langit, menuruni lembah-lembah curam yang diselimuti kabut, dan menyeberangi sungai-sungai dingin yang arusnya deras. Guru bergerak tanpa lelah, selalu waspada, matanya mengawasi setiap bayangan yang melintas, setiap suara daun yang pecah. Zeriko, meskipun lelah, berusaha mengikuti, kakinya yang kecil berusaha menyamai langkah panjang Gurunya. Ia hanya tahu, ia tidak bisa tinggal diam. Ia harus terus bergerak.
Keheningan di hutan terkadang lebih keras daripada badai, sebab ia menyimpan rahasia-rahasia lama dan janji-janji yang tak terucapkan.